Yana juga tidak mau menderita dan tersiksa. Siapa yang suka dengan rasa sakit?
Sayangnya, dia tidak punya pilihan lain.
“Minum! Minum!” seru para tamu yang ada di ruangan. Merasa pemandangan di depan mereka sangat menarik.
“Ayo! Tunjukkan seberapa hebat kamu bisa menghabiskannya demi 1 milyar!” kekeh seorang pria dengan nada jijik.
Yana menelan harga dirinya, mencoba membuat hatinya mati rasa dengan semua penghinaan itu.
Pada awal tahun kedua pernikahannya, dokter memvonis Yana dengan penyakit kanker. Tentu saja itu membuatnya kaget dan tidak bisa percaya sama sekali. Dunianya seperti terbalik.
Hal buruk tidak berhenti sampai di situ saja. Tidak lama kemudian, di saat dia berpikir kalau Kafka mungkin bisa menjadi penyemangatnya dengan modal cinta yang mulai tumbuh di hatinya, dia malah tidak sengaja mendengar kalau sebenarnya Kafka Bimantara sudah lama menyukai seseorang.
“Aku menyukai seseorang sejak dulu. Menurutmu, aku akan tertarik dengan wanita kasar dan jahat seperti Yana Jazada? Itu tidak mungkin! Dia telanjangpun di depanku, aku tidak akan tergoda!”
Mulai saat itu, dia akhirnya paham dengan sikap Kafka yang sangat penurut dan baik hati.
Mungkin dia hanya cari aman saja. Mungkin Kafka takut kalau Yana akan mengincar wanitanya, makanya berpura-pura tidak terlihat peduli kepada wanita manapun selama mereka menikah.
Terpuruk dan merasa hidupnya mulai hancur, Yana yang menyembunyikan penyakitnya dari semua orang dan patah hati, akhirnya bertindak semakin kejam dan jahat kepada suaminya sebagai bentuk rasa frustrasi. Dia berpikir, untuk apa tetap mempertahankan perasaan bodoh di hatinya? Lebih baik menghancurkannya saja seperti sel kanker sialan di tubuhnya!
Jika dia berharap kepada orang yang telah disakitinya begitu jahat, lalu memberitahunya bahwa umurnya mungkin tidak akan lama lagi dan ternyata mulai menyukainya, dia pasti akan menertawainya!
Selama menjalani pengobatan tanpa ada yang menemaninya, Yana berhasil menyingkirkan sel kanker dan menjalani rawat jalan. Namun, dia mungkin terlalu naif. Semuanya tidak berjalan sesuai keinginannya.
“Bercerai?” tanya Kafka tidak percaya pada hari itu.
Dengan dingin dan angkuh, Yana yang berpakaian mewah berdiri tinggi di depan Kafka yang sibuk mengepel lantai. Dia melempar surat cerai ke wajahnya, lalu berkata kejam tanpa perasaan, “Benar. Kita bercerai saja. Cepat tanda tangani! Aku sudah bosan denganmu! Tidak ada gunanya menyimpan hewan peliharaan yang sama sekali tidak bisa apa-apa. Kamu bahkan tidak bisa menolong perusahaan istrimu. Dasar benalu! Putra keluarga Wilson yang playboy dan urakan masih lebih baik dibandingkan kamu! Seharusnya, aku menikah saja dengannya, bukan kamu yang miskin dan menyedihkan itu!”
Air mata Yana ingin menetes mengingat semua kejadian di masa lalu. Tapi, dia menahannya dan terus minum hingga kepalanya sudah mulai pusing.
Dia masih ingat seperti apa tatapan kecewa Kafka saat menceraikannya. Jantung Yana seolah-olah berhenti berdetak hari itu, merasa sangat sakit sampai lupa bernapas karena harus melepaskannya untuk selamanya. Tapi, perasaan itu segera berganti dengan rasa kaget ketika ekspresi Kafka berubah dingin dan datar, tidak seperti biasanya. Lalu, tanpa ragu, dia menandatangani surat perceraian mereka.
Yana merasa wajahnya disambar petir dan tidak percaya kalau suaminya benar-benar setuju. Dia pikir, Kafka yang lembut dan jinak mungkin akan membujuk dan memohon agar mereka tidak berpisah. Sayangnya, hari itu adalah awal mula perubahan Kafka yang sangat mengerikan.
Jika mau jujur. Yana tidak mau bercerai. Dia juga sedikit menguji Kafka kala itu. Jika saja Kafka mau bertahan, maka mungkin Yana bisa bangkit lagi dan berjuang bersama-sama.
Kenapa Yana tiba-tiba melakukan semua itu?
Tepat tiga tahun pernikahan mereka dan kesehatannya membaik, Yana berpikir mungkin sudah punya kesempatan untuk memulai kembali dengan suaminya, tapi masalah perusahaan dan skandal keluarganya menekannya dengan sangat keras hingga dia mulai mengalami gejala depresi.
Pada akhirnya, dia tidak punya pilihan selain menceraikan Kafka agar pikirannya tetap waras dan tidak memicu sel kankernya muncul kembali. Apalagi, dia semakin sering mendengar kalau wanita pujaan suaminya sering muncul di sekitarnya. Anehnya, dia tidak pernah melihatnya sama sekali. Sepertinya, Kafka benar-benar melindungi keberadaannya agar dia tidak terluka.
Putus asa dan merasa sendirian, Yana yang sangat arogan dan gengsi kala itu, akhirnya sedikit melunak. Dia tidak mau melampiaskan semua masalahnya kepada Kafka dan membuatnya menderita lebih jauh. Maka, perceraian adalah satu-satunya solusi agar melindunginya selama masalah keluarga Jazada berlangsung. Sayangnya, Kafka salah paham dengan niatnya.
“Kamu memang wanita kejam, Yana Jazada! Aku sangat membencimu! Wanita sepertimu tidak pantas untuk dicintai oleh siapapun!”
Itulah kalimat menusuk dari Kafka yang membuat Yana sangat patah hati sampai sekarang. Pada akhirnya, kalimat cinta darinya tidak pernah didengar dari bibirnya, malah kebencian yang begitu mendalam.
Gara-gara perceraian mereka, Yana tidak tahu kalau dia malah semakin membuat kebencian Kafka yang sudah dipendam terlalu lama meningkat ke level yang mengerikan.
Tidak lama kemudian, setelah mereka resmi bercerai, kejatuhan keluarga Jazada beredar luas ke seluruh negeri dan terungkap kalau orang yang menghancurkan mereka ternyata adalah Kafka Bimantara, suaminya sendiri. Pria yang selalu diperlakukan dengan buruk dan kejam olehnya tanpa perasaan selama tiga tahun pernikahan.
“Kamu ingin agar aku berinvestasi kepada perusahaan yang gagal seperti itu? Yana Jazada, apa kamu pikir aku orang bodoh selama ini hanya karena membiarkanmu menindasku terus? Kita sudah bercerai. Tidak ada hubungan apapun di antara kita berdua. Apa alasanku untuk membantumu dengan berlutut di depanku sekarang?”
“Tuan Bimantara, saya tahu Anda sangat membenciku. Tapi, saya bisa menjamin kalau investasi ini bisa memberikan keuntungan besar.”
“Heh! Keuntungan besar? Kamu yakin? Bukankah semenjak kamu mengambil alih perusahaan Grup Jazada, masalah datang bertubi-tubi? Kamu begitu serakah ingin menjadi seorang pemimpin, tapi malah mendorong semua orang ke jurang neraka. Hebat sekali!”
Yana merapatkan bibirnya gelisah, tatapannya merumit. “Tuan Bimantara, saya ingin menanyakan satu hal kepada Anda jika tidak mau menerima tawaran investasi itu. Anggap saja ini adalah permintaan pertama dan terakhir kali dari saya.”
Kafka memasang wajah sangat dingin, penuh dengan tatapan kebencian dan rasa muak kepada wanita cantik yang berlutut di lantai. “Baik. Tapi, hanya satu saja. Tidak lebih.”
Yana mengerjapkan mata gugup, nada bicaranya lebih lembut dan akrab. “Kafka, apa kamu ada hubungannya dengan kejatuhan keluarga Jazada selama ini? Orang yang merekomendasikanku untuk memintamu menjadi seorang investor, sepertinya tahu dengan baik masa lalu kita berdua. Dia terus mendesakku meski ada investor lain yang sama bagusnya. Kamu tidak merencanakan semuanya, kan?”
Kafka diam sebentar dengan gaya dingin misterius, lalu dia membalasnya acuh tak acuh. “Itu dua pertanyaan.”
“Tolong jawab saja, Kafka!” seru Yana geram, hatinya kacau luar biasa.
Pria itu semakin dingin dan terlihat jauh. “Kalau iya, memangnya kenapa? Marah?”
Kilas balik itu membuat gejolak di hati Yana mengguncang seluruh sarafnya. Dia tidak menyangka kalau suami yang selalu dibencinya mengatur aksi balas dendam yang luar biasa untuk menghancurkannya bersama keluarganya.
Yana tiba-tiba tersedak minuman, tapi dia tidak berhenti. Sudut-sudut matanya mulai berair.
Teriakan gembira penuh ejekan dan hinaan yang semula bergaung kencang di ruangan VIP seketika mereda ketika melihat keseriuan Yana yang tidak berhenti minum.
Minuman beralkohol mulai membasahi pakaiannya, dia kembali terbatuk-batuk, seperti orang yang tenggelam di air. Kakinya mundur selangkah, tapi botol besar di tangannya tidak dilepaskan sama sekali.
“Ya, ampun! Dia serius sekali! Apa dia mau mati?” bisik seorang wanita yang terdengar khawatir.
Kafka yang duduk dengan aura sangat dingin dan menakutkan, menatap Yana dengan wajah gelap yang sangat murung.
“Kak, apa dia harus minum sampai habis?” tanya Mala dengan suara merdunya yang terdengar kasihan. Tapi, sekilas, ada kepuasan melintas di kedua bola matanya.
Yana mulai limbung, tapi dia terus berusaha agar berdiri tegak. Dia kembali terbatuk meski minuman terus masuk ke tenggorokannya.
Kesal dan tidak tahan lagi melihat tingkah mantan istrinya, Kafka segera berdiri dari duduknya. Dengan kemarahan luar biasa, dia menarik Yana keluar ruangan hingga semua orang terkejut.
“Tidak! Minumannya! Lepaskan aku!” teriak Yana dalam keadaan mabuk berat, sepertinya dia tidak tahu siapa yang sedang menariknya, pandangannya kabur dan bergoyang hebat.
Yana meronta dan mulai bicara tidak jelas, sementara Kafka terus menariknya sepanjang lorong.
“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Yana marah dengan suara lemah, lalu karena tidak hati-hati, dia jatuh tersandung.
Kafka merasa nadi di pelipisnya berdenyut hebat melihat kelakuan berantakan mantan istrinya.
“Bangun!” desis Kafka dengan suara sedingin es.
Yana mendongak mabuk melihat sosok pria tinggi berpakaian serba hitam. Samar-samar, di bawah cahaya lampu yang lebih terang, dia bisa mengetahui kalau jas yang dikenakannya pastilah sangat mahal karena setiap lekukan dan jahitannya sangat rapi. Harga jas semacam itu bisa bernilai ratusan juta.
Dia ingat, di masa lalu, ketika masih menikah dengan Kafka, dia pernah diam-diam memesan kepada penjahit khusus untuk membuat satu pasang pakaian formal untuknya. Sayangnya, sampai mereka bercerai, dia tidak pernah bisa memberikannya karena alasan tertentu.
“Minum... harus minum.... Ayo kembali ke sana. Aku adalah wanita yang suka uang. Apa Tuan tidak mengerti? Selain itu, dia pasti akan sangat marah. Dia mungkin akan semakin membenciku sekarang. Baguslah. Itu tidak buruk juga. Kami tidak berjodoh. Tidak masalah. Aku senang dia bisa bersama cinta sejatinya sekarang,” ujarnya sedih, lalu mencoba berdiri dengan berpegangan pada dinding.
Kafka menggelap suram mendengar ocehannya. “Semakin membencimu? Siapa yang kamu maksud?”
Yana tidak segera menjawab, dia mencoba menegakkan tubuhnya dan berjalan maju. Tangan kanannya bergerak sembarangan di udara. “Minum! Harus minum! Kalau minum, baru bisa dapat uang!”
“Yana Jazada!” bentak Kafka marah, berjalan mendekat bagaikan badai menakutkan.
Wanita itu merasakan pergelangannya dicengkeram erat, meringis kesakitan hingga kesadarannya naik sedikit.
“Ka-Kafka?!” serunya kaget, lalu berjalan mundur tanpa sadar. Tapi, pria itu langsung menahannya.
“Mau pergi ke mana?!” bentaknya marah.