Kafka menahan amarah lebih kuat, tetapi suaranya mulai melembut. "Cepat selesaikan. Sampai kapan kamu akan memasang dasi seperti ini? Anak SD pun bisa melakukannya."
Yana merasa canggung dan malu-malu.
Ketika mereka menikah dulu, dia tidak pernah memasangkan dasi untuk suaminya. Sekarang, tiba-tiba saja disuruh melakukan hal semacam ini. Tentu saja, dia menjadi kelimpungan.
"Sudahlah, biar aku saja melakukannya," kata Kafka dingin, tetapi bukan dengan nada marah. Dia menarik dasi di tangan sang wanita dan berjalan menjauh.
"Tunggu! Kamu bilang aku bisa melunasi hutang satu miliar kalau berhasil memasangkan dasi untukmu? Ternyata kamu bohong!" protes Yana marah.
Kafka berbalik dengan raut wajah tidak suka, sangat dingin dan tenang. "Kemampuan memasang dasi yang kamu miliki sangat buruk. Bukannya membuatku terlihat tampan, malah mungkin akan mencekikku sampai mati."
Yana membeku seperti batu. Rasanya harga dirinya hancur!
Senyum kikuk muncul di bibirnya mendengar penilaiannya yang kejam.
"Apakah aku seburuk itu? Aku baru belajar, kan?”
Untungnya, Kafka memberinya kesempatan untuk belajar.
Yana akhirnya ditugaskan memakaikan dasi untuknya setiap hari.
Beberapa saat kemudian, Yana melihat kepergian mobil dari lantai dua. Dia cemberut sambil menggenggam erat pagar besi di depannya.
“Dia benar-benar perhitungan sekarang. Sungguh pria pelit. Tetapi, sebenarnya, dia tidak pelit juga. Kalau hanya masalah memasang dasi setiap hari dan hutangku bisa lunas satu miliar, sepertinya itu bukan ide yang buruk.”
Yana terkekeh sendirian dengan senyum lebar di wajahnya. Lalu, tiba-tiba dia teringat pesan Ryan semalam. Buru-buru, dia memeriksa beberapa hal di kamar Kafka sebelum kembali ke kamarnya sendiri.
Yana tidak menyadari bahwa gerak-geriknya sedang diawasi oleh sebuah kamera tersembunyi di kamar pernikahan mereka.
"Nona Yana, apakah Anda tidak ingin makan camilan pagi ini?" tegur Bibi Jelita begitu melihat Yana keluar dari kamarnya sambil membawa ponsel.
"Apakah aku boleh makan camilan di sini? Tidak akan terhitung sebagai hutang, kan?”
Bibi Jelita tersenyum lebar. "Tentu saja bisa, kenapa tidak boleh? Apa-apaan itu? Hutang apa? Kamu sudah membersihkan kamar Tuan Muda hampir 1 jam lamanya. Pasti Anda kembali lapar, bukan?"
Yana mengangguk cepat. Meskipun dia sudah menemani mantan suaminya sarapan pagi, sebelum berangkat ke kantor, pria itu menyuruhnya untuk membersihkan kamarnya.
Dia mengawasinya seperti seorang polisi yang mengawasi tahanan yang sedang bekerja rodi di tambang.
"Duduklah, nikmati saja camilannya. Jika ingin tambah, katakan saja. Jangan malu-malu," kata Bibi Jelita sambil meletakkan semangkuk keripik kentang di depan Yana.
"Bibi, ayo duduk bersamaku. Kita makan sama-sama! Oh, ya! Kenapa hanya Bibi Jelita yang selalu terlihat di sini?" tanyanya sambil menguyah cepat.
Bibi Jelita tertawa lepas. "Di dapur ini, sejak dulu memang hanya ada aku yang bertugas. Para pelayan yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Jika aku membutuhkan bantuan, mereka baru datang kemari."
Yana mengangguk paham. Sepertinya dia benar-benar tidak mengenali mansion peninggalan kakeknya sendiri.
“Maaf, aku baru tahu. Aku sungguh tidak perhatian kepada kalian selama ini.”
"Tidak masalah. Apakah kamu ingin makan kue juga? Aku bisa membuatkannya sekarang," lanjut Bibi Jelita lebih ceria, senang melihat Yana tampak hidup dan bertenaga.
Yana menggeleng cepat. "Tidak perlu. Sebenarnya, aku ingin keluar beberapa jam lagi."
"Nona, apakah Anda sudah lupa? Bukankah Tuan Muda sudah melarang Anda untuk keluar mansion?”
***
Yana tidak menyerah. Dia harus bertemu dengan kenalan Ryan Wilson. Dari kabar yang diberikannya pagi ini, orang itu tiba-tiba saja harus pergi ke suatu tempat. Maka, dia segera memajukan waktu pertemuan.
"Kamu ingin keluar?" tanya Kafka di telepon, suaranya sangat tidak ramah dan menuduh.
Yana sedikit gugup, menjawab pertanyaannya sok tegar. "Benar. Aku ingin menemui keluargaku. Apakah aku tidak boleh?"
Kafka terdiam sejenak.
"Kafka, kamu tidak boleh keterlaluan! Tidak, maaf. Maksudku, Tuan Bimantara! Walaupun kamu menahanku di sini sebagai pembantu, setidaknya kamu harus memberiku hak untuk bertemu keluargaku, bukan? Kalau kamu tidak mengizinkanku pergi, maka aku menolak bertanggung jawab atas hutang 100 miliar itu. Sedangkan untuk biaya rumah sakit, aku akan tetap bayarnya dengan caraku sendiri."
"Apakah kamu sedang mengancamku?" Kafka berkata lebih dingin dengan nada yang mengandung bahaya, membuat bulu kuduk lawan bicaranya merinding.
Yana mulai berkeringat dingin. Dia hampir canggung dan mencoba berkata lebih tenang dan meyakinkan, “Tuan Bimantara, aku hanya....”
"Kafka! Kafka Bimantara! Panggil aku dengan sebutan Kafka mulai sekarang! apakah kamu berniat memberikan jarak di antara kita berdua dan menganggapku seperti kotoran lagi?"
Yana tertegun mendengar tuduhannya.
"Apa maksudmu? Aku hanya berusaha bersikap sopan! Bukankah sekarang kamu adalah majikanku?"
"Ini adalah perintah dariku. Panggil aku Kafka, paham?" bentaknya marah, terdengar sangat tidak sabaran.
Yana menggelengkan kepalanya tidak percaya.
Sebenarnya, mantan suaminya itu kerasukan makhluk apa?
Kadang-kadang dia bersikap sangat baik, tapi penuh dengan niat buruk. Kadang-kadang pula bersikap buruk, tapi ada kebaikan tersembunyi di dalamnya.
Dia semakin tidak memahami mantan suaminya itu!
"Ok. Ehem. Ka-Kafka..... Aku berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang aneh-aneh! Jadi, aku mohon biarkan aku bertemu dengan keluargaku! Kamu tahu betapa keras kepalanya aku, bukan? Walaupun kamu menahanku di sini dengan banyak penjaga, aku pasti bisa menemukan cara untuk melarikan diri."
Di seberang sana, tiba-tiba menjadi sunyi. Yana merasa jantungnya berdetak kencang. Keringat dinginnya semakin banyak. Dia sebenarnya takut sekali kepadanya, tapi hanya pura-pura sok berani.
"Baiklah," kata Kafka tiba-tiba, suaranya terdengar mengalah. "Tapi, kamu harus pulang sebelum pukul enam sore. Mengerti?"
Dengan semangat, Yana mengangguk cepat. "Tentu! Tentu saja! Terima kasih, Tuan Bimantara!"
"Kafka!" potong pria itu dengan suara menggeram.
"Oke! Oke! Baiklah! Terima kasih, Kafka! Kafka yang baik! Kafka yang tampan! Dan Kafka yang super-duper luar biasa!" seru Yana energik, memujinya dengan nada gembira luar biasa.
Di seberang telepon, pria dingin berpakaian mewah itu tertegun kaget dengan wajah tidak percaya. Detik berikutnya, wajahnya diam-diam memerah luar biasa. Sangat lembut, sangat polos. Seolah-olah Kafka Bimantara yang menakutkan di ibu kota, bukanlah dia.
Setelah berdeham pelan sambil berpura-pura tenang, Kafka berkata lagi, "Biarkan salah satu pengawal menemanimu."
"Tidak! Tidak perlu! Aku bolak-balik saja. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Dengarkan perkataanku, Yana Jazada!" ancamnya dingin.
"Kafka, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa pergi ke mana pun tanpa harus ditemani. Lagi pula, akan sangat aneh jika orang-orang melihatku bersama pria yang sangat dingin dan kaku."
Selama beberapa menit, dia mencoba meyakinkan Kafka seolah-olah sedang melakukan pertemuan bisnis. Percakapan telepon itu akhirnya berakhir dengan sedikit ketegangan.
"Kalau begitu, kamu harus berjanji kepadaku satu hal."
"Baik! Katakan, apa itu?"
"Nanti saja aku beritahukan."
Yana terbengong keheranan. "Apa? Tidak adil! Jangan-jangan kamu ingin menjebakku lagi, ya? Kafka, ingat! Aku tidak mungkin datang sendiri ke kamarmu dan tidur sembarangan!"