“Hah! Jadi, kamu masih menuduhku kalau aku membawamu sendiri ke kamar itu? Yana, apa kamu ingin berdebat denganku? Atas dasar apa aku melakukannya? Kalau aku ingin menjebaknya, memangnya niatku apa? Aku bisa menindasmu sesuka hati tanpa repot-repot mengangkatmu yang berat seperti karung itu!"
Yana terdiam seketika, mengubah pikirannya. Takut dia akan membatalkan perkataannya tadi.
"Baiklah, baiklah. Mungkin ada hal yang tidak aku ingat hingga semalam berakhir di tempat tidurmu."
Diam-diam, Kafka Bimantara tersenyum licik dan puas dengan pengakuan Yana yang terdengar linglung.
Sebenarnya, memang Kafka-lah yang membawanya ke kamar semalam.
Yana bahkan tidak sadar bahwa dia tidak sedang bermimpi.
Tanpa sepengetahuan Yana, sebelum menggendongnya ke kamar, pria dengan sikap dingin dan berwajah tampan yang memancarkan aura bahaya itu sempat berlutut di depannya, lalu mencium bibirnya dengan lembut secara hati-hati.
Usai menciumnya, Kafka mengelus rambut Yana yang berada di bawah sinar temaram lampu, memberikan momen yang lembut dan penuh perasaan.
Mengingat kejadian semalam, Kafka merasa berbunga-bunga sendirian memikirkan perkembangan hubungan di antara mereka berdua.
Dia duduk di kursi kebesarannya, perlahan mengayunkan kursi dari kiri ke kanan. Jika ada yang melihatnya saat itu, mereka pasti akan mengerutkan kening kebingungan. Aneh sekali. Pemandangan yang cukup janggal, mengingat Kafka biasanya selalu terlihat dingin dan serius.
Seorang pria muda masuk ke ruangan, membawakan laporan untuk Kafka. "Pak CEO, ini laporan yang Anda minta untuk diperiksa."
Kafka menoleh dan tersenyum lebar, ekspresi yang jarang terlihat hingga seolah-olah seluruh dunia sedang bergembira.
Sekretaris muda itu tertegun, seakan baru saja melihat sesuatu yang aneh.
"Ya, ampun! Apa yang baru saja Pak CEO lakukan sampai membuatnya tersenyum selebar itu?" batinnya dengan perasaan tidak enak.
Kafka Bimantara bukan pria yang suci ataupun baik hati. Untuk meraih posisinya sekarang, dia telah melakukan banyak hal, termasuk yang sifatnya rahasia dan berisiko. Hal-hal ilegal dan melanggar hukum adalah rahasia umum bagi sebagian orang seperti dia.
Biasanya, ketika Kafka terlihat seperti itu, pasti ada sesuatu yang menguntungkan di baliknya.
“Berikan laporannya. Bagaimana dengan jadwal besok, apakah ada yang harus aku datangi?” tanya Kafka cepat.
Sekretaris muda itu segera menjawab, “Ada pertemuan dengan investor dari Amerika, Pak.”
“Batalkan.”
“Maaf, Pak CEO?” Sekretaris pria terlihat tidak percaya, merasa seolah mendengar sesuatu yang salah.
“Batalkan semua janji besok,” ulang Kafka dengan nada dingin dan ekspresi serius. Tangannya sibuk menghiasi kertas dengan tangan tangan yang indah dan menawan, seperti dirinya.
“Baik, Pak CEO!” jawabnya ragu, merasa bingung dengan perubahan mendadak bosnya.
Dia tidak biasa melihat Kafka membatalkan janji terkait pekerjaan. Terlebih jika itu adalah janji penting. Ada apa sebenarnya yang membuatnya berubah pikiran?
Di tempat lain, Yana sangat bersemangat untuk keluar dari mansion yang telah lama membuatnya sesak.
Dia tidak berbohong kepada mantan suaminya. Memang benar dia berniat mengunjungi keluarganya setelah sekian lama tidak bertemu. Meski Kafka Bimantara telah menyelesaikan banyak masalah mereka, Yana merasa perlu menemui semua anggota keluarganya dan melihat mereka dengan mata kepalanya sendiri.
***
“Yana, aku sungguh merindukanmu! Sebenarnya, kamu pergi ke mana saja selama ini?” seru Arini Gusmawan, memeluk erat wanita berpakaian sederhana di depannya.
“Arini, lepaskan! Aku sesak!” keluh Yana dengan wajah lelah, tapi senyumnya menunjukkan kebahagiaan yang tulus. Dia juga sangat merindukan sahabatnya.
Arini melepaskan pelukannya dan menatap Yana dengan mata berkaca-kaca, hampir seperti ingin menangis.
Dengan bibir bergetar, dia berkata cepat, “Yana, aku hampir gila mencarimu ke mana-mana! Aku takut kalau orang yang mengangkat teleponmu itu hanya peniru yang berpura-pura menjadi dirimu. Aku bahkan takut kamu dibunuh di suatu tempat tanpa ada yang tahu.”
Yana tertawa kecil melihat kekhawatiran sahabatnya. “Jangan bodoh. Kalau ada yang berniat membunuhku, mungkin orang itu adalah mantan suamiku sendiri.”
“Itu bukan candaan yang lucu!” protes Arini dengan nada kesal, tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
“Oke, baiklah. Ayo kita duduk dan pesan sesuatu. Kamu pasti lapar, kan?”
Arini mengangguk dan berkata dengan nada penuh kasih, “Aku yang traktir. Makan saja yang kamu mau.”
Yana menggelengkan kepala pelan. “Tidak usah boros. Aku sudah makan. Bagaimana kalau kita minum saja? Aku mudah haus, bukan?”
Arini mengangguk lagi, merasa lega bisa melihat sahabatnya dalam keadaan baik-baik saja. Mereka segera memanggil pelayan untuk memesan minuman, lalu memulai obrolan santai.
“Jadi, sekarang kamu tinggal di mansion peninggalan kakekmu?” tanya Arini. Takjub dan setengah terbengong.
“Benar. Aku juga masih tidak percaya kalau Kafka membeli mansion itu dan tinggal di sana,” jawab Yana sambil tersenyum kecil.
Arini mengusap dagunya seolah-olah berpikir keras, seperti seorang detektif. “Aneh sekali. Kenapa dia membeli mansion yang punya kenangan buruk di sana? Apa dia itu adalah seorang masokis?”
Yana menendang kaki Arini pelan di bawah meja. “Jangan bicara sembarangan! Kalau ada yang mendengarnya, dia pasti akan sangat marah.”
Arini terkikik kecil, menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Ya, aku heran saja dengan kelakuannya. Setelah melakukan banyak hal kejam kepadanya, sekarang dia malah menahanmu sebagai pembantunya di sana. Kalau orang lain tahu, apa yang akan terjadi? Bukankah dia sudah punya calon istri baru? Jangan-jangan media ibu kota akan langsung memviralkannya dan kamu dituduh yang tidak-tidak?!”
Yana terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Aku juga sudah memikirkan kemungkinan itu.”
Dia tahu bahwa Kafka suka melihat reputasinya hancur dan dipermalukan di hadapan publik. Itulah sebabnya mungkin dia terus menahannya di sisinya.
“Sudahlah, lupakan saja mantan suami berengsekmu itu. Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan dan belanja di mall? Kebetulan aku baru dapat bonus banyak. Aku bisa belikan kamu baju baru! Bagaimana? Ide hebat, kan?” kata Arini antusias.
Yana menggeleng pelan. “Tidak usah. Aku hanya ingin menemui keluargaku sebentar. Setelah itu, aku harus menemui seseorang.”
“Kamu mau menemui seseorang? Siapa? Pacar baru, ya?” goda Arini, mengedipkan mata jahil.
Yana terbatuk hingga hampir menumpahkan minumannya. “Kamu ngomong apa? Pacar? Setelah reputasiku hancur, siapa yang mau bersamaku? Aku sudah pasrah, Arini. Aku tidak ingin menjalin hubungan apa pun lagi.”
Tiba-tiba, Arini tersenyum dengan ekspresi menyeramkan, tapi setengah jenaka. “Benarkah itu? Bagaimana dengan Lucas Bayanaka?”
Ekspresi Yana seketika berubah, tampak canggung dan salah tingkah. “Kenapa dengannya? Aku sudah tidak ada hubungan apa pun dengannya, bukan?”
“Ayolah, Yana. Kita berdua tahu kalau pria itu sebenarnya masih merindukanmu. Akhir-akhir ini, dia sering menghubungiku untuk meminta nomor ponsel barumu. Tapi, aku tidak berani memberikannya tanpa meminta izinmu terlebih dahulu.”
“Lucas menghubungimu?” tanya Yana, sedikit terkejut.
“Ya. Tiba-tiba saja dia muncul di tempat kerjaku, meminta nomor ponselmu dan bertanya apa saja yang kamu lakukan akhir-akhir ini.”
Yana terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. “Kapan tepatnya dia mulai menanyakan tentang aku?”
“Kalau tidak salah, beberapa hari lalu yang lalu.”
Arini melihat ke arah Yana yang terdiam, wajahnya tampak pucat.
“Yana, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat seperti orang yang ingin pingsan.”
Arini berdiri dari kursinya dan menyentuh dahi Yana dengan khawatir.
“Aku baik-baik saja, jangan berlebihan,” sahut Yana sambil tersenyum kecil untuk meyakinkan sahabatnya.
Arini tetap tampak khawatir. “Lalu, kenapa kamu terlihat aneh?”
Yana hendak menjawab, tapi tiba-tiba saja perutnya terasa tidak enak. “Maaf, aku izin sebentar ke toilet.”
Arini duduk kembali dengan wajah cemberut, menatap kepergian Yana yang berjalan cepat menuju arah toilet.
Setibanya di sana, Yana merasa mual dan langsung muntah di wastafel. Namun, yang keluar bukanlah muntahan biasa.
Darah!
Dia muntah darah lagi!
Tangannya gemetar melihat darah yang kini menghiasi telapak tangannya. Lebih banyak daripada terakhir kali.
Wanita itu mulai berkeringat dingin dan tubuhnya gemetar semakin hebat.
“Kenapa ini bisa terjadi?” pikirnya panik. “Apakah ini masih efek samping dari obat itu. atau penyakitku yang semakin parah?”