Karena tidak bisa berhenti memikirkan keluarganya, siang itu, Yana memutuskan untuk segera keluar dari rumah sakit meski dokter sudah datang melarangnya.
Tubuhnya masih lemah dan perutnya terasa tidak nyaman, tapi dia tetap mencoba turun dari tempat tidur. Baru beberapa kali bergerak, langkahnya goyah dan tubuhnya hampir jatuh.
Dari arah pintu, sesosok pria muncul dengan ekspresi terkejut. Dia segera menghampirinya sambil menegurnya. Suaranya terdengar sangat kesal.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh turun dari tempat tidur!"
Yana terkejut mendapati Ryan Wilson tiba-tiba muncul di hadapannya. “Kamu? Kenapa kamu ada di sini?”
Ryan tersenyum main-main, dengan nada sedikit mengejek membalasnya nakal, “Kenapa? Terharu? Perlu aku beritahu, selama kamu di rumah sakit, akulah yang menjagamu. Mantan suamimu itu benar-benar kejam, ya? Dia bahkan tidak pernah datang menjengukmu setelah dioperasi.”
Yana terdiam, wajahnya berubah gelap dan suram. Dia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman pria itu.
“Jangan bilang kamu berniat keluar dari rumah sakit sendirian?” tanya Ryan dengan nada menuduh.
Yana hanya diam, tapi gerakannya untuk melepas jarum infus di tangannya menjawab semuanya.
“Aku tidak bisa tinggal di sini terlalu lama,” gumamnya pelan.
“Kamu serius? Dalam keadaan selemah ini?” Ryan menatapnya tajam. “Atau kamu sudah tidak sayang nyawamu lagi?”
“Ini bukan urusanmu. Tolong jangan ikut campur.”
Ryan tertawa geli. “Tentu saja ini urusanku. Aku yang bertanggung jawab atas perawatanmu di sini.”
Yana menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu?”
Dengan senyum nakal lebih menyebalkan, Ryan menjawab, “Aku adalah dokter yang seharusnya merawatmu. Tapi, mantan suamimu sepertinya cukup posesif. Dia melarangku dan malah menggantiku dengan dokter lain.”
Yana tidak mengerti kenapa Kafka melarang Ryan untuk merawatnya. Baru saja dia mencoba memikirkannya, sesuatu mengusiknya.
"Tunggu dulu," kata Yana bingung. "Kenapa kamu yang harus merawatku? Memangnya kamu dokter?"
Pria itu terkekeh geli. "Walaupun aku memiliki reputasi sebagai seorang playboy, tapi begini-begini, aku adalah seorang dokter, loh."
Yana tertegun hingga kehilangan kata-kata. Dia tidak menduga kalau pria yang selalu dipikirnya buruk dan tidak memiliki kehidupan, ternyata adalah orang yang memiliki pekerjaan yang sangat mulia.
Bagaimana bisa?
"Ayo, berbaringlah kembali. Kamu harus beristirahat lebih banyak."
Yana ingin mengatakan sesuatu, tapi merasa ragu. Keningnya bertaut kencang.
Sepertinya tidak ada yang tahu tentang penyakit kanker yang sedang dideritanya saat ini.
Dengan pemikiran itu, akhirnya dia bisa merasa sedikit tenang.
Perawat tadi juga tidak mengatakan apa-apa. Artinya, Kafka juga tidak mengetahuinya, kan?
Karena Ryan terus mendesaknya untuk beristirahat, maka Yana terpaksa berbaring kembali.
"Terima kasih sudah mau datang mengejukku. Aku tidak mengerti. Kenap kamu yang harus menjadi dokterku? Apakah sebenarnya yang membawaku kemarin adalah kamu, bukan Kafka?"
Ryan meraih sebuah apel dan pisau di atas meja, mulai mengupasnya sambil menjawab santai, "Tidak, mantan suamimu yang kejam itulah yang membawamu kemari dalam keadaan sangat panik dan ketakutan. Kebetulan saja rumah sakit ini adalah tempatku kerja."
Seperti mendengar hal yang aneh dan sulit dipercaya, Yana menatapnya bingung.
"Kafka panik dan ketakutan?"
Ryan tersenyum jenaka, menaikkan sebelah alisnya main-main. "Ya. Benar. Kenapa? Sepertinya kamu tidak percaya dengan ucapanku."
Yana mengangguk malu-malu. "Aku pikir kamu pasti sudah mendengar tentang reputasiku yang sangat buruk, bukan? Kafka sangat membenciku karena memperlakukannya sangat buruk selama kami menikah. Semua orang mengetahuinya. Kamu pasti juga begitu."
Hening tiba-tiba muncul di ruangan.
Tentu saja semua orang tahu tentang skandal Yana Jazada.
Ketika keluarga Jazada hancur, skandal Yana yang memiliki temperamen buruk dan sikap yang kejam terhadap suaminya menyebar di internet bagaikan api pada sekam. Ada banyak bukti yang memperlihatkan perlakuan semena-mena dan tidak manusiawi wanita itu kepada Kafka selama mereka menikah.
"Tuan Wilson, kalau Anda tidak ingin terlibat dengan saya dan mendapat masalah, Anda boleh segera pergi dari sini," ucap Yana dengan suara pelan yang terdengar malu-malu dan tidak percaya diri.
Ryan menyerahkan potongan apel kepadanya.
"Kenapa? Kamu pikir aku akan mempercayai semua yang ada di internet? Begitu?"
Yana menatapnya tidak mengerti. "Kamu tidak percaya? Kenapa? Itu memang benar. Aku dulunya sangat kejam dan jahat. Semua orang juga tahu kalau aku adalah wanita yang sangat sombong dan egois.”
Ryan tertawa mendengarnya. Dia kemudian membalasnya dengan nada menggoda. "Kamu sendiri yang bilang kalau itu adalah ‘dulu’, bukan? Artinya, itu terjadi di masa lalu. Sekarang, sepertinya kamu sangat berbeda. Aku tidak keberatan jika harus terlibat denganmu."
Yana menatapnya heran. Dia sama sekali tidak mengerti pemikiran pria di depannya ini. Apakah karena dia memiliki reputasi sebagai playboy, makanya dia tidak peduli siapa saja wanita yang akan digodanya?
Ryan menunjuk cepat apel di tangan wanita itu, berkata ceria, "Kunyah yang baik. Harus benar-benar halus agar lambungmu tidak terlalu keras bekerja."
Yana merasakan sudut bibir berkedut. "Terima kasih. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi, aku tidak mengerti kenapa kamu ingin datang berkunjung kalau kamu sudah bukan dokter yang harus merawatku."
"Memangnya kenapa? Tidak boleh?"
Yana terdiam heran.
"Sebenarnya, apa tujuanmu melakukan ini?" tanyanya penasaran.
"Benar, apa tujuanmu melakukan semua itu?"
Suara itu bukanlah suara Ryan, melainkan suara Kafka yang datang dari arah pintu masuk. Yana membeku di tempatnya dengan mata terkunci pada sosok tampan berpakaian serba hitam.
Pria tampan di kursi menoleh ke arahnya.
"Kafka Bimantara. Akhirnya, kamu datang juga menjenguknya. Kamu sungguh mantan suami yang tidak memiliki hati sama sekali."
Kafka mendengus geli, menatap sekilas wanita di atas ranjang pasien. Lalu, menyindirnya dengan nada tajam yang dingin. "Benarkah? Aku pikir masih ada orang yang lebih kejam daripada aku."
Yana menundukkan kepalanya malu. Dia tidak tahu seberapa dalam kebencian Kafka kepadanya selama ini. Tapi, sejak kejadian di klub malam, akhirnya dia mengerti satu hal lagi tentang pria itu.
Mata dingin Kafka melirik dua tangan yang sedang terjalin di atas ranjang. Itu adalah tangan Yana dan Ryan yang saling menggenggam. Entah kenapa Yana tidak menyadari hal itu sehingga terlihat seolah-olah keduanya sedang bermesraan.
Sambil mendengus penuh hina, Kafka berkata dingin dan menusuk, "Tidak kusangka, ternyata kamu benar-benar mengincar putra keluarga Wilson. Apakah kamu memanfaatkan kondisimu sekarang untuk menarik simpatinya?"
Yana mendongak cepat, menatapnya heran.
"Apa maksudnya? Kenapa dia berkata begitu?" batin Yana polos.
Melihatnya kebingungan, Kafka mengomentarinya dingin sembari menunjuk arogan pada tangan mereka berdua yang saling terjalin. Wanita itu mengikuti arah pandangnya dan terkejut luar biasa mendapati dirinya sedang berpegangan tangan dengan Ryan.
Kenapa dia tidak menyadari hal ini?
Apakah karena dia terkejut dengan kedatangan Kafka yang begitu tiba-tiba?
Sejak kapan Ryan menggenggam tangannya?
Yana ingin menarik tangannya lepas, tapi pria yang duduk di sebelah ranjang menahannya erat.
Dia menoleh ke arah Kafka, terkekeh jenaka sembari berkata penuh sindiran, "Jika kamu telah membuang sesuatu yang tidak bisa dihargai, bukankah sudah seharusnya tidak ada hubungan apa-apa lagi? Ini artinya orang lain bebas untuk memungutnya, bukan?"
Kafka seketika menggelap bagaikan badai yang ingin mengamuk hebat.
Hatinya panas dan kedua tangannya mengepal erat, dia lalu melirik dingin ke arah Yana, mengejeknya dengan sinis, “Benar juga. Di dunia ini memang ada orang-orang yang suka memungut sampah yang tidak diinginkan oleh orang lain. Tidak disangka, selera Tuan Wilson ternyata seperti itu?"