Yana seketika membeku, kaget mendengar perkataan jahat mantan suaminya. Wajahnya seperti baru saja ditampar!
Apakah seperti itu dia menilainya sekarang?
Sampah yang tidak diinginkan oleh orang lain?
Sebelum Yana bisa membuka suara untuk membela diri, Kafka melanjutkan perkataannya dengan nada lebih agresif dan dalam.
Dia melirik dingin ke arah Ryan yang duduk di depannya. "Tapi, sayang sekali, apapun yang aku buang, orang lain tidak boleh mendapatkannya juga. Paham?"
Ryan berdiri dari duduknya. Sikapnya sangat santai dan tidak serius.
"Kafka, apakah kamu berniat untuk menyiksanya lagi? Aku sudah mendengar bagaimana kamu memaksanya untuk minum satu botol besar minuman beralkohol. Jika aku tidak melihatnya sendiri pingsan di depan mataku, aku akan sulit percaya kalau kamu adalah pria yang benar-benar sangat kejam sesuai dengan gosip yang beredar selama ini.
Aku tahu kalau dia sudah pernah melakukan kesalahan kepadamu sewaktu kalian menikah. Tapi, bukankah apa yang dia alami sudah cukup? Aku yakin kejatuhan keluarga Jazada ada hubungannya denganmu. Mungkin seluruh lingkungan elit di industri kita sudah bisa menembaknya dengan mudah. Bagaimana mungkin keluarga Jazada yang terpandang dan hebat bisa tiba-tiba jatuh begitu saja hanya dalam hitungan hari? Itu sangat tidak masuk akal. Sangat kebetulan, kalian tiba-tiba bercerai pada tahun yang sama."
Kafka menatapnya tajam. "Sebaiknya, kamu jangan ikut campur, atau keluarga Wilson akan menjadi keluarga Jazada berikutnya."
Ryan terkekeh, menggodanya sedikit. "Kafka, Kafka! Kafka Wimantara. Kamu benar-benar orang yang sangat menarik. Aku pikir, kamu dulu adalah orang yang bisa ditebak dengan kepribadian dingin dan bertangan besi. Ternyata, kamu adalah orang yang sangat rumit. Apa gunanya kamu terlibat dengan mantan istrimu setelah mendapatkan kekuasaan dan harta yang berlimpah? Menurutmu, apakah Yana Jazada layak membuang-buang waktumu yang berharga?”
“Keluar dari sini sebelum aku melakukan hal yang akan membuat kakekmu marah,” desis Kafka dingin, mata menyipit penuh benci.
Ryan seketika terdiam dengan wajah sangat serius. "Jangan mengaitkan hal ini dengan kakekku."
Kafka tersenyum sinis. "Oh, ya? Coba saja jika kamu masih ingin melewati garis batasku. Aku tidak akan segan-segan untuk melaporkanmu kepada kakekmu."
Yana yang mengamati kedua pria itu merasa tegang dan gugup. Dia ingin melerai mereka, tapi hanya bisa terdiam bingung.
Dia tidak terlalu tahu banyak mengenai keluarga Wilson, tapi siapa pun tahu bahwa kakek keluarga Wilson adalah orang yang sangat berpengaruh di lingkungan mereka. Dengan cucu seperti Ryan Wilson, tentu saja hubungan mereka tidak begitu akrab. Jika sampai Kafka mengadu, maka Ryan mungkin akan mendapat kesulitan yang tidak sedikit.
Sambil terkekeh dengan ekspresi yang lebih menarik dan lucu, Ryan menoleh ke arah Yana. "Sebaiknya kamu mendengarkan saran dokter dan jangan bertindak nekat. Kali ini, kamu beruntung karena kebetulan aku ada di saat kamu pingsan. Lain kali mungkin tidak akan begitu."
Sambil melirik ke arah Kafka, dia melanjutkan dengan suara lebih rendag dan dingin, "Jika hal buruk terjadi kepadamu lagi, mungkin saja seseorang akan meninggalkanmu dengan sangat kejam dan mengira kamu sedang berpura-pura."
Kafka merasa tersinggung, keningnya berkerut marah. "Sudah cukup bicaranya?”
Ryan menggelengkan kepala sambil menggerak-gerakkan telunjuknya di udara dengan gaya jenaka. Walaupun mendapatkan ancaman sebelumnya, sepertinya dia adalah pribadi yang sangat riang dan suka bermain-main.
"Sungguh pria yang sangat tidak sabaran! Baiklah, Yana. Lain kali, aku akan datang untuk menjelaskan lebih jauh tentang kondisi kesehatanmu.”
Yana mengamati tatapan Ryan yang sedikit berbeda, bahkan dia merasa sorot matanya agak misterius.
Apa maksudnya?
Melihatnya yang bingung, pria itu segera berkata lagi, "Aku ‘tahu’ semua riwayat kesehatanmu. Bagaimana jika kamu mendengarkan saran dariku agar bisa menjaga tubuhmu lebih baik lagi?"
Kata "tahu" sengaja diucapkan dengan tekanan tertentu yang membuat sang wanita tertegun dalam diam.
Apakah Ryan mengetahui kondisinya yang sebenarnya? Jangan-jangan, pria itulah yang membantunya menutupi masalah kesehatannya dari Kafka? Tapi, kenapa?
"Dia tidak membutuhkan saran darimu. Sebaiknya, Tuan Wilson segera pergi dari sini," sindir Kafka dengan nada lebih dingin.
Ryan tersenyum mengejek sebelum akhirnya dia pamit dari hadapan Yana.
Keheningan muncul di ruangan selama beberapa saat.
Kafka berjalan mendekat ke arah ranjang pasien, membuat wanita dengan wajah pucat yang tampak waspada seketika membeku dengan ekspresi takut di wajahnya.
Ketika tangan pria itu terangkat ke udara, Yana buru-buru menutupi kepalanya.
"Maaf! Maafkan aku! Aku tahu aku salah! Tolong jangan pukul aku!"
Kafka membeku dengan tangan menggantung di udara, wajahnya gelap dan tampak marah.
Apakah Yana mengira dia akan memukulnya?
Kesal dengan sikapnya yang terlihat rapuh dan mudah ditindas, Kafka segera meraih apel di tangan wanita itu, lalu membuangnya dengan malas ke tempat sampah.
Kaget dengan sikap Kafka yang sulit ditebak, Yana menatap semakin bingung.
"Kenapa membuangnya?”
“Kamu masih ingin memakan buah yang sudah disentuh oleh pria yang menjijikan seperti itu? Apakah kamu sudah jatuh serendah ini sampai tidak memperhatikan harga dirimu sama sekali?"
Yana tertawa ironis, matanya menunjukkan kesedihan dan kemarahan sekaligus. .
"Bukankah itu yang kamu mau? Apa pentingnya harga diri? Kamu sudah melihatku bekerja di klub malam, bukan? Bukankah itu alasannya kamu menyuruhku untuk minum demi satu miliar rupiah? Bagaimana melihat mantan istri yang kamu benci akhirnya terjatuh ke dasar neraka dan mempermalukannya? Pasti kamu sangat puas, bukan?"
Kafka mengerutkan kening, bertambah kesal mendengar perkataannya. Dengan gaya arogan dan dingin, dia duduk di kursi dan menatap Yana tanpa mengatakan apapun.
Merasa tidak nyaman dengan tatapan tersebut, Yana melirik ke arah lain.
"Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Aku tidak memintamu untuk membawaku ke rumah sakit, bukan? Kalau kamu meminta ganti biaya rumah sakit, sebaiknya kamu tunggu saja. Aku akan mengumpulkan uang untuk membayarmu. Tapi, aku butuh waktu.”
“Aku pikir semua kesombongan dan sifat keras kepalamu sudah hilang. Ternyata masih sama seperti dulu."
Yana menoleh, menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Kamu tidak perlu menghina aku seperti ini, bukan?"
Kafka melirik ke arah tiang yang menunjukkan beberapa kantong cairan dengan warna berbeda. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Mendengar pertanyaannya yang tulus, hati Yana sedikit tergerak. Dia menjawab dengan suara lembut, "Sudah lebih baik. Terima kasih."
Kafka bersandar, bersikap arogan layaknya seorang raja tirani.
Dia menatap Yana dengan dingin. "Kamu tidak bisa minum. Kenapa masih saja menerima tantanganku. Apakah itu salah satu trikmu untuk mendapatkan perhatian dariku? Kamu ingin membodohiku lagi?"
Yana hampir saja menjatuhkan rahangnya mendengar nada menuduh dari suaminya. "Jangan bicara sembarangan! Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu! Kalau aku tahu di kamar VIP itu ada kamu, maka aku tidak akan masuk ke sana!”
Nadi di pelipis Kafka berdenyut hebat!
Jadi, dia berniat untuk terus bersembunyi darinya?
Kalau dia tidak mendengar kabar dari manager klub bahwa mereka menerima putri kaya yang jatuh miskin dan membawa banyak keuntungan dari para tamu, dia tidak akan pernah tahu kalau Yana bersembunyi dengan cara seperti itu setelah mereka bercerai.
Dia benar-benar melakukan apa yang dia katakan dulu! Dasar jalang!
Kafka sangat marah! Beraninya wanita itu lari darinya dan bersembunyi setelah membuat hidupnya kacau dan berantakan!
"Oh, ya? Benarkah? Lalu, kamu tahu sendiri kondisimu yang lemah. Kenapa malah memilih untuk minum demi satu miliar rupiah? Aku tidak percaya kamu hanya menginginkan uang semata. Kamu adalah wanita yang sangat licik dan serakah. Kalau itu yang menjadi incaranmu, baiklah. Aku akan memberikannya."
Yana menatapnya ganjil. Dia benar-benar tidak mengerti dengan maksud ucapan mantan suaminya.
"Bicaralah yang jelas. Aku tidak memahami maksud perkataanmu!”
“Bukankah kamu butuh uang? Tidak. Lebih tepatnya, kamu sangat mencintai uang, bukan?"
Kafka diam sebentar, aura mengintimidasinya semakin kuat. "Keluarga Jazada baru mengalami kebangkrutan kurang dari dua tahun. Tapi, kamu sudah berakhir bekerja di klub malam untuk menghibur tamu? Apakah kamu tidak bisa mengandalkan kemampuanmu yang lain? Oh, aku lupa. Kamu memang adalah wanita yang tidak bisa melakukan apapun, bukan? Tidak hanya manja dan suka menghamburkan uang. Kamu bahkan tidak bisa mengurus perusahaan yang dipercayakan kakekmu kepadamu."
Syok!
Yana memerah sekujur tubuh karena malu!
Dia tidak bisa membantah perkataan Kafka. karena itu memang benar. Dulu, dia sangat suka berfoya-foya dan bersikap arogan. Alasan dia tertarik dengan manajemen perusahaan semata-mata karena dia ingin bersanding dengan Lucas Bayanaka, cinta pertamanya.
Walaupun dia cukup menguasai bidang tersebut, tetapi ketika terjun langsung ke lapangan, sangatlah berbeda. Seharusnya, posisi itu didapatkan oleh kakaknya, Arzaka Jazada.
Sayangnya, karena kondisi kakaknya selalu sakit-sakitan, maka dia tidak bisa menjadi pilihan yang tepat.
Semua pemegang saham pasti tidak akan setuju untuk menunjuknya sebagai pemimpin baru. Sedangkan adiknya, Tera Jazada masih sangat muda dan tidak tahu apa-apa. Jadi, satu-satunya pilihan kakeknya jatuh kepada Yana. Sialnya, dia malah mendapati banyak hal buruk di saat yang sama.
"Apakah kamu sengaja datang kemari hanya untuk menghinaku?" tanya Yana dengan tatapan kosong. Suaranya sangat lirih dan halus, tidak ada semangat. Seolah-olah dia telah kalah oleh sesuatu.
Kafka mengerutkan keningmu.
“Kenapa? Apa kamu tidak suka aku mengusir Ryan Wilson dari ruangan ini? Apakah sekarang seleramu sudah berubah? Aku berpikir kamu akan menyukai Lucas Bayanaka untuk seumur hidupmu. Ternyata, kamu adalah wanita yang plin-plan."
Yana melotot marah. "Cukup! Jangan sebut nama Lucas dalam hal ini."
"Oh, kamu masih ingin membela pengkhianat itu?"
Yana merapatkan bibirnya gelisah. Tatapannya tampak rumit. Kafka sangat tahu mengenai hubungannya dengan Lucas Bayanaka. Dia juga mengerti alasan mengapa Yana mau menikah dengannya dan memilih mempertahankannya sebagai suami selama tiga tahun.
Sewaktu mereka menikah, Yana menuduh Kafka sebagai pria kejam yang menghancurkan cinta sejatinya dengan sengaja.
Dia memang berniat untuk menikah dengan pria lain, tetapi hanya sebatas status demi mendapatkan hak waris keluarganya dan balas dendam kepada Lucas agar dia kembali kepadanya. Setelah rencananya berhasil, dia akan segera bercerai. Namun, ketika dia mendapati dirinya tidur bersama Kafka hingga menjadi viral di internet, hatinya benar-benar hancur dan tidak berdaya.
Yana diam-diam masih berharap suatu hari dapat berbaikan dengan Lucas. Sayangnya, harapan itu hancur oleh malam terlarangnya bersama Kafka.
“Lucas bukan pengkhianat!” seru Yana dengan marah, tangannya mengepal erat. “Dia hanya berada dalam tekanan keluarganya saat itu! Jangan menuduh seseorang tanpa bukti!”
Kafka tertawa terbahak-bahak dengan sikap yang arogan dan dingin, seperti iblis yang hendak mencabik-cabik mangsanya. “Hebat! Hebat sekali! Kamu ternyata wanita yang benar-benar bodoh!”