Wajah Kafka semakin gelap dan menakutkan, seperti bayangan kematian yang siap meledak kapan saja.
"Kenapa kamu ada di sini? Bukankah seharusnya kamu beristirahat di Mansion Matahari? Apa kamu tidak mendengar apa perkataan Josep?”
Yana menggertakkan giginya, menahan amarah yang mulai berkumpul di dadanya. "Aku harus bekerja! Aku punya hutang yang harus kubayar, bukan? Kamu tahu itu! Jika kamu marah, itu bukan sepenuhnya salahku! Aku sudah berusaha menghubungimu, tapi ponselmu tidak bisa dicapai!”
Kafka terdiam, matanya menatap Yana dengan intens, seolah-olah mencoba mencari alasan di balik kata-katanya. Namun, kebisuan yang ada di antara mereka berdua hanya menambah ketegangan di udara.
Keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh sindiran Kafka. Dia mendesah tidak berdaya dengan tatapan penuh hinaan.
"Perkataanmu tadi hanya alasan, kan? Kamu bisa bekerja di tempat lain, tapi kenapa memilih klub malam seperti ini? Apa kamu sedang mencari pria yang lebih hebat dari aku? Atau mungkin berharap bertemu dengan Lucas Bayanaka di sini, lalu berkata semuanya hanyalah kebetulan?"
Yana menatapnya dengan linglung, merasa mantan suaminya sudah benar-benar kehilangan kendali.
"Apa maksudmu? Lepaskan aku!" katanya marah, mencoba menarik tangannya lepas. Tapi, Kafka tetap mencengkeramnya erat, seolah-olah tidak akan pernah membiarkannya pergi.
"Akui saja, apa aku membuatmu begitu kesepian selama tiga tahun pernikahan kita? Sampai-sampai kamu harus bekerja di klub malam seperti ini, mengemis sentuhan pria seperti seorang jalang?" ejek Kafka dengan mata yang tersenyum jahat.
Yana tidak tahan lagi!
Dia mengambil biola di tangannya lainnya, lalu menampar Kafka dengan keras menggunakan tangan kirinya.
Kafka langsung terdiam!
Tatapan dingin di wajahnya berubah menjadi sorot mata yang menyeramkan, haus akan amarah dan kebencian.
Meskipun ditampar kuat, tapi wajahnya tidak berpaling sama sekali. Dia sangat kokoh oleh kemarahan yang muncul di kedua bola matanya.
“Sepertinya, kamu memang sangat suka menampar orang, ya? Ataukah hanya khusus kepadaku?” sinis Kafka seraya terkekeh dingin. Sikapnya setengah gila, menatapnya seperti ingin membunuhnya saat ini juga.
Yana terkejut dengan tindakannya sendiri, segera mengepalkan tangannya erat. Suaranya sangat lirih seperti anak kucing menyedihkan, mata menunduk dengan rasa bersalah. "Ma-maaf... aku tidak bermaksud melakukannya.”
Yana diam sebentar, lalu berkata lebih lirih, "Ka-kamu sungguh keterlaluan. Apa kamu pikir aku bekerja di sini karena keinginan sendiri? Kalau saja kamu tidak memblokir semua akses kerjaku di Ibu kota, aku pasti sudah punya pekerjaan yang lebih baik."
Kafka menyipitkan matanya, tatapannya dingin dan misterius.
"Jadi, kamu menyalahkanku?" tanyanya dengan suara muram.
Yana tersenyum kecut, suaranya bergetar, nyaris terdengar seperti menangis. Dia menatapnya dengan air mata akan merebak kapan saja.
"Menyalahkanmu? Mana berani aku menyalahkanmu? Bukankah semua ini selalu salahku? Aku ini wanita jahat, bukan? Wanita yang tidak pantas dikasihani. Aku memang tidak bisa dibandingkan dengan kekasihmu yang sempurna. Tapi, apakah balas dendammu harus sampai sejauh ini? Sampai kapan kamu akan terus menyiksaku sebelum merasa puas? Katakan kepadaku, Kafka Bimantara!”
Melihatnya yang rapuh dan ingin menangis, ketegangan berangsur-angsur memudar.
Suara Kafka tiba-tiba berubah lembut, rendah, dan sangat enak didengar.
Ada nada kerinduan tersembunyi di dalam suaranya. "Jadi, kamu merasa cemburu?"
Yana merasa bingung, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Apa kamu sedang mabuk?" tanyanya, menatap Kafka dengan tidak percaya.
Yana tidak mencium bau alkohol dari tubuhnya. Jadi, kenapa dia malah bertanya begitu? Apakah dia sedang menggodanya? Ingin membuatnya jatuh kepada pesonanya, lalu menginjak-injaknya lagi?
“Apa kamu melihatku minum di ruangan tadi?”
“Kafka!”
“Heh! Kamu yang seperti ini pun masih saja begitu sombong. Sebenarnya, apa yang kamu inginkan? Apakah kamu benar sedang mencoba mencari pria yang lebih bisa kamu andalkan? Kenapa? Apakah Lucas Bayanaka dan Ryan Wilson masih kurang memuaskanmu? Seperti apa pria yang bisa membuatmu merasa terpuaskan di dunia ini!”
Awalnya, tatapan Kafka penuh kesedihan dan rasa kecewa. Tapi, seketika berubah menjadi ganas kembali. Dia menggertakkan gigi dan menatap Yana tajam. "Jawab! Kenapa kamu diam saja seperti batu? Selain itu, apakah kamu sangat membenci pernikahan kita? Apakah kamu sedang meledekku di ruangan tadi? Begitu tidak mau mengakuinya di hadapan semua orang? Katakan, Yana Jazada! Apa yang sebenarnya yang kamu inginkan dariku?! Berhenti membuatku kesal! Bisakah?!"
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti! Bicara yang jelas!"
Yana mencoba melawan, tetapi Kafka semakin menahan tangannya erat, membuatnya menjatuhkan biola ke lantai.
"Kamu!"
Yana marah, tapi tubuhnya langsung didorong kasar ke dinding sekali lagi. Dengan tangannya ditahan dekat kepalanya, Kafka bertanya lebih kejam, "Apakah ucapanmu yang ingin aku bahagia bersama wanita lain adalah perasaanmu yang sebenarnya?"
Yana terdiam sesaat, tidak tahu harus berkata apa.
"Apakah Kafka benar-benar mabuk?" pikirnya bingung, merasa semuanya tidak nyata.
Dari jarak sedekat ini, dia bisa melihat betapa tampannya Kafka sejak dulu.
Andai saja dia tidak divonis menderita penyakit kanker, mungkinkah semuanya akan berbeda?
Andai saja dia tidak tahu ada wanita yang disukai olehnya, mungkinkah dia akan menurunkan harga dirinya dan mengejar Kafka?
"Jawab aku, Yana Jazada!" seru Kafka meraung marah, mematahkan lamuman sedih wanita dalam kuasanya.
Yana gemetar, merasakan hawa dingin dari tubuh mantan suaminya. "Ya, tentu saja. Aku ingin kamu bahagia. Bukankah kamu tidak bahagia bersamaku?"
Kafka membeku.
Tatapan marahnya sekilas agak bergetar dengan rasa tidak percaya.
"Seharusnya, kamu...." balas Kafka setengah menggeram murka, tapi kalimatnya terputus. Ekspresi gelapnya tiba-tiba mengeras dengan sorot mata ingin membunuh.
Pandangannya tampak terganggu oleh sesuatu dan Yana tidak mengerti apa itu.
Apa yang terjadi kepadanya?
"Tuan, tolong lepaskan. Jika sampai ada yang melihat kita, gosip tidak akan bisa dihentikan. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman antara Anda dan kekasih Anda yang sedang hamil. Dia mungkin akan semakin marah dan cemburu. Aku tidak ingin menanggung kesalahan yang bukan seharusnya milikku. Jangan membuatku menjadi kambing hitam hanya untuk balas dendam!"
"Apa kamu akan bersikap begini kepadaku?" Kafka bertanya dingin. "Hah, bilang saja, kamu membenciku, kan?"
Kesal karena terus dipaksa, Yana membentaknya marah, "Ya! Aku sangat membencimu! Apakah itu belum jelas?"
Seketika, kemarahan Kafka memuncak!
Dia menekan tubuh Yana di dinding, kemudian membungkuk dan mulai menciumnya dengan sangat ganas!
Ciuman itu penuh kebrutalan yang membuat Yana kesulitan bernapas. Bibirnya dilumat dan digigit, bahkan dihisap dengan sangat kuat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya sama sekali.
Yana berjuang sekuat tenaga, tetapi semakin dia berusaha, semakin Kafka menambah kekuatan. Dia memejamkan matanya erat-erat, berharap momen sulit ini segera berlalu.
Kenapa Kafka terus saja menciumnya seperti ini?
Apakah dia hanya bisa melihatnya sebagai seorang murahan?
Ciuman itu berlangsung sangat intens, lalu diakhiri dengan gigitan Kafka pada salah satu bahu Yana yang halus dan putih.
Yana mendesis kesakitan, tapi dia tidak bisa berteriak meminta tolong. Dia takut semua orang benar-benar akan salah paham dengannya!
Air matanya mengalir hebat.
Mantan suaminya sungguh kejam!
Dia menggigitnya penuh kekuatan!
Apa dia sudah menjadi vampir yang suka menggigit orang?!
Belum sempat Yana mengucapkan sesuatu ketika Kafka melepaskannya, pria itu menarik tubuhnya dengan kuat ke luar dari tempat itu.
"Apa yang kamu lakukan? Kafka, berhenti!" teriaknya marah, merasa seolah mengalami deja vu untuk kesekian kalinya.
Apakah dia akan melemparkannya lagi ke sebuah ruangan dan mempermalukannya tanpa henti?
"Kafka, berhenti! Aku bilang berhenti!"
Yana terus berteriak marah dan merasa tidak berdaya. Namun, Kafka, dengan wajah gelap dan penuh bahaya, tidak mendengarkan perkataannya.
Tidak lama kemudian, dia melempar tubuh wanita itu ke dalam mobil.
Yana mengerang kesakitan, bibirnya bengkak dan berdarah. Sebelah bahunya berdenyut kesakitan. Bahkan, kakinya terasa sakit akibat tarikan keras Kafka yang mirip sedang menyeret hewan peliharaan.
Tidak menunggu lama, tiba-tiba saja Kafka menindih tubuh Yana yang hendak berbalik marah ke arahnya.
“Kafka!” teriaknya kaget, tidak bisa melawan ketika kedua tangannya dikunci di atas kepala.
Kafka tidak mendengarkan protesnya, dia melakukan gerakan memalukan di bagian bawah sana sambil menciumnya kembali. Lebih ganas, lebih brutal!
Yana seperti tenggelam ke dalam dasar samudra.
Dia tidak pernah merasakan kekuatan pria sekasar dan sekuat ini selama dia hidup di dunia ini.
Kenapa Kafka menggila?
Kenapa dia baru melakukan hal sekejam ini setelah dia tidak pernah menyentuhnya selama tiga tahun pernikahan mereka?
Kenapa dia malah mengkhianati kekasihnya yang sedang hamil?
Apakah pria memang selalu sebajingan ini ketika mulai bosan dengan wanita di dekatnya?
Penderitaan Yana terus berlanjut selama beberapa menit. Beruntung di mobil itu hanya ada mereka berdua. Sehingga Yana merasa tidak perlu menanggung malu luar biasa seperti sebelumnya ketika sopir berada di antara mereka berdua.
Kafka masih menggila di atas tubuh Yana, meraup kemanisan tubuhnya sampai meninggalkan banyak jejak ‘strawberry’ yang sangat jelas di kulitnya yang putih.
Menara keras milik Kafka juga sudah mulai sangat nakal dan berani. Dia dengan kasar merobek gaun putih Yana hingga dia berteriak marah dalam kesedihan dan rasa tidak percaya.
“Tidak! Jangan! Kafka! Sadarlah! Apa yang kamu lakukan?! Jangan begini! Aku mohon!” jeritnya putus asa.
Kalaupun dia ingin balas dendam, haruskah sampai sejauh ini?
Haruskah dia menyentuh wanita yang dia benci?
Bukankah dia akan ikut tersiksa dan kemudian menyesalinya?
Sayangnya, Kafka sudah gelap mata dan tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Semua teriakan Yana tidak bisa menghentikannya sama sekali.
Rasa kecewa dan kesedihan yang sudah lama dia tanggung selama pernikahannya bersama wanita kejam di bawahnya, akhirnya meluap dengan cara yang mengerikan!
Dia sangat benci dengan ketenangan Yana yang berkata ingin dia bahagia bersama wanita lain!
Dia sungguh tidak berperasaan!
Sungguh tidak bisa menghargai perasaannya sama sekali sejak awal!
Benar-benar wanita iblis!
“Kafka! Kafka!” teriak Yana tidak berdaya, merasakan pria di atasnya sedang terburu-buru membuka resteltingnya dan bergantian merobek benda segitiga tipis merah muda yang melekat di tubuhnya.
Yana merasa jantungnya seperti dipukul dengan palu!
Apakah Kafka akan memerkosanya di sini?
Benarkah dia sudah segila itu?
Yana terus berjuang, tapi ciumannya datang kembali seperti badai sementara dia mulai membuka paksa kedua kaki Yana menggunakan kedua kakinya.
“Tidak! Tidak! Jangan lakukan ini!” teriaknya putus asa.
“Diam! Bukankah ini yang kamu inginkan? Kenapa? Masih mau main tarik ulur dengan para pria? Haruskah mereka yang datang kepadamu dan mengemis untuk tidur denganmu, um? Bahkan, dalam hal ini pun, kamu sangat sombong dan angku! Apa susahnya jika kamu memohon kepadaku untuk melakukannya? Apakah kamu pikir aku tidak cukup hebat?” geram Kafka marah, matanya sangat mengerikan seperti iblis yang ingin menarikmu ke dalam jurang neraka terdalam.
Yana terisak menyedihkan, menatapnya benci dan tidak percaya.
“Kenapa kamu melakukan ini? Aku tidak sekejam kamu, Kafka Bimantara! Ini sungguh tidak adil!”
Kafka mengeraskan rahang, lalu membungkamnya dengan gigitan di bibir. Detik berikutnya, dia menciumnya ganas sekali lagi.
“Kamu sekarang adalah milikku! Sudah lupa kalau ibumu menjualmu dengan harga 100 miliar? Aku berhak melakukan apapun kepadamu! Termasuk menidurimu seperti sekarang!” geramnya di telingan Yana, sangat dingin dan penuh kemarahan yang membuat orang gemetar ketakutan.
Yana merasakan hawa dingin di tubuhnya.
Hah!
Benar!
Dia tidak salah juga!
Tidak heran dia begitu tenang setelah dia menantangnya! Ternyata, dia sudah kalah sejak awal!
Apa gunanya taruhan di antara mereka berdua?
Yana merasa sangat konyol!
Melihat wanita di bawahnya menjadi tenang, Kafka menciumnya lagi. Kali ini lebih lembut dengan tangan menjelajah nakal kemanapun dia mau.
Tidak lama kemudian, setelah merasakan keinginannya semakin meningkat, Kafka menarik kedua kaki wanita itu dan mencoba melakukan penyatuan.
Begitu dia menekannya sambil menciumnya lembut, Yana tiba-tiba berbisik saat menara kokoh pria itu ingin memasukinya.
“Bunuh saja aku sekarang. Mungkin kamu akan segera merasa puas.”
Kafka mengerutkan kening marah, tapi tetap mencoba kembali memasukinya setelah berhenti di tengah jalan.
Yana terkekeh ironis dengan kepala miring dan wajah pucatnya penuh air mata. Suaranya sangat lirih dan lemah, seperti wanita yang sangat menyedihkan.
“Jangan plin-plan, Kafka Bimantara. Bukankah kamu tidak tertarik menyentuhku meskipun aku bertelanjang di depanmu? Apa yang membuatmu berubah pikiran?”
Seperti disambar petir di wajahnya, Kafka tertegun linglung mendengar ucapannya barusan.
Dia tampak goyah melihat wanita yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi penuh dengan kebencian dan rasa kecewa.
Yana kembali berkata dengan suara lebih lirih, tersenyum mengejek, “Kamu yakin mau melakukannya? Kemarahan sesaat hanya akan membuatmu menyesalinya di masa depan. Mala Nasram pasti akan membencimu jika mengetahui kelakuan bejatmu ini.”