“Aku... aku....”
Ucapannya tidak bisa selesai, tiba-tiba saja langsung muntah di jas mahal pria itu.
“Kamu!”
Yana tidak mendengarkan keluhannya, perutnya sangat sakit dan panas!
Kepalanya kembali pusing. Kali ini lebih parah dibandingkan sebelumnya.
“Jika tidak bisa minum, kenapa minum?” ejek Kafka dingin, mendorongnya jijik dengan bau alkohol dan muntah yang sangat buruk.
Sekilas, ada kelembutan melintas di bola mata dinginnya ketika melihat wajah pucat dan kasihan Yana. Tapi, ketika kenangan di hari di mana Yana mengajukan surat cerai kepadanya dengan wajah sangat arogan dan angkuh, mata dingin itu kembali menjadi kejam dan jahat.
Yana jatuh terduduk ke lantai, terus muntah seperti rohnya sudah mau meninggalkan raganya.
“Bangun! Jangan pura-pura menderita! Aku tidak akan kasihan kepadamu!”
Ancaman Kafka sangat dingin, tapi dia tidak bisa meladeninya sekarang. Dia benar-benar menderita gara-gara minum terlalu banyak.
Kafka mengendus pakaiannya yang bau, keningnya bertaut jengkel!
“Yana Jazada! Cepat bangun! Kalau tidak, aku akan melemparmu masuk sembarangan ke salah satu kamar untuk dimainkan!”
“Sakit.... Kafka.... perutku sakit...” rintih Yana dengan keringat dingin membasahi punggungnya.
Kafka berpikir dia sedang bersandiwara agar menarik simpatinya. Hatinya sekarang sudah sekeras batu. Dia tidak akan peduli dengannya meski dia terlihat menyedihkan seperti itu.
“Jangan merengek! Kalaupun kamu mati, aku tidak akan peduli!”
Seperti ada yang pecah di dalam dirinya, Yana meneteskan air mata sambil memegangi perutnya. Dia terkekeh ironis menatap lantai dengan pandangan kabur. “Tidak peduli? Kamu memang tidak pernah peduli kepadaku, kan? Benar. Meskipun aku mati, kamu memang tidak akan pernah merasa sedih. Sebaliknya, kamu pasti akan merasa sangat bahagia dan merasa puas. Aku mengerti. Aku sangat mengerti, Kafka Bimantara.”
Suaranya yang agak jelek membuat Kafka merasa tidak nyaman. Dia menatap rumit wanita yang kembali muntah di lantai.
“Bangun!” desisnya semakin marah, meraih sebelah lengannya dan menyeretnya kembali.
Kafka tidak punya hati.
Dia adalah serigala berbulu domba.
Yana sudah tahu hal itu dengan jelas.
Benar saja. Tidak lama setelah dia menyeretnya susah payah, pria itu melemparnya ke sebuah ruangan VIP seperti perkataannya barusan.
“Oh! Kafka? Kamu sedang apa? Siapa dia?” teriak seorang pria dengan nada ceria dan jenaka, menatap penasaran wanita yang jatuh terduduk ke lantai. Rambut panjangnya menutupi wajahnya.
“Hadiah dariku. Mainkan sampai puas!”
Yana merasa kepalanya sangat pusing dan sakit, tangan mencengkaram sisi kepalanya kuat-kuat.
“Sakit. Sakit sekali,” gumamnya dengan suara terisak.
“Hadiah? Tidak biasanya kamu memberi orang lain hadiah seperti ini. Memangnya, dia itu siapa?” tanya pria itu lagi. Di kedua sisinya terlihat dua wanita sedang duduk dengan sikap yang sangat genit dan manja.
“Dia pernah bilang ingin menikah denganmu. Aku hanya mengabulkan keinginannya malam ini. Apakah kamu mau menerimanya atau tidak, terserah kamu saja. Tapi, aku ingatkan, dia ini sangat kotor. Sudah tidur dengan banyak pria di tempat ini,” jelas Kafka dengan nada dingin yang berbahaya.
Pria di sofa kulit tertawa terbahak-bahak. “Kamu datang kemari membawa wanita bau itu hanya untuk mengejekku? Kafka, kamu keterlaluan! Sejak kapan kamu begitu tidak bisa ditebak? Apakah kamu masih marah gara-gara persaingan proyek bulan lalu? Walaupun aku menggunakan trik kotor, bukankah kamu yang berhasil mendapatkannya? Tidak perlu seperti ini untuk membalasku, kan?”
Yana menggelengkan kepala pelan, mencoba untuk tetap sadar. Dia tidak terlalu mendengar percakapan mantan suaminya dengan pria di sofa. Rasa sakit yang menyerangnya terlalu parah sampai ingin rasanya pingsan.
“Ryan Wilson, hadiah ini aku berikan sebagai gencatan senjata. Anggap saja untuk memperbaiki hubungan kita berdua. Lihat dulu barangnya, baru protes kepadaku. Dia tidak terlalu buruk, wajahnya di atas rata-rata,” ujar Kafka kejam, lalu menarik rambut Yana agar wajahnya terlihat jelas di bawah lampu remang-remang.
Ryan Wilson terdiam dalam kekagaten!
Bukankah dia adalah mantan istrinya?
Kenapa dia membawanya sendiri kemari?
Yana yang mulai sedikit sadar karena rasa sakit di kulit kepalanya, seketika menyadari siapa yang duduk di depan sana. Sudut bibirnya tertarik ironis, menertawai diri sendiri di dalam hati.
Dia tidak menyangka kalau Kafka masih ingat dengan kata-katanya dulu.
Ryan Wilson, pria playboy dari keluarga kaya yang terpandang. Dia tampan dan berkharisma. Sayangnya, kerjanya cuma bisa bersenang-senang dan menghamburkan uang, lalu membuat skandal di mana-mana.
Secara pribadi, Yana sangat jijik dengannya dan paling benci pria tidak setia. Tapi, pada hari dia mengajukan perceraian kepada Kafka, dia malah membandingkannya dan berkata kalau Ryan yang menjijikkan lebih baik daripada dirinya.
Hari ini, Kafka balas dendam kepadanya. Sangat bagus! Benar-benar sangat bagus! Langkah yang luar biasa cerdik! Dia sungguh mantan suami yang sangat perhatian!
“Kafka Bimantara, kamu serius? Dia adalah mantan istrimu, kan? Kamu yakin mau memberikannya kepadaku?” ejek Ryan, tertawa jenaka melihat mereka berdua di depan pintu. Seolah-olah, itu adalah lelucon paling lucu tahun ini.
“Kenapa aku tidak serius? Dia sangat suka uang. Kamu suka menghamburkan uang. Bukankah kalian berdua cocok?”
“Kafka, perutku sakit. Tolong aku...” bisik Yana lemah, suaranya hampir tidak terdengar. Satu tangan menarik gemetar celananya sambil mendongak lesu.
Kafka menatapnya dingin, lalu menghempaskannya dengan jijik. “Berhenti berpura-pura. Kamu sudah bertemu dengan pria impianmu. Sana pergi! Layani dia dengan baik. Mungkin dia akan memberimu lebih daripada yang aku berikan.”
Kata-katanya sangat dingin dan kejam. Yana seperti ditusuk duri di hatinya.
Karena sakit di perutnya semakin hebat, akhirnya Yana hanya bisa berbaring di lantai, mengerang kesakitan dengan keringat dingin sangat banyak.
“Bangun! Apa kamu tidak malu bersikap sok lemah seperti itu?”
Kafka menatapnya jijik, menendang sebelah kakinya yang menyentak-nyentak lemah oleh rasa sakit luar biasa.
“Sakit... Kafka, sakit...” katanya lagi, sangat kesakitan hingga tiba-tiba suaranya menghilang. Dia tidak bergerak seperti sedang pingsan.
Kafka kesal melihatnya. “Cepat bangun! Jangan bersandiwara seburuk ini!”
Ryan yang melihat sikap kasar Kafka segera bangkit dari duduknya, terlihat cemas dan panik.
“Minggir!” serunya marah kepada dua wanita di dekatnya yang berniat untuk menghentikannya pergi.
“YANA JAZADA, CEPAT BANGUN!” raung Kafka sangat marah, dia menendang arogan sebelah kakinya lebih keras, tapi wanita itu tidak bergerak sama sekali.
Hati Kafka seketika dilanda perasaan panik dan takut. Wajah dinginnya segera hancur, berganti dengan ekspresi bingung yang penuh rasa bersalah.
Dia tiba-tiba teringat hari-hari di mana Yana selalu kesakitan ketika sedang datang bulan. Saat itu, Kafka pasti akan dengan telaten dan hati-hati untuk merawatnya seperti kaca yang rapuh.
Jantung Kafka berdetak sangat kencang. Sekujur tubuhnya gemetar dingin. Tatapannya tidak ada kebencian lagi, melainkan rasa khawatir yang begitu jelas. Kelembutan masa lalu hadir tanpa diminta di dalam dirinya.
Semua ketenangan dan sikap dinginnya langsung hilang dalam sekejap mata.
Sebenarnya, dia tidak pernah melihat Yana minum sebelumnya. Tapi, kemarahan dan rasa benci menggerogoti hatinya ketika melihatnya masuk ke ruangannya dengan pakaian yang menarik perhatian semua pria.
“Nyalakan lampunya! Cepat!” teriak Ryan sangat keras, membuat Kafka segera sadar dari lamunan linglungnya.
“Kamu mau apa? Jangan sentuh dia!” bentaknya marah, menangkap cepat tangan Ryan yang hendak membuka pakaian wanita di lantai.
Ketika lampu berganti dengan cahaya lebih terang dan jelas, wajah tampan Ryan menusuk mata Kafka.
“Aku adalah seorang dokter! Biarkan aku memeriksanya!” terang Ryan serius dan tegas, menyentak lepas tangannya.
Kafka terkejut, tapi dia menahan tangannya lagi.
“Jangan berbohong! Awas jika kamu berani menyentuhnya!”
Wajah Ryan sangat serius, berkata dingin dan tajam. “Kamu mau dia mati di sini? Bukankah kamu yang membawanya kemari untuk aku mainkan? Kenapa sekarang kamu malah marah?”
Kafka mengeraskan rahangnya dengan sorot mata sangat gelap, lalu ketika menyadari keseriuan Ryan, dia segera membiarkannya memeriksa Yana.
“Ini tidak baik. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Berapa banyak dia minum? Aku curiga lambungnya mungkin mengalami pendarahan,” ujar Ryan dengan suara gelisah, menahan panik seraya mencoba membangunkannya dari lantai.
Kafka tidak tahan melihat Ryan terus menyentuh Yana. Hatinya panas!
“Biar aku saja!” serunya dingin, melepaskan kasar tangan Ryan dari tubuh wanita itu dan buru-buru membawanya keluar ruangan. Wajah tampannya terlihat sangat buruk, seolah-olah dunia akan kiamat.
Ryan terkekeh dengan senyum mengejek, menatap geli ke arah pintu. “Masih peduli rupanya? Dasar pria aneh. Kalau masih suka, kenapa malah bersikap kasar?”
Di ruang tunggu gawat darurat, Kafka berjalan mondar-mandir tidak tenang sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Sial!” umpatnya marah kepada diri sendiri, wajahnya menggelap suram dan tidak berdaya.
Dia tahu kalau seharusnya dia tidak memaksa Yana minum sebanyak itu. Tapi, rasa dendam dan sakit hatinya terlalu kuat. Sekarang, rasa sesal menggigit hatinya.
Pintu tiba-tiba terbuka, membuat Kafka segera berbalik kaget dan bergegas mendekat.
“Maaf, apakah keluarga wanita itu ada di sini?” tanya dokter wanita dengan suara mencoba tetap tenang.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Kafka gugup, matanya melihat dokumen di tangan sang dokter.
Jantungnya seperti dipukul dengan palu!
Hawa dingin menggigitnya dari dalam.
Sepertinya, dia bisa menebak apa yang dokter itu inginkan.
“Pasien dalam keadaan kritis. Pihak keluarga perlu menandatangani dokumen ini sekarang juga.”
Syok!
Kafka membeku di tempatnya berdiri. Sesaat, dia merasa dunia di sekitarnya menjadi sunyi.
“Tuan? Tuan! Apa Anda baik-baik saja?”
Kafka mengerjapkan mata panik, segera menata akal sehatnya. “Seberapa parah keadaannya?”
“Saya tidak bisa menjelaskannya dengan detail, dokumen ini perlu ditanda tangani secepatnya sebelum tindakan lainnya diambil. Jika tidak....”
Tanpa peringatan, Kafka langsung menyambar dokumen dan polpen di tangan dokter. Sambil memberi tanda tangan dengan tangan gemetar hebat, dia berkata cepat dan terburu-buru “Saya adalah suaminya, dokter! Tolong selamatkan istri saya!”
Pria dingin itu mengangkat kepalanya, tidak ada aura arogan ataupun mengintimidasi seperti tadi, melainkan raut wajah tidak berdaya dan penuh permohonan. Wajahnya terlihat sangat lemas.
Sambil menyerahkan cepat dokumen ke tangan sang dokter, dia berkata linglung dan panik, “Dokter! Saya akan membayar berapapun yang kalian minta, tapi tolong selamatkan dia!”