Tersadar dari rasa terkejutnya, Kafka menata kembali ekspresi wajah sedingin esnya.
“Apa maksudmu?”
“Apanya?”
“Perkataanmu tadi!” bentaknya marah, menekan kedua tangan Yana semakin erat di atas kepalanya.
Wanita itu tertawa putus asa. “Aku mengatakan banyak hal. Yang mana maksudmu?”
Kafka diam sebentar, rahangnya mengencang seiring jakunnya berguling dengan liar. Seolah-olah, dia sedang gelisah.
Apakah Yana salah paham?
Kafka Bimantara yang arogan dan dingin merasa gelisah saat ini?
Kenapa?
Dia pasti berpikir terlalu banyak!
Setelah memikirkan sesuatu, Kafka bertanya lagi dengan sorot mata agak bingung, tapi itu hanya sekilas sehingga Yana tidak bisa melihatnya. Terlebih lagi, cahaya di mobil tidak begitu bagus.
“Apa maksudmu kalau kamu bertelanjangpun, aku tidak akan menyentuhmu? Kapan aku mengatakannya?”
Suaranya sangat menuntut, seperti sedang marah. Tapi, secepat dia datang, secepat itu pula dia pergi. Yana hanya bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari tubuhnya, siap untuk menerkamnya seperti serigala yang marah.
Yana mendengus dingin, menatapnya datar dengan wajah bersimbah air mata. “Maaf. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu saat itu dengan Michael. Seharusnya, kamu bilang sejak awal kalau kamu punya orang yang kamu sukai. Maka aku tidak akan menahanmu lebih lama dalam pernikahan kita. Tapi, kamu tidak berani mengatakannya. Apakah salah jika aku tidak melakukan apapun? Kamu butuh status untuk naik level, sedangkan aku butuh seseorang sebagai hiasan agar status pewarisku tetap terjaga. Kafka Bimantara, aku tahu diri! Aku tahu diri kalau tidak ada pria yang akan menyukai wanita kasar dan jahat sepertiku! Seharusnya, kamu berhenti menjadi pengecut tahun itu dan menunjukkan warna aslimu lebih cepat! Tidak perlu sampai menghinaku di depan sahabatmu!”
Kalimat demi kalimat seperti membuat jantung Kafka remuk oleh tangan tak terlihat.
“Tidak mungkin! Yana mendengarnya saat itu? Kenapa dia diam saja selama ini?” batin Kafka linglung dan panik luar biasa. Tapi, tubuhnya hanya bisa membeku di atas tubuh sang wanita.
Raut wajah muram dan gelapnya berhasil tersembunyi dengan baik sehingga Yana yang kembali menangis sedih tidak bisa jelas melihatnya.
Sekarang, Kafka sepertinya bisa mengerti kenapa dia semakin membencinya di tahun kedua pernikahan mereka.
Apakah itu alasannya?
Apakah karena Yana mendengar kalau dia sangat membencinya, makanya dia menaruh dendam?
Kafka masih ingat ketika Michael baru saja pulang dari luar negeri dan mengajaknya untuk bertemu. Tapi, bagaimana bisa Yana ada di sana dan mendengar percakapan mereka?
Baru saja dia ingin bertanya, Yana menyindirnya dingin dengan suara datar menahan amarah. “Sekarang, setelah aku mengingatkanku, jaga-jaga kamu lupa dengan perkataanmu sendiri, bisa tolong lepaskan aku? Di antara kita, bukan aku yang kotor dan menjijikkan. Tapi, kamu! Kamu! Kafka Bimantara! Aku tidak pernah tidur dengan pria lain selama ini! Bagaimana denganmu? Kekasihmu sedang hamil dan kamu sedang apa denganku?!”
Kafka membeku sekali lagi. Dia terpana melihat raut wajah kecewa dan sedih di mata mantan istrinya.
Di bawah sana, bagian pribadi mereka sudah bertemu tanpa ada penghalang sama sekali. Hanya saja, karena Yana mengganggunya, maka dia gagal memasukinya.
Kafka merasa tegang dan sedikit kesakitan. Antara ingin lanjut melakukannya, tapi hatinya sedang kacau balau mendengar pengakuan Yana yang membuatnya terkejut.
Entah kenapa, rasa bersalah dan penyesalah menekan hatinya hingga seluruh kekuatannya lenyap.
“Aku tidak menyangka kalau Yana mendengar percakapan kami berdua waktu itu. Apa mungkin, dia benar-benar salah paham sampai sekarang?” batinnya dengan perasaan sesak di dadanya.
“Kafka!” tegur Yana marah, membuat sang pria kembali ke dunia nyata.
“Siapa yang memberimu izin mendengar percakapan orang lain sembarangan? Apa kamu pantas?!” geramnya marah.
Yana terkekeh lebih marah, “Aku tidak sengaja mendengarnya! Memangnya aku punya kuasa apa saat itu? Kalau tahu kamu ada di sana, aku akan menghindarimu yang sangat munafik itu!”
Marah mendengar tuduhannya, Kafka kembali memberikan gigitan di bibirnya yang membengkak.
Yana panik!
Dia bisa merasakan kemarahan luar biasa dari pria di atas tubuhnya.
“Tidak! Tidak mungkin! Apa dia akan tetap melanjutkan perbuatannya? Apa Kafka sudah gila betulan?!” batinnya panik, mencoba untuk melawan, tapi sang mantan suami tidak memberikan kesempatan sama sekali.
Seperti yang Yana pikirkan, Kafka memang berniat melanjutkan aksinya. Dia berusaha untuk memasukinya dengan kasar, tapi Yana terus saja bergerak tidak jelas sehingga membuatnya kesulitan.
“KAFKA BIMANTARA! HENTIKAN SEBELUM AKU SEMAKIN MEMBENCIMU!” jerit Yana putus asa, suaranya serak dan diselingi oleh air mata sakit hati.
Kafka tertegun kaget!
Hawa dingin seperti menggigitnya dari dalam. Wajahnya tampak terpukul dalam keremangan lampu mobil. Dia berhenti melumat leher jenjang Yana, napasnya memburu hebat.
Wanita itu kembali memohon, suaranya sangat serak sambil terisak, “Tolong... tolong jangan lakukan ini, Kafka.... Aku sudah hancur karena semua balas dendammu. Aku tidak mau reputasiku semakin buruk karena dicap sebagai wanita ketiga. Aku juga adalah seorang wanita. Aku tidak mau menyakiti wanita lain. Kekasihmu sedang hamil. Tolong jangan berbuat gila.... Jangan membuatnya patah hati.... Aku mohon....”
Kafka mengetatkan rahangnya erat, menarik dirinya sedikit agar bisa melihat Yana menangis tersedu-sedu dengan kepala miring.
“Apa kamu tulus membiarkanku bahagia bersama wanita lain? Jawab aku!”
Yana tidak melihatnya, dia terus terisak dan mengangguk cepat. “Tulus! Aku sangat tulus! Kamu tidak bahagia bersamaku! Sudah seharusnya kamu bersama wanita yang kamu cintai! Aku tidak ada hubungannya denganmu lagi! Aku tidak akan marah jika kamu bersamanya! Aku sudah tidak punya kekuatan dan kekuasaan untuk menindasmu! Aku tidak akan balas dendam apapun! Cukup lepaskan aku saja! Tolong akhiri apapun di antara kita berdua!”
Hati Kafka tenggelam berat. Wajah dinginnya sangat suram.
Dia menaikkan tangan untuk menamparnya agar sadar dari ucapannya. Tapi, dia segera sadar di detik berikutnya.
Tangannya mengepal erat di udara, lalu meraung marah sangat hebat hingga Yana gemetar ketakutan dengan mata terpejam erat.
“Jangan mimpi kamu bisa lepas dariku, Yana Jazada! Seumur hidup, kita berdua akan selalu bersama! Baik sebagai istriku, maupun sebagai simpananku! Ingat itu!” desisnya penuh kebencian, tepat di wajah Yana sembari mencubit dagunya kejam.
Yana merasakan hawa dingin ketika melihat mata gelap menakutkan itu seperti sedang mengebornya hingga ke inti.
Kenapa Kafka begitu membencinya?
Yana sudah hancur sementara dia menjadi pria paling berkuasa di Ibu Kota. Dia bahkan sudah bisa bersama cinta sejatinya. Bukankah dia adalah pemenangnya?
Apa yang tidak membuatnya puas?
Apakah dia sungguh pendendam?
Melihatnya sangat ketakutan, Kafka tersenyum dingin yang sangat mengejek, lalu menciumnya kasar dengan sangat dalam sebelum akhirnya dia keluar dari mobil tersebut.
Yana merasakan napasnya memburu oleh rasa takut dan lega di saat yang sama. Tangisannya lebih keras daripada sebelumnya.
Hinaan Kafka malam ini membuat hatinya retak sekali lagi.
Kafka pergi entah ke mana, dia tidak peduli.
Sekarang, setidaknya dia bisa selamat dari kekacauan pria itu.
Wajah Yana memerah malu ketika teringat benda panas dan keras mencoba masuk ke bagian pribadinya.
Walaupun Kafka memperlakukannya sangat kasar dan kejam, tapi hatinya tidak bisa berbohong. Dia sangat mencintai Kafka selama bertahun-tahun dalam diam. Sentuhan darinya adalah impiannya yang selalu tidak bisa terwujud.
Itu adalah fantasi yang sangat memalukan. Tapi, Yana tidak bisa menghapusnya dari otaknya begitu saja.
Untungnya, akal sehatnya masih ada. Terlebih lagi, Mala Nasram sedang hamil. Mana mungkin dia membiarkan dirinya jatuh ke dalam kegelapan baru yang akan menghancurkan hidupnya seperti dulu?
***
Selama sekitar setengah jam, Kafka sibuk di salah satu toilet membereskan kebutuhannya yang mendesak.
Dia menggeram marah menahan suasana hatinya yang bergejolak oleh ucapan Yana tentang apa yang didengarnya beberapa tahun lalu.
“Berengsek!” umpatnya pada pantulan cermin di depannya.
Setelah merasa lebih tenang sedikit, Kafka akhirnya bergegas kembali ke mobil, berniat memeriksa kondisi Yana yang ditinggalkan begitu saja.
Dia tidak punya pilihan.
Jika dia terus berasa bersamanya, maka dia mungkin tidak akan bisa menahan diri lagi.
Sayangnya, ketika dia sampai di halaman parkir, Kafka menggelap dingin melihat Yana yang sedang muntah-muntah di belakang mobil.
“Apa kamu sangat jijik dengan sentuhanku?” sindirnya dingin kepada wanita yang terkejut menyadari suara yang datang dari belakang.
Hawa dingin menyentak hati Yana, segera mengusap cairan merah kental dan berkarat dari bibir pucatnya.
“Perutku tidak enak. Kamu lupa kalau aku baru keluar dari rumah sakit?” balasnya dengan suara lemah dan sedikit bergetar.
Dia baru saja muntah darah. Mana mungkin dia berkata jujur kepadanya sementara semua ucapannya selalu dianggap bohong?
Kalau dia bilang yang sebenarnya, Kafka pasti mengejeknya untuk mencari perhatian.
Suasana di parkir itu agar gelap. Pencahayaannya tidak begitu bagus karena salah satu lampunya mati.
Kening sang pria mengernyit dalam melihat titik hitam di sudut bibir Yana. Dia hendak menyekanya, tapi wanita bergaun putih berantakan itu tersentak kaget menghindarinya. Kakinya mundur sangat cepat seperti takut akan dipukul olehnya.
Kafka marah!
Apakah dia sungguh jijik kepadanya?
“YANA JAZADA!”
“Ka-kamu mau apa?!” teriak Yana marah, menatapnya seperti mangsa yang sangat ketakutan.
Sesaat, pria dingin berdiam diri dengan raut wajah penuh konflik. Mengamatinya dari atas ke bawah. Hatinya seketika kacau luar biasa!
“Kalau tahu kamu baru keluar dari rumah sakit, kenapa masih saja pergi bekerja? Terlebih lagi, tempat kerja seperti ini. Apa kamu kecanduan kesakitan?”
“Kafka Bimantara! Kenapa mulutmu jelek sekali?!” jerit Yana kesal dengan sindiran darinya.
Yana merasa jantungnya nyaris melompat keluar ketika pria itu datang mendekat. Tapi, suara dingin penuh titahnya memberikan ancaman yang nyata. “Jangan bergerak! Atau kamu akan menyesalinya!”
Yana merasa gugup. Ingin lari, tapi takut dengan aura Kafka yang terlalu mengintimidasi.
Dia mengira kalau mantan suaminya akan melakukan sesuatu yang buruk. Ternyata, dia malah melepas jas yang dipakainya dan mengenakannya kepada tubuhnya hingga membuatnya canggung.
“Ayo pulang!”
Yana meliriknya bingung, tidak mengerti dengan sikapnya yang berubah-ubah.
“Apa ini? Darah? Kamu terluka?” kata Kafka dingin ketika menyadari sebelah lengan baju Yana ada bekas darah memanjang yang terlihat samar.
Syok!
Yana menarik lengan bajunya panik, berkata seraya mengalihkan pandangannya ke tempat lain. “Tadi ada anak kucing yang terluka. Aku sempat menolongnya. Dia sudah pergi.”
Kening Kafka bertaut kencang.
Dia tidak percaya dengan alasannya begitu saja, tapi melihat Yana gemetar oleh hawa dingin malam hari, dia segera menariknya masuk ke dalam pelukannya dan membawanya masuk ke dalam mobil.
Dari jauh, Sukardi Galih melihat Kafka dari teras pintu masuk klub Blue Diamond.
Pria bertubuh besar itu mengelus dagunya dengan tatapan menarik. “Kafka. Kafka. Aku tidak menyangka kamu sangat nakal. Sejak kapan kamu menjadi pria sebajingan ini? Yah, tapi Yana Jazada memang sangat menarik. Sayang sekali dia malah jatuh ke tangan pria kejam itu. Malang sekali nasibnya. Mala pasti akan sangat murka mendengar kelakuan calon suaminya itu. Dasar pria berengsek.”
Sukardi terkekeh-kekeh menarik sebelum akhirnya kembali ke dalam ruangan, dia menghubungi seseorang dengan suara jenaka. “Halo? Mala? Ini aku, Sukardi Galih! Oh, ya! Selamat atas kehamilanmu! Maaf belum bisa menemuimu secara langsung! Kamu ada waktu? Ayo bertemu!”