Bab 32 Dasi Senilai 1 Milyar

1109 Kata
"Tuan muda juga keras kepala. Kenapa dia tidak langsung saja bilang kalau sebenarnya dia begitu mengkhawatirkan Nona Yana selama ini? Doa bahkan selalu mengingatkan kami agar mansion ini tetap seperti biasanya. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa mereka bisa sampai bercerai dan bertengkar tanpa henti.” Jika pria dingin itu tidak mencintai Yana, mana mungkin dia bersedia tinggal di tempat yang penuh dengan kenangan buruk? Bahkan, dia tidak ingin ada perubahan jika tidak diperlukan. Kafka Bimantara diremehkan dan dihina oleh banyak orang karena dia hanyalah seorang mantan pelayan dari sebuah klub malam di Ibu kota. Namun, siapa sangka kalau ternyata dia diam-diam menghimpun kekuatan di balik layar dan memiliki identitas rahasia? Bukankah selama pernikahan, dia selalu dipandang remeh karena latar belakangnya yang tidak begitu baik? Kenapa dia tidak menunjukkan saja kekuatannya sejak awal? Bibi Jelita bahkan tidak memahami keputusannya untuk bercerai dari Yana Jazada. Seandainya saat itu Kafka Bimantara menolak bercerai dan berkata jujur tentang apa yang sebenarnya dia sembunyikan, bukankah mereka mungkin saja bisa menjadi suami istri yang rukun dan damai? Sayangnya, di sisi lain, kisah cinta mantan majikannya itu memang cukup rumit. Dia terlibat dengan Lucas Bayanaka. Bibi Jelita menduga bahwa kehadiran Lukas adalah penghambat lain bagi kisah cinta kedua orang tersebut. "Sudahlah, memikirkannya hanya membuatku pusing. Sebaiknya aku kembali tidur saja," katanya dengan tidak berdaya, menghela napas berat. *** Ketika pagi tiba, Yana terbangun dengan suasana hati yang lebih baik. Mungkin karena semalam dia bermimpi tentang Kafka yang menggendongnya dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Hal itu seperti harta karun yang luar biasa! Dia tidak pernah bermimpi tentangnya lagi semenjak dokter mengatakan kalau kankernya kembali lagi. Yana merentangkan kedua tangannya, menggeliat di balik selimut tebal. Senyum di wajahnya sangat lebar. "Sepertinya kamu bermimpi indah, ya? Apakah itu Lucas Bayanaka atau Ryan Wilson? Ataukah dua pengawal yang kamu pedulikan?" tegur sebuah suara dingin yang menusuk. Yana seketika terdiam kaget, kedua bola matanya membesar luar biasa menatap langit-langit kamar yang familiar. Terkejut dengan pemandangan di sekitarnya yang berbeda dari semalam, dia segera menoleh ke arah sumber suara. "Kamu?! Kenapa kamu ada di sini?! Kenapa aku ada di sini?!" tanyanya dengan linglung, bergantian melihat sosok Kafka yang dingin dan kedua telapak tangan di pangkuannya. Detik berikutnya, dia mencoba menggosok matanya, menduga kalau dia mungkin masih sedang bermimpi. Tepat di depannya, Kafka berdiri hanya dengan memakai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Rambut hitamnya yang basah meneteskan beberapa air ke dadanya yang bidang. Dia meraih handuk di atas kursi, lalu menggosok rambutnya dengan gerakan anggun, menciptakan suasana yang seperti déjà vu untuk kesekian kalinya. "Kenapa diam saja? Apakah kamu sungguh sangat haus belaian? Jangan-jangan kamu hanya bermain tarik ulur sewaktu aku ingin menyentuhmu di mobil waktu itu?" ucap Kafka dengan nada menggoda, sorot matanya tiba-tiba menjadi dalam dan penuh makna. Wajah Yana memerah seketika. Salah tingkah luar biasa sambil menutupi bagian depan tubuhnya. Dia membalas dengan kesal, "Dasar otak kotor! Aku tidak seperti kamu yang tidak setia! Aku hanya tidak percaya ada orang yang tidak tahu malu seperti kamu! Dasar bajingaaan!!!" Kafka tersenyum licik dan misterius. Lalu, tiba-tiba dia membuat gerakan seolah-olah hendak membuka handuk di depannya. Wanita itu kaget luar biasa hingga nyaris pingsan! "Kurang ajar! Apa yang akan kamu lakukan?!" Yana berteriak panik, tidak tahu harus melihat ke mana. Diabaikan rasanya mubazi! Tapi, dilihat juga sangat salah! Aduh! Yana tidak tahu harus berbuat apa! Kafka memainkan jarinya pada lipatan handuk di tubuhnya, dengan sengaja diam-diam ingin menggoda. "Kenapa? Aku sudah bilang kalau ini adalah kamarku. Aku boleh melakukan apa saja jika aku mau. Termasuk berjalan sambil bertelanjang sepanjang hari." Wanita itu tersentak kaget! Sekujur tubuh memerah luar biasa seperti tomat matang! Tanpa pikir panjang, dia terburu-buru turun dari tempat tidur, hendak melarikan diri. Sayangnya, Kafka langsung menangkapnya di tengah jalan. "Mau ke mana?” desisnya dingin, mata menyipit gelap. “Aku tidak tahu kenapa aku ada di sini! Apakah kamu yang membawaku semalam?" tanyanya dengan nada panik, kepalanya sudah mulai pusing dan panas tubuhnya terasa aneh. Kafka tertawa kecil. "Pura-pura menuduh orang lain?" Yana seperti tersambar petir! "Apa maksudmu? Apa kamu berkata kalau aku sendiri yang datang ke kamar ini dan tidur sembarangan?" "Menurutmu?" Kafka menjawab santai, sebelah alisnya terangkat dengan ekspresi menantang. "Tidak mungkin!" Yana menyangkal hebat. Semalam, dia baru saja meminum sebutir pil tidur. Kalaupun dia berjalan sambil tidur, bagaimana dia bisa mendatangi kamar ini? "Bohong!" lanjutnya setengah histeris seperti orang bodoh. “Bohong? Kamu yakin?” Dia menatap tak percaya pada pria di depannya. "Kamu pasti sengaja ingin menjebakku, bukan? Aku tidak mungkin mendatangi kamar ini, meskipun kamu menyuruhku!" Kafka melepaskan cengkeramannya, menyilangkan tangan di depan dadanya yang bidang dan kokoh. Yana menelan ludah dengan gugup, memperhatikan betapa keras dan menggodanya tubuh mantan suaminya. Mana jaraknya sangat dekat pula! Yana bisa pingsan karena terpesona! Sungguh keadaan yang sangat memalukan! Saat mereka masih menikah dulu, Yana selalu kesal jika Kafka sembarangan membuka baju, meskipun bukan berarti dia tidak pernah melihat pria itu setengah telanjang. Awalnya, dia tidak terlalu memerhatikan, tapi saat mulai jatuh cinta pada Kafka di tahun kedua pernikahan mereka, dia selalu berusaha mencuri pandang setiap kali Kafka membuka baju atau hendak mandi. Namun, mungkin karena karma, niat tidak bermoralnya itu selalu berakhir buruk. Pada akhirnya, sebagian besar waktunya, Yana hanya bisa melihat punggungnya saja, sedangkan d**a kokohnya dan roti sobeknya yang menggoda hanya melintas sekilas di matanya. Mau tidak mau, dia mengandalkan imajinasinya sendiri membayangkan seperti apa tubuh Kafka pada masa itu. Sekarang, dia bisa melihat sepuasnya dari jarak sangat dekat, tapi betapa menyedihkan rasanya, mengingat mereka kini hanyalah mantan suami istri. Kafka seperti buah terlarang yang ditawarkan kepadanya. Sangat menyiksa! Karena tidak bisa menang melawan tuduhan Kafka, Yana akhirnya terpaksa meneruti permintaan pria itu untuk membantunya berpakaian. "Wajahmu sepertinya tidak ikhlas membantuku. Apakah seperti itu ekspresi seorang pelayan yang sedang melayani majikannya?" sindir Kafka, mengejek dengan senyum sinis melihat Yana yang sedang melamun sambil memasangkan dasi di lehernya. Merasa canggung dan marah sekaligus, Yana mendongak cemberut. "Kamu punya tangan sendiri, seharusnya bisa melakukannya sendiri. Kenapa malah menyiksa kita berdua hanya untuk memasang dasi?” “Memasang dasi adalah hal yang sepele dan sederhana. Tidak sebanding dengan hutang yang kamu miliki sekarang bersama keluargamu, bukan? Jika kamu mulai ahli memasangkan dasi, maka bukan tidak mungkin aku akan menganggap lunas 1 miliar dari 100 miliar yang harus kamu bayar." Mendengar ucapannya, Yana segera bersemangat! Kedua bola matanya berkaca-kaca penuh harap. "Kamu tidak bohong, kan? Hanya memakaikan dasi, maka hutangku akan lunas 1 milyar begitu saja?" Kafka merasakan amarahnya membara, tetapi dia berusaha menahan diri. "Yana Jazada, kamu benar-benar wanita materialistis!" ucapnya kesal. Yana terkekeh ironis. "Siapa yang tidak suka uang di dunia ini? Kalau kamu tidak suka uangmu, berikan saja semuanya kepadaku. Beres, bukan?" "Kamu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN