Yana diam membisu, menatap Kafka dengan mata yang penuh kebencian. Air mata terus mengalir tanpa henti.
Hatinya dipenuhi kemarahan yang tak terucapkan. Dia tahu bahwa tak ada gunanya melawan Kafka sekarang.
Pria itu tidak lagi sama.
Dia bukan Kafkanya lagi. Tidak ada kelembutan dan kasih sayang darinya, meski itu mungkin semuanya hanyalah kepura-puraannya belaka agar membuatnya lengah.
Dulu, meskipun ada pertengkaran, Yana masih bisa membela dirinya dan menindasnya sesuka hati.
Kadang-kadang, Yana suka menendang dan memukul, serta menampar Kafka saat suasana hatinya memburuk, terutama karena frustrasi dan rasa sakit yang dia rasakan akibat kondisinya yang menderita kanker dan cinta sepihak yang menyedihkan. Seburuk apapun perlakuan Yana, Kafka tidak melawan dan menghentikannya
Namun, kekerasan Kafka sekarang jauh lebih brutal dibandingkan dirinya, penuh dendam yang murni dari neraka, seolah-olah dia hanya ingin melihatnya hancur menjadi debu.
Dalam diam, Yana mengutuk dirinya sendiri atas perbuatannya di masa lalu. Dia sangat menyesalinya. Tapi, percuma saja. Tidak ada gunanya.
Wanita itu duduk semakin jauh dari Kafka, merasa benar-benar hancur oleh kata-katanya yang merendahkan. Kepalanya tertunduk dalam, seolah-olah baru saja dihajar habis-habisan oleh mantan suaminya.
Kafka mengerutkan kening jengkel melihat sikap Yana yang begitu patuh dan tak melawan.
Sikap tunduk Yana seperti itu membuatnya semakin tidak nyaman.
“Duduk yang benar!” ucap Kafka dengan suara dingin.
Yana tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Bukannya memperbaiki posisinya, dia malah semakin menundukkan kepalanya.
Kafka tidak tahan lagi. Dia semakin kesal dengan sikap Yana yang terlalu rapuh. Dengan cepat, dia meraih lengannya hingga Yana terpaksa duduk di sebelahnya. Sangat, sangat dekat. Panas tubuh mereka saling terasa satu sama lain.
"Ada banyak hal yang perlu kamu perbaiki dengan sikapmu," Kafka mendesis, melanjutkan penuh sindiran setelah diam sebentar, "Jangan bertingkah seolah-olah kamu tulus kepadaku, tapi di dalam hatimu kamu penuh dengan kebohongan."
Yana akhirnya menyerah pada situasinya, tidak lagi berusaha melawan.
Dia hanya diam sepanjang perjalanan, merasa hancur dan kehilangan kekuatan untuk melawan. Kafka memeluk pinggangnya dengan erat, bukan karena ingin menghiburnya tapi lebih sebagai bentuk kontrol agar Yana tidak bisa kabur. Yana menyadari itu, tetapi sudah tidak ada energi tersisa untuk melawan pria yang pernah menjadi suaminya.
Beberapa saat yang lalu, Kafka menerima panggilan telepon dari seseorang dengan suara yang lembut, penuh perhatian, dan kasih sayang.
Suara itu kontras dengan sikap dingin dan kejam yang Kafka tunjukkan kepadanya. Mendengarkan percakapan itu membuat Yana teringat pada masa lalu pada sosok Kafka yang dulu dia kenal. Sayangnya, semua itu bukan untuknya lagi.
Entah kenapa, hatinya seperti meneteskan darah. Rasa sedih mencubitnya hingga ingin mati rasa saja karena terlalu sakit.
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan segera ke sana setelah menyelesaikan beberapa hal di perusahaan. Jangan menangis lagi,” kata Kafka di telepon saat itu dan mulai bermain di otak Yana berulang-ulang, mirip kaset rusak.
Suara Kafka yang begitu lembut terasa asing bagi Yana sekarang. Hatinya semakin sakit, karena pria itu tidak pernah berbicara seperti itu lagi kepadanya. Yang dia dapatkan sekarang hanyalah kata-kata kasar, penuh ejekan, dan kekerasan fisik yang hampir merenggut nyawanya.
Merasa buruk dengan pikirannya sendiri, Yana tidak menyadari bahwa Kafka memperhatikan dirinya dengan tatapan dalam yang misterius.
Dia mempererat pelukan di pinggang Yana, memeriksa reaksinya. “Kenapa diam saja? Apa kamu sedang merencanakan sesuatu? Aku ingatkan, jika kamu berani macam-macam, keluargamu akan menerima akibatnya,”
Yana menoleh perlahan, wajahnya lesu dan tidak berdaya.
“Kalau aku melunasi 100 miliar itu, apakah kamu akan melepaskan kami semua?” tanyanya dengan nada sedih.
Kafka tertawa sinis, suaranya penuh ejekan. “Melunasinya? Dengan apa? Tidur dengan banyak pria? Seberapa banyak pria yang mau menerima dirimu sampai kamu bisa melunasi semua hutang keluargamu?”
Mendengar kata-kata kasar Kafka, Yana merasakan amarah yang bergolak di dalam dirinya dan tanpa sadar mengumpat penuh kebencian luar biasa. Suhu udara seperti turun ke titik beku
“Kafka, kamu benar-benar berengsek. Ternyata, aku salah menilaimu selama ini. Aku benci kamu yang munafik!” ucap Yana dengan suara pelan dan tenang, tapi dia seperti ketenangan sebelum badai, penuh penyesalan dan kekecewaan yang menakutkan. Membuat siapa pun menjadi waspada
Kafka tertegun, seolah-olah kata-kata Yana baru saja menghantamnya seperti petir.
Wajahnya sedikit berubah, seakan tersadar bahwa dia telah melangkah terlalu jauh. Namun, dalam sekejap, dia menolak perasaan bersalah yang muncul di hatinya. Ekspresinya kembali dingin dan berbahaya.
Dengan kasar, Kafka memeluk Yana lebih erat, wajahnya penuh ancaman. “Aktingmu tidak akan berhasil padaku. Pria lain mungkin akan merasa kasihan, tapi tidak denganku. Mengerti?”
Yana tetap diam, tidak menanggapi ucapannya.
Sikap pasif Yana hanya membuat Kafka semakin jengkel.
Tanpa peringatan, dia mendekati wajah Yana, menggigit bibirnya dengan brutal, seolah-olah akan mencabut dagingnya tanpa perasaan.
Yana panik!
Dia mencoba melawan, tetapi tenaganya tidak cukup.
Dia tidak memgerti kenapa mantan suaminya mulai suka menciumnya. Bukankah dia jijik dan benci? Bukankah dia punya wanita yang disukai?
Setelah beberapa menit penuh dengan kekerasan, Kafka akhirnya melepaskan Yana, meninggalkannya terengah-engah, tapi beruntung karena pria itu tidak melangkah lebih jauh.
Dia bisa mati karena malu jika mantan suaminya memerkosanya di saat ada sopir bersama mereka.
Dalam hening, Yana hanya bisa menahan air mata yang terus mengalir, merasakan kehancuran yang semakin mendalam di dalam dirinya. Dia seperti tidak punya harga diri lagi. Bibirnya bengkak dan berdarah, membuatnya seperti badut bodoh dengan rambut dan pakaian acak-acakan.
Saat akhirnya Kafka membiarkan Yana sendirian, pria itu tampak lebih dingin dari sebelumnya. Yana mengambil kesempatan untuk menjauh ke sudut mobil. Mengamankan diri.
Wanita terisak dalam diam, mencoba menahan tangisnya agar tidak terdengar.
Meskipun sudah berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kelemahannya, tubuhnya masih gemetar karena trauma yang baru saja dialaminya.
Kafka, di sisi lain, memandang Yana dengan perasaan jengkel yang semakin berantakan. Dalam ingatannya, Yana Jazada adalah sosok yang anggun, penuh percaya diri, bahkan cenderung arogan. Dia tidak selemah itu.
Bagaimana mungkin dia bisa berubah drastis menjadi sosok yang tampak begitu menyedihkan?
Pikiran Kafka terus dipenuhi kenangan masa lalu dan merasa tidak puas. Kali ini, dia bisa menahan diri untuk tidak meledak marah. Ciuman tadi cukup membuat rasa cemburunya padam dan merasakan kepemilikan yang kuat terhadap sang mantan istri.
Sementara mobil terus bergerak, pikiran Yana semakin kacau. Dia tidak habis pikir kenapa Kafka terus menciumnya dengan kasar setelah mereka bercerai, padahal selama pernikahan, hubungan mereka tidak pernah seintim itu. Kini, setelah berpisah, Kafka seolah tidak ragu untuk menyentuhnya dengan cara yang sama sekali tidak dia duga.
Sebenarnya, dia kenapa? Apa dia sedang kerasukan hantu plin-plan?
Seandainya Kafka dulu bersikap seperti sekarang, mungkin semua keburukan Yana dalam pernikahan mereka akan segera berhenti dan mereka mungkin bisa sedikit bahagia.
Mobil mewah itu akhirnya berhenti di sebuah tempat yang luas.
Kafka segera memberi titah dengan suara dingin. "Turun.”
Dengan tubuh yang masih kesakitan dan keringat dingin, Yana menoleh ke luar jendela. Tempat itu terasa sangat familiar, tapi asing di saat yang sama.
“Dimana ini? Kenapa kamu membawaku kemari?" tanyanya bingung.
Kafka menatapnya dengan penuh ejekan. "Kita baru berpisah kurang dari dua tahun, tapi kamu sudah lupa dengan mansion kakekmu sendiri?"
Mendengar itu, Yana terkejut dan diam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Kafka.
"Mansion kakek?" bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Dia menoleh kembali ke luar dan benar saja, meskipun sedikit berubah, tempat itu perlahan-lahan mulai terlihat akrab baginya.
Itu adalah mansion peninggalan kakeknya. Hadiah pernikahan untuknya dan Kafka.
Bagaimana mungkin dia bisa lupa? Otaknya sepertinya sudah bermasalah!
Yana masih ingat dengan jelas bahwa mansion tersebut sudah dijual untuk menutupi hutang-hutang perusahaan keluarganya yang terpuruk. Tapi, bagaimana bisa Kafka memilikinya?
Pembelinya adalah seorang pria kaya dari kota sebelah. Apa yang terjadi di sini?
Pikiran Yana semakin kusut.
“Jangan bilang kalau Kafka membelinya dari orang itu? Tapi, kenapa?” pikirnya dengan perasaan tidak mengerti.
Kenapa Kafka membawanya ke sini?
Apa yang sedang dia rencanakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui benaknya, tapi Yana tahu bahwa tidak ada gunanya bertanya kepada Kafka.
Pria itu jelas menyimpan rencana yang lebih besar. Membayangkannya saja membuatnya merinding!
“Cepat turun! Kenapa diam saja di situ! Aku tidak suka pembantu yang malas!” bentak Kafka dingin dan menghina, membuat Yana tersadar dari lamunannya.
“Pembantu?”
Kafka tersenyum mengejek. “Benar. Pembantu. Kamu pikir dengan hutang 100 milyar, aku membawamu ke sini sebagai nyonya rumah? Mimpi!”
Hawa dingin menggigit hati Yana. Wajahnya pucat.
Kafkanya, ternyata benar-benar sudah tidak ada. Atau mungkin, sejak awal, pria lembut dan patuh itu tidak ada sama sekali.
“Lamban sekali!” geram Kafka marah, segera menarik kasar wanita itu keluar dari mobil bersamanya, tidak peduli dengan suara kesakitan dari bibirnya sejak tadi.