Yana Jazada tidak sadarkan diri selama beberapa hari.
Ketika dia terbangun, dia menatap langit-langit berwarna putih dengan perasaan tidak nyaman.
Selama beberapa saat, dia mengamati sekeliling dengan pandangan kabur. Dari bau desinfektan, dia bisa mengetahui kalau dia sedang berada di rumah sakit.
Apakah Kafka yang membawanya kemari?
Yana tidak bisa mengingat apa pun,kecuali ingatan tentang mantan suaminya yang membawanya untuk dipermainkan oleh pria lain.
Seorang perawat tiba-tiba masuk, berniat untuk memeriksa alat-alat yang terpasang di tubuh wanita itu.
"Ya,ampun, Anda sudah bangun? Syukurlah!" seru perawat wanita dengan wajah sangat gembira.
Dia segera pergi untuk memanggil dokter dan buru-buru melakukan panggilan telepon.
Yana tampak pucat dengan wajah kebingungan.
Jika dia di rumah sakit, apakah penyakit kankernya ketahuan?
Apakah Kafka akan merasa sedikit kasihan?
Wajahnya semakin pucat dan sudut bibirnya membentuk senyuman ironis. Dia benar-benar merasa sangat lemah. Entah sudah berapa hari dia terbaring di sana.
Sungguh bodoh dia menerima tantangan dari Kafka untuk minum. Sekarang, dia menyesalinya.
Sekitar 3 menit kemudian, seorang dokter pria masuk ke ruangan. Dia memeriksa Yana dengan sungguh-sungguh dan sangat serius.
Selama berurusan dengan rumah sakit, Yana belum pernah melihat keseriusan seorang dokter seperti itu ketika sedang memeriksanya.
Dengan suara serak, Yana bertanya dengan wajah lesu, "Dokter, apa yang terjadi kepada saya?"
Dokter melepas stetoskop dari telinganya, lalu berkata pelan dengan suara yang dalam dan sangat serius, "Nona Jazada, Anda punya masalah dengan lambung gara-gara minum terlalu banyak. Jika saja Anda terlambat dibawa ke rumah sakit, nyawa Anda bisa melayang. Tolong berhenti untuk minum di masa depan. Kalau Anda tidak sayang dengan nyawa Anda, silakan minum sampai puas."
Yana memandangnya dengan tatapan kelam.
Dia bukan wanita yang suka minum. Walaupun dia bekerja di klub malam beberapa minggu belakangan ini, dia sudah melakukan perjanjian dengan manajer klub malam bahwa dia tidak akan minum selama melayani tamu, kecuali dalam keadaan khusus. Itu sebabnya dia setuju untuk menerima tantangan dari mantan suaminya.
Yana mengabaikan omelan sang dokter dan bertanya lagi, "Sudah berapa lama saya tidak sadarkan diri, dokter?"
Dengan helaan napas berat, sang dokter menjawab, "Sekarang sudah hari Rabu. Untung saja kamu sudah terbangun. Kalau tidak, kamu dan aku bisa mendapat masalah besar."
Yana tidak memahami ucapannya. Kepalanya sedikit pusing dan perutnya masih tidak nyaman. "Bagaimana dengan biaya rumah sakitnya, dokter? Bolehkah saya keluar hari ini juga? Saya tidak punya uang untuk membayar kamar VIP ini."
"Jangan khawatir. Semuanya ditanggung oleh Tuan Bimantara."
Yana terdiam.
Jadi, benar kalau Kafka yang membawanya kemari?
Sungguh ironis. Dia bersikap sebagai penjahat dan penolong di saat yang sama. Apakah dia tidak rela kalau dirinya meninggal lebih cepat? Apakah dia masih ingin menyiksanya?
Setelah dokter selesai memeriksanya, Yana akhirnya mendengarkan sedikit cerita dari perawat mengenai bagaimana dia bisa berakhir di rumah sakit. Ternyata, meskipun Kafka membawanya ke sini, pria itu tidak pernah mengunjunginya sejak keluar dari ruang operasi.
Yana bertanya-tanya dalam hati, apakah pria itu sedang merencanakan sesuatu?
Perawat membantu Yana bersandar di kepala tempat tidur. Sekarang sudah jam 2 siang lewat sedikit. Karena lambungnya masih bermasalah, dia tidak bisa makan makanan berat.
"Untuk sementara, Anda tidak boleh makan makanan pedas, keras, kecut, dan makanan yang bisa merangsang asam lambung," kata perawat itu serius.
Yana hanya mengangguk, memperhatikan perawat yang menata beberapa obat yang siap dikonsumsinya. Walaupun dia tidak bisa makan dengan normal, perawat memberinya cairan sebagai pengganti makanan.
"Maaf, apakah aku bisa meminjam ponselmu?" tanya Yana sopan.
Perawat tampak sedikit terkejut. "Apakah Anda akan menghubungi Tuan Bimantara? Jangan khawatir. Saya sudah memberitahunya kalau Anda sudah siuman.”
Yana menggeleng cepat. "Bukan, aku ingin menghubungi keluargaku."
Apakah tidak ada yang mencarinya selama dia menghilang?
Sejak keluarganya jatuh miskin, keadaan mereka sangat berantakan.
Dia memiliki dua saudara lelaki, serta ibu dan ayah yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka telah kehilangan segalanya.
Mereka semua mengalami shock budaya hingga kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari dari kaya menjadi miskin. Yana khawatir sesuatu telah terjadi pada mereka berempat.
Sepertinya ponselnya tidak ada bersamanya sewaktu dia pingsan. Yana menduga ponselnya tertinggal di klub malam. Sangat merepotkan jika harus kembali ke sana sekarang.
Perawat dengan baik hati meminjamkan ponselnya. Sayangnya, setelah memeriksa nomor darurat di penyimpan awan, semua nomor yang dihubungi oleh Yana tidak bisa tersambung.
"Kenapa tidak ada yang bisa dihubungi? Ada apa ini?" pikir Yana dengan cemas. Kekhawatirannya tentang keluarganya semakin membesar.
Dia tidak bisa berhenti memikirkannya dang sangat gelisah. Akhirnya, dia memutuskan untuk menghubungi sahabatnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara wanita dengan nada khawatir di ujung telepon. "Ya, ampun! Yana, kamu dari mana saja? Seluruh keluargamu mencarimu. Kamu tahu?"
Yana terdiam sejenak mendengar suara sahabatnya yang terdengar manis dan penuh kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja. Ada sedikit masalah dengan pekerjaan, makanya aku harus pergi keluar kota untuk sementara. Maaf karena aku tidak memberitahu siapapun karena ini adalah urusan mendadak. Apakah keluargaku baik-baik saja? Kenapa ponsel mereka tidak bisa dihubungi?"
Wanita di seberang telepon menghela napas berat, membuat Yana semakin khawatir. "Sepertinya... keluargamu mengalami masalah besar, Yana. Setelah kamu menghilang, kondisi mereka semakin memburuk. Rumah kalian disita. Jangan khawatir, mereka tinggal sementara bersamaku. Aku sudah mencoba menghubungimu beberapa kali, tapi selalu gagal. Memangnya, kamu ada urusan apa sampai tidak memberitahu kami semua?"
Yana terdiam, matanya melebar dengan ngeri. "Rumah kami disita? Kenapa? Bagaimana bisa?!”
Wanita di seberang telepon terdengar ragu-ragu ingin mengatakannya. “Yana, tolong, jangan marah. Ayahmu…”
Wanita itu terdiam sebentar.
Yana seketika merasakan keringat dingin mengalir deras di tubuhnya. Wajahnya sangat pucat.
“Arini, cepat katakan, ada apa?” desaknya, suaranya bergetar oleh perasaan yang kacau.
Arini terdengar sangat gugup. Akhirnya, dengan nada tidak enak hati, dia menjelaskan, “Ayahmu sepertinya sudah kecanduan berjudi. Dia kalah bertaruh dan menyerahkan sertifikat rumah kalian. Sebelumnya, dia bahkan sudah menjual semua ponsel yang ada di rumah. Gara-gara itu, kakakmu menghajar ayahmu hingga babak belur. Sekarang, kakakmu ditahan di kantor polisi, sedangkan ayahmu harus dirawat di rumah sakit. Ibumu terus menangis sepanjang hari dan adikmu hanya bisa mengurung dirinya di kamar. Tidak mau keluar sama sekali.”
Seolah tersambar petir, wajah Yana tampak hampa dan terpukul.
Hanya beberapa hari dia tidak sadarkan diri, tapi keluarganya sudah mengalami masalah sebesar itu? Bagaimana mungkin?!
"Yana, kamu masih di sana?" teriak Arini cemas.
Yana mengertakkan giginya, menahan marah. "Ayahku sungguh keterlaluan kali ini. Benar-benar tidak bisa dimaafkan! Tidak heran kakakku memukulnya. Bagaimana dengan adikku? Apakah dia baik-baik saja? Dan ibu?" Yana bertanya dengan suara serak.
Arini terdengar lesu. “Adikmu... dia sangat malu dengan apa yang terjadi. Seperti kataku, dia mengurung diri di kamar dan tidak mau pergi berkuliah. Ibumu terus menangis sampai matanya bengkak dan suaranya serak.”
Yana menggigit bibirnya cemas. “Jangan khawatir. Tunggu sampai aku pulang. Aku akan membereskan semua masalah kami.”
Setelah beberapa menit lagi berbicara, Yana akhirnya menutup telepon.
"Bagaimana?" tanya perawat yang datang untuk mengambil kembali ponselnya.
Yana yang sedang melamun menatap ponsel di tangannya perlahan mendongak lesu, bibirnya tersenyum rapuh. “Mereka baik-baik saja. Terima kasih sudah meminjamkan ponselmu.”
“Tidak masalah. Sekarang, berbaringlah lagi.”
“Biaya rumah sakit sudah dibayar, bukan? Kalau begitu, boleh aku pulang sekarang juga?”
Perawat terkejut, buru-buru menghentikannya. “Tidak! Anda tidak boleh pulang sekarang! Dokter melarang Anda melakukan pekerjaan berat! Sebentar lagi, Anda harus mendapat suntikan. Kalau tidak, perut Anda bisa kembali bermasalah!”
“Aku hanya akan keluar sebentar. Apakah itu saja tidak boleh?”
Perawat ragu-ragu, lalu berkata cepat, “Biar aku tanyakan kepada dokter dulu.”
Yana mengangguk setuju. Dia hanya butuh keluar sebentar. Setelah itu akan kembali ke rumah sakit. Setidaknya, dia harus mengetahui apa yang telah menimpa keluarganya.
Perawat keluar ruangan, pura-pura berjalan menuju meja resepsionis. Lalu, dia berbelok ke sudut lain yang sepi dan menghubungi seseorang dengan wajah serius.