Kafka berjalan cepat dan kasar. Teriakan Yana yang kesakitan diabaikannya di belakangnya. Lengan wanita itu ditarik seolah ingin terlepas dari tempatnya.
“Kafka! Kafka! Sakit! Lepaskan aku! Kamu kejam sekali!”
Kafka Bimantara yang mendengar keluhannya, berpikir dia hanya berpura-pura. Sorot matanya menjadi lebih gelap dan gerakannya semakin kasar. Yana berjalan tersandung-sandung mengikutinya.
Seorang pelayan wanita yang melihat kedatangan mereha segera menyambut di depan pintu.
"Tuan, Anda sudah datang," sapanya dengan wajah terkejut, dan semakin terkejut lagi ketika dia melihat Yana Jazada dalam pakaian pasien yang ditarik dengan kasar oleh Kafka.
"Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini dan bertanggung jawab atas mansion ini. Dia sudah tahu semua tugasnya dan pastikan dia tidak bermalas-malasan," ucap Kafka dengan dingin kepada pelayan wanita tua yang heran menatapnya.
Yana yang kelelahan menggertakkan gigi menahan rasa sakit di perut dan tangannya.
Pelayan tua yang terlihat familiar itu adalah orang yang pernah bekerja di keluarga Jazada. Seingatnya, semua pekerja di mansion mereka sudah diberhentikan setelah pemiliknya berganti tangan. Kenapa dia kembali lagi? Apakah ini semua bagian dari rencana Kafka untuk menyiksanya lebih jauh?
"Dia akan tidur di kamar paling belakang. Pastikan agar dia tidak membuat masalah selama melakukan pekerjaan rumah. Ajari dia apa yang perlu dikerjakan. Sebagai mantan nona kaya raya, dia harus mulai belajar seperti apa hidup keras di dunia ini," lanjut Kafka dengan suara dingin yang menakutkan.
Yana yang mencengkeram perutnya, menatap Kafka dengan kesedihan yang mendalam. Kafka tahu bahwa dia tidak pandai mengurus pekerjaan rumah tangga. Sejak bekerja hingga menikah, semua kebutuhannya dipersiapkan oleh para pelayan. Tapi, mungkin Kafka lupa, sekarang dia bukan lagi anak kaya yang manja dan malas. Dia sudah menguasai beberapa pekerjaan rumah tangga, meskipun masih belum terlalu cakap.
Dengan bibir bergetar, Yana berkata pelan, "Kafka, bolehkah aku istirahat sebentar?"
Kafka mengerutkan kening, menatapnya dengan perasaan jijik. "Berpura-pura sakit? Bukankah tadi kamu sangat bersemangat saat bertemu dengan cinta pertamamu?"
Yana ingin menangis mendengar perkataannya. Kafka yang dulu dia kenal sudah tidak ada. Dia telah mati di hari dia melempar surat cerai ke wajahnya. Segala hal di antara mereka sudah hancur.
"Kafka, aku tidak berbohong. Aku tidak tahan lagi," ucap Yana dengan suara pelan, tapi Kafka mengabaikannya saat ponselnya berbunyi.
Tanpa mendengar siapa yang menelepon, dari ekspresi wajahnya yang melunak dan penuh kelembutan, Yana bisa menebak itu pasti Mala Nasram.
"Masalah di sini sudah selesai. Jangan cemas. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja. Tunggu aku," hibur Kafka dengan suara selembut sutra, penuh kasih sayang yang dirindukan oleh Yana.
Perbedaan antara orang yang dicintai dan yang dibenci sangat jelas baginya sekarang.
Mala adalah wanita yang sangat beruntung. Dia memiliki cinta Kafka yang murni dan tulus sejak dulu.
Meskipun pria itu telah menciumnya, bukankah cinta lebih besar daripada nafsu semata? Yana tidak akan menganggap serius ciuman dari mantan suaminya. Itu hanyalah hinaan dan pelecehan terhadapnya sebagai seorang pekerja di klub malam. Status mereka yang berbeda juga adalah pengingat yang jelas untuknya. Mereka sudah bagaikan bumi dan langit. Tidak. Lebih tepatnya surga dan neraka.
Rasa sakit yang menghantam Yana membuat tubuhnya goyah hingga dia jatuh terduduk di lantai, sementara tangannya masih dicengkeram kuat oleh mantan suaminya.
Kafka yang baru saja menutup telepon, menatapnya dengan dingin.
"Apakah begini caramu menggoda pria? Yana, sudah kuperingatkan kepadamu, trik ini tidak akan berhasil padaku.”
Dia berhenti sebentar, mengetatkan rahang, lalu berkata dingin penuh titah sambil terus menatap wanita di lantai, "Bibi Jelita, bawa dia ke kamarnya. Perlakukan dia sama seperti para pembantu lainnya. Aku tidak ingin ada perlakuan istimewa hanya karena dia pernah menjadi majikan kalian. Paham?"
Bibi Jelita mengangguk cepat, wajahnya menahan rasa panik. Ada rasa kasihan muncul di hatinya saat melihat mantan majikannya yang tergeletak di lantai, tampak kesakitan dan memegang perutnya.
"Nona, ayo berdiri," bujuknya pelan, mencoba meraih Yana. Tapi, ketika Kafka melepaskan cengkeramannya dengan kasar, tubuh Yana jatuh berbaring di lantai.
Erangan kesakitan terdengar dari bibirnya. Suaranya lebih parah daripada sebelumnya.
"Berhenti berpura-pura. Apa kamu tidak bosan dengan sandiwara ini?" Kafka mendengus kesal, lalu melangkahi tubuh Yana dan berjalan keluar menuju pintu utama. Seolah-olah, wanita itu bukanlah apa-apa.
Yana merasakan dunianya mulai mengabur. Pendengarannya semakin mengecil dan pandangannya kabur.
Di kejauhan, tepat di belakangnya, langkah kaki Kafka bergema seperti suara kematian.
Kenapa Kafka begitu membencinya?
Bukankah dia sudah cukup puas membalas dendam dengan menghancurkan keluarganya dan mempermalukannya di hadapan publik?
Setelah kejatuhan keluarganya, semua bukti perlakuan buruknya terhadap Kafka tersebar luas di internet. Semuanya terpampang jelas bagaimana dia menampar, menindas, dan menghina Kafka dengan kata-kata yang merendahkan.
Seluruh netizen mengutuknya dengan perkataan paling kejam yang pernah ada.
Itulah mengapa dia lari dan bersembunyi, menunggu sampai semua masalah mereda di Ibu Kota. Namun, siapa sangka, ketika dia bekerja di klub malam yang menurutnya tidak akan pernah dikunjungi Kafka, mereka malah bertemu di sana.
"Nona, bangunlah. Jangan sampai membuat Tuan marah," bibi Jelita membujuknya, tapi Yana sudah terlalu lelah.
Tubuh dan mentalnya terkuras setelah ditarik-tarik oleh Kafka sejak di rumah sakit hingga ke mansion ini.
"Nona, bangunlah! Nona!" desak bibi Jelita lagi dengan cemas.
Yana tetap tidak mendengarnya. Dia benar-benar pingsan.
Ketika Yana kehilangan kesadaran, Kafka sudah meninggalkan mansion itu dengan mobilnya tanpa menoleh sama sekali.
Bibi Jelita yang ketakutan melihat kondisi Yana mencoba menghubungi majikannya, berharap Kafka akan segera membantu. Namun, Kafka yang melihat panggilan masuk di ponselnya hanya mengabaikannya dengan dingin.
Dia berpikir, Yana pasti sudah mulai berulah lagi, mungkin menekan bibi Jelita untuk mendapatkan perhatian.
Bagaimanapun, wanita tua itu pernah mengurus segala kebutuhan Yana dengan sangat baik dan kasih sayangnya terhadap Yana sudah seperti anak sendiri.
Perasaan jengkel mulai membayangi Kafka, memuntir hatinya dengan keras. Tanpa memikirkan lebih lanjut, dia mematikan ponselnya, lalu melajukan mobilnya lebih cepat.
Pikirannya sekarang fokus menuju tempat Mala berada.
***
Selama tiga hari, Kafka tidak pulang ke mansion peninggalan kakek Yana. Oleh karena itu, dia tidak tahu bahwa sejak meninggalkan mantan istrinya di tangan bibi Jelita, Yana belum juga sadar hingga saat ini.
Ketika Kafka akhirnya kembali dengan membawa Mala bersamanya, dia tampak seperti badai yang menakutkan, siap menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya.
“Yana Jazada! Cepat kemari!” teriaknya dengan marah.
Bibi Jelita bergegas menghampirinya, berkata cepat, "Maaf, Tuan, Nona Yana masih belum sadar!”
Kafka mengerutkan kening dalam, "Masih belum sadar? Apa maksudmu?"
Bibi Jelita terlihat gelisah dan gugup. "Saya sudah mencoba menghubungi Tuan beberapa kali, tapi Tuan terus mengabaikan panggilan saya. Ketika Anda pergi hari itu, Nona Yana pingsan dan belum sadar sampai sekarang."
Kafka merasakan jantungnya nyaris berhenti berdetak, wajahnya memucat. "Dimana dia sekarang?"
Mala yang baru datang dari arah pintu segera menghampiri Kafka dengan suara lembut dan manis, "Ada apa? Kenapa kamu terdengar tegang?"
Bibi Jelita tersenyum ke arah Mala sambil menunduk sopan, "Selamat datang, Nona Mala."
“Bibi Jelita, lama tidak bertemu. Ini oleh-oleh dari Italia. Aku harap kamu menyukainya.”
Wanita tua merasa canggung menerimanya. Segera menebak kalau kepergian Tuannya mungkin ada hubungannya dengan Mala Nasram.
Keduanya selalu bersama-sama sepanjang waktu. Baik itu di kantor, maupun di luar kantor. Mungkinkah keduanya baru saja pulang dari luar negeri untuk berlibur?
“Te-terima kasih, Nona! Anda baik sekali!”
Mala tersenyum lembut dan penuh kehangatan, seolah-olah dia adalah istri Kafka. "Tidak masalah. Ini bukan hal besar. Bibi Jelita sudah merawat Kafka selama ini. Akulah yang seharusnya berterima kasih banyak."
Kafka yang tak bisa menahan rasa cemasnya, segera bertanya lagi, memotong percakapan keduanya, "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Dimana Yana?"
Dengan kepala tertunduk penuh perasaan takut, bibi Jelita menjawab, "Dia berada di rumah sakit, Tuan."
"Seharusnya kamu segera menghubungiku! Minimal tinggalkan pesankan! Di rumah sakit mana?"
Bibi Jelita menjawab pelan dengan wajah keringat dingin melihat amarahnya, "Ru-rumah Sakit Salim, Tuan!”
Tanpa memedulikan keberadaan Mala, Kafka langsung berbalik menuju pintu utama dan bergegas masuk ke mobilnya. Mala, yang terlihat cemas dan panik, mencoba mengejarnya.
"Kafka, tunggu! Kafka!" teriaknya dengan nada lembut yang terdengar menyedihkan, seolah-olah dia adalah bunga kaca yang rapuh.
Siapa pun yang melihatnya pasti akan segera merasa iba. Namun, Kafka tidak memikirkannya sama sekali.
Dia melajukan mobilnya dengan cepat, menyusuri jalan menuju rumah sakit yang disebutkan oleh bibi Jelita.
Sambil menggertakkan gigi, Kafka mengumpat marah dan memukul kemudi di depannya. "Berengsek! Kafka Bimantara, kamu sungguh bodoh!"
Perasaan bersalah dan tidak tenang terus mengganggunya.
Memikirkan bagaimana dia telah meninggalkan Yana begitu saja hanya untuk menemani Mala berbelanja di luar negeri seketika membuatnya kacau balau!
Tidak seharusnya dia mengabaikan Yana!