Semua orang di ruangan VIP sangat terkejut. Mereka menatap Kafka dengan tatapan terheran-heran, seolah-olah dia sudah gila. Sukardi Galih segera menepuk sebelah bahunya cepat. “Kafka, jangan bermain-main. Satu triliun itu sangat banyak. Apa pantas dia mendapatkannya sebanyak itu?"
Sukardi Galih melihat sebentar ke arah Yana yang membeku kaget di tempatnya berdiri. Tangan kanannya mengelus dagunya sendiri sambil berpikir mengamatinya serius, berkata pelan, "Sebenarnya, memberinya satu triliun itu tidak begitu buruk. Tapi, apakah wanita sepertinya bisa puas dengan uang sebanyak itu? Wanita yang suka tidur dengan banyak pria biasanya adalah wanita yang sangat rakus."
Yana tidak mengomentari apapun mendengar perkataan Sukardi Galih yang begitu terus terang di hadapannya. Bibirnya merapat erat. Dia benar-benar terguncang mendengar hinaan mantan suaminya yang ingin membelinya senilai satu triliun rupiah.
Bercanda atau tidak, kata-katanya sangat keterlaluan. Setelah dijual oleh ibunya, kini Kafka ingin mempermalukannya serendah itu?
Apakah menurutnya dia tidak memiliki harga diri hanya karena bekerja di sebuah klub malam?
Kafka menatap Yana lekat-lekat, sudut bibirnya membentuk senyuman yang sangat mengejek. "Satu triliun. Jika memang tidak cukup, aku bisa menjadikannya dua triliun. Bagaimana? Asalkan kamu mau merangkak ke depanku sambil menggonggong dan meminta untuk ditiduri olehku, maka kamu bisa mendapatkan ‘apapun yang kamu inginkan’."
Yana seperti ditampar hingga seluruh tulangnya mendingin. Wajahnya menggelap suram.
Dia semakin terkejut dengan kata-kata Kafka yang semakin keterlaluan.
Apakah dia sudah gila? Bagaimana dia bisa menyuruhnya merangkak sambil menggonggong, lalu meminta untuk ditiduri olehnya seperti seorang murahan?
Saat Kafka mengatakan "apapun yang kamu inginkan," dia memberikan tekanan khusus pada ucapannya dan sorot matanya berubah lebih gelap dan dalam.
Yana melihat perubahan itu meski hanya sekilas, seolah-olah ada makna tertentu dari ucapannya. Tapi, di saat seperti ini, dia tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh Kafka. Sampai kapan Kafka akan balas dendam kepadanya?
Menyadari situasi yang tidak akan pernah bisa menguntungkannya, Yana tersenyum lembut dan berkata setenang mungkin. "Tuan Bimantara, sepertinya Anda adalah orang yang sangat pandai menghibur orang lain dibandingkan saya. Tapi, kata-kata Anda sungguh bisa membuat orang salah paham. Dengan ini, sekali lagi, saya ingin menjelaskan kepada semua orang bahwa saya hanya datang untuk menghibur kalian dengan bakat yang saya miliki, tidak dengan melakukan hal lain yang tidak pantas."
Kafka mendengus sekali, sangat arogan dan dingin. "Menurutmu itu adalah hal yang tidak pantas?"
Yana terdiam, menatapnya dekat-dekat.
Seperti menyadari sesuatu, Sukardi Galih menggerakkan tangan dengan gerakan santai ke arah Yana. "Sudah! Sudah! Pungut saja uang itu. Sahabatku ini sebenarnya sedang tidak mood, tapi dia berusaha untuk menyenangkanku. Dia memang aneh, jangan dipikirkan. Coba kamu tunjukkan kemampuan lain. Kamu bisa menyanyi dan menari, bukan? Lupakan kata-katanya barusan. Dia tidak serius. Mana mungkin dia mengkhianati kekasih hatinya?"
Yana seketika tersenyum miris. Hatinya seperti berdarah.
Itu benar.
Mana mungkin Kafka mengkhianati Mala Nasram yang sangat baik hati dan begitu lembut? Jauh berbeda dengan dirinya yang kasar dan begitu jahat.
"Tentu saja, Tuan Galih. Saya paham suasana hati seorang pria ketika sedang tidak baik. Saya akan menganggapnya tidak pernah terjadi. Tetapi, lain kali jangan sampai hal itu terjadi lagi. Karena jika seseorang mendengarnya dan menyebarkannya secara tidak bertanggung jawab, maka akan ada hati yang terluka."
Kafka langsung memotongnya dingin, acuh tak acuh. "Apakah kamu akan terluka?"
Yana linglung menatap wajah dingin mantan suaminya.
Apakah dia sedang bertanya kepadanya?
Sukardi Galih menatap bergantian antara Yana dan Kafka. Sepertinya dia mulai menyadari ada keadaan yang tidak beres. Dia lalu menoleh ke arah Yana, seraya menganggukkan kepalanya penuh makna.
"Namamu Yana Jazada, bukan?"
Yana mengangguk patuh.
"Kalau boleh tahu, bagaimana keluargamu bisa jatuh bangkrut dan kalian menjadi miskin?"
Yana menjilat bibirnya gugup, lalu menjelaskan perlahan. "Saya gagal mengurus perusahaan. Saya tidak bisa menangani tekanan yang datang ke perusahaan yang dipercayakan kepada saya. Maka dari itu, semua pemegang saham dan investor tidak mempercayai saya lagi. Saya pikir, Anda sebagai seorang pebisnis pasti bisa menerka apa yang terjadi selanjutnya."
Seperti terkejut, Sukardi menaikkan kedua alisnya sambil berseru senang. "Jadi, kamu tahu bagaimana mengurus perusahaan?!"
Yana terkekeh mencela diri sendiri. "Penilaian Tuan terlalu berlebihan. Kalau saya memang berkemampuan, maka perusahaan yang saya pimpin tidak mungkin hancur berantakan."
Kafka terkekeh sinis mendengar jawabannya. Auranya benar-benar sangat dingin.
“Lalu, siapa nama mantan suamimu?”
Yana keringat dingin. Menatap gugup ke arah Kafka, seolah-olah takut menyinggungnya.
Seluruh ruangan seketika sunyi setelah pertanyaan tentang mantan suami Yana dilemparkan.
Orang-orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing mulai terfokus pada Yana yang kini berdiri dengan sorot mata penuh kegelisahan.
Yana mencoba tetap tenang, meski hatinya bergejolak hebat. Dia tidak ingin membicarakan masa lalunya di tempat ini, terutama di hadapan Kafka yang menatapnya dengan kebencian yang begitu nyata.
Dia beruntung karena sepertinya para tamu itu bukanlah dari kota ini. Kalau iya, pasti sudah ada yang mengenalinya sebagai mantan istri Kafka. Bahkan, para pendamping mereka juga entah kenapa tidak mengenalinya. Mungkinkah dia sama dengan wanita yang berada di sisi Kafka?
Memang, dia sempat mendengar akan ada beberapa anak baru yang datang untuk menambah tenaga karyawan di akhir tahun. Mungkin saja itu adalah mereka.
Melihat kesempatan ini, Yana tidak mau mempermalukan dirinya lebih jauh.
“Maaf, Tuan, saya lebih memilih tidak membicarakan masalah pribadi saya di sini. Mungkin kita bisa beralih ke topik lain?” Yana berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan, meskipun dalam hatinya dia sangat kesal.
Tiba-tiba, Sukardi Galih tertawa keras, mengisi keheningan ruangan.
"Aku kira kamu tidak akan keberatan kalau aku menanyakan hal semacam itu," ucapnya dengan nada riang, tapi penuh sindiran. "Sepertinya, kamu sungguh tidak ingin membahasnya. Memangnya kenapa kalian sampai bercerai?"
Pendamping Kafka dengan cepat ikut campur, menambahkan komentar yang jelas-jelas bertujuan mengejek. “Tuan Galih, Anda belum tahu, ya? Dia itu sebenarnya wanita yang sangat jahat. Waktu masih menikah, dia memperlakukan mantan suaminya dengan sangat buruk. Banyak bukti tentang kekerasaan dan kekejamannya tersebar di internet, meskipun sekarang sudah banyak yang dihapus. Tapi, beberapa orang bilang, masih ada yang tersisa untuk dilihat selama kita pintar mencarinya.”
Yana tetap membisu, menahan amarah dan kesedihan yang berkecamuk di dalam dirinya. Tidak ada gunanya menjelaskan atau membela diri di tengah kerumunan orang yang sudah mengambil kesimpulan. Dia hanya akan membuat dirinya semakin bodoh.
Rasa penasaran Sukardi Galih semakin meningkat. Dia menatap Yana yang tampak pucat dan jelas tidak nyaman membahas mantan suaminya.
Sukardi kemudian melirik main-main ke arah pria dingin di dekatnya. "Kafka, menurutmu, mantan suaminya orang seperti apa? Apakah wanita secantik dia benar-benar sekejam itu?"
Wanita yang duduk di sebelah Kafka tampak bersemangat untuk mempermalukan Yana. Wajahnya berseri-seri seperti seseorang yang menemukan kesenangan dalam menyiksa orang.
“Tuan, dia selalu menghina suaminya sendiri selama menikah. Tidak hanya itu, dia juga melakukan kekerasan fisik! Menendang, menampar, bahkan memukul seperti karung tinju! Itu yang saya dengar! Kejam, bukan? Sayang sekali, saya tidak sempat melihat videonya.”
Sukardi Galih mengerutkan kening, tampak tidak percaya mendengar penjelasan tersebut.
"Yana, jawab dengan jujur. Apakah benar kamu melakukan semua itu kepada suamimu? Apakah benar kamu sampai melakukan kekerasan selama kalian menikah? Bukankah suamimu adalah pria kaya? Kenapa kamu melakukannya? Apakah karena dia bukan tipemu? Pernikahan kalian hasil perjodohan keluarga, ya? Apakah dia sangat jelek?"
Yana mengepalkan kedua tangannya erat, seakan mencoba menahan emosi yang hampir meledak di dalam dirinya.
Dia pernah melalui ini sebelumnya. Rumor dan video yang tersebar di internet, serta tuduhan yang berlebihan hingga menghancurkan reputasinya.
Ketika dia berjalan tanpa masker, orang-orang akan melemparinya dengan telur busuk dan mengutuknya agar mati di neraka. Meski begitu, setelah berulang kali menghadapi hal semacam ini, Yana mulai merasa mati rasa. Tapi kali ini, meskipun dia terbiasa, luka di hatinya masih belum sembuh.
“Nona, kenapa kamu belum menjawab pertanyaanku?” tegur Sukardi dengan nada tidak senang, membuat suasana semakin tegang.
Yana akhirnya menatap pria dingin yang duduk di sofa dengan ekspresi tak terbaca. “Tuan Bimantara, apakah saya boleh menjawab pertanyaan itu? Jika keberadaan saya mengganggu, saya akan pergi dari ruangan ini.”
Sukardi tertawa terbahak-bahak. "Yana, jangan begitu! Apakah kamu masih tersinggung dengan tawaran satu triliun dari Tuan Bimantara? Memang terdengar berlebihan, tapi wanita mana yang tidak akan merasa tersanjung dengan nilai sebesar itu?"
Yana merasa ironis mendengar perkataannya. Jika saja mereka bisa bertukar tempat, apakah Sukardi masih akan berkata demikian?
"Tuan Galih, saya tidak ingin membuat orang marah atau salah paham. Karena itu, jika Tuan Bimantara memberikan izin, saya akan menjawab pertanyaannya. Dia tidak menyukai saya, makanya harus meminta izin dulu seperti sekarang."
Kafka terkekeh dingin, lebih menyeramkan daripada sebelumnya.
Yana berpikir bahwa mungkin saja mantan suaminya itu sudah berubah menjadi seperti nitrogen cair. Dingin dan semakin dingin hingga membuat orang tidak bisa berkutik. Bahkan, Yana merasa dia lebih dingin daripada kulkas dua pintu.
"Apakah dia tidak bisa membekukan dirinya sendiri dengan sikapnya yang menjengkelkan itu? Dia bisa jadi patung abadi saja. Hidupku pasti lebih tenang!" Yana mendesah dalam hati, merasa frustasi dan marah sekaligus.
Ketika Sukardi hendak membuka suara lagi, Kafka tiba-tiba berdiri dari duduknya, membuat semua orang terkejut untuk kesekian kalinya.
“Kafka? Kamu mau ke mana?!” teriak Sukardi keheranan.
Kafka tidak mendengarkan, dia menarik kencang Yana keluar ruangan.
Wanita itu terkejut luar biasa, seperti mengalami de javu.
Sesampainya di sebuah lorong, Kafka menghempaskan Yana ke dinding dengan kasar.
Pria dingin berpakaian serba hitam menatap Yana seperti pisau es yang akan menusuknya kejam, ekspresinya gelap saat dia meremas tangan Yana lebih kuat.
"Apakah kamu benar-benar merasa malu memiliki mantan suami seperti aku?" desisnya marah dengan nada tajam.
Yana terkejut, mundur selangkah, tetapi cengkeraman Kafka di tangannya semakin erat, membuatnya meringis kesakitan.
"Kafka, sakit! Lepaskan! Berhenti menarikku!” Yana memohon setengah mendesis, suaranya bergetar kesakitan.
Apakah dia ini adalah mainan yang suka ditarik-tarik olehnya kapan saja dia suka?
Dia sangat membencinya!