Yana yang membaca pesan itu segera duduk bersandar, kepala tertunduk menatapnya bingung. Ekspresinya terlihat ragu-ragu dan gelisah.
"Aku harus bicara apa dengannya?" gumamnya pelan pada diri sendiri.
Dokter yang selama ini membantunya sudah memberikan banyak pilihan pengobatan. Sayangnya, kondisi finansialnya sama sekali tidak mendukung.
Ditambah lagi, beban hutang yang berada di pundaknya membuatnya semakin tidak berdaya.
Tiba-tiba, ponsel Yana kembali bergetar. Panggilan masuk dari Ryan Wilson muncul di layar. Dengan perasaan semakin gelisah, akhirnya Yana mencoba untuk menjawabnya.
"Aku pikir kamu tidak akan menjawab panggilanku," ujar Ryan dengan nada sedikit menggoda.
"Ini sudah malam. Kenapa tidak menghubungiku besok saja?" balas Yana dengan suara lembut.
Bagaimanapun, Ryan Wilson sudah menolongnya selama ini ketika berada di rumah sakit. Bisa dibilang, dia sangat berhutang budi kepadanya.
"Bagaimana kalau kita bertemu besok saja? Aku akan memperkenalkanmu kepada seorang dokter yang khusus menangani penyakit kanker. Dia sangat terkenal dan sedang naik daun di lingkungannya."
"Tuan Wilson, aku tidak punya uang untuk menjalani pengobatan yang lebih canggih," jawab Yana lirih. Sedikit putus asa.
"Tidak perlu sungkan. Lagi pula, kenalanku ini memiliki program uji coba untuk pasien kanker. Kalau kamu bersedia menjadi kelinci percobaannya, mungkin saja biayanya bisa ditekan. Tapi, Kalau kamu ragu-ragu dan mau sedikit nekat, mungkin bisa mencoba meminta pinjaman kepada mantan suamimu. Bukankah kamu bilang 100 miliar itu adalah pinjaman untuk ibumu? Kenapa tidak mencobanya untuk kamu sendiri? Mungkin dia akan memberimu secara cuma-cuma?" ujar Ryan, suaranya kembali terdengar main-main dan jenaka.
Yana tertawa ironis, sedikit mengejek diri sendiri. "Apakah Anda sedang bercanda, Tuan Wilson? Ini sungguh tidak lucu."
Ryan tertawa terbahak-bahak di seberang sana. "Yana, maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu. Entah kenapa, rasanya sungguh menggelikan. Jangan salah paham. Aku bukan tidak simpati dengan keadaanmu. Sebaliknya, aku sangat peduli."
"Atau begini saja, kamu jalani perawatan yang ditawarkan oleh kenalanku. Aku akan pinjamkan uang yang kamu butuhkan,” lanjutnya serius.
Yana mengernyit heran. "Meminjamkan uang kepadaku, Tuan Wilson? Hutang saya kepada Kafka Bimantara saja belum tentu bisa dilunasi. Bagaimana dengan hutang saya kepada Anda kelak?”
Selama beberapa menit, Ryan mencoba meyakinkan Yana agar bersedia mengikuti program uji coba yang ditawarkan oleh kenalannya.
“Baiklah, mungkin aku bisa mencoba untuk bertemu dan berbicara dengannya,” ucap Yana dengan nada sedikit ragu. Cara bicaranya juga lebih akrab setelah ditegur oleh lawan bicara karena terdengar sangat kaku dan dingin.
Ryan tersenyum lembut di seberang sana, bulu matanya merendah anggun. Entah kenapa, ada ekspresi tak bisa di wajah dokter playboy itu. “Yana. Jangan berkecil hati. Aku yakin kamu pasti bisa sembuh dari penyakit yang kamu derita saat ini.”
Yana tersenyum, meski sedikit merasa sedih. “Sembuh, Tuan Wilson? Aku bahkan tidak berharap bisa sembuh seperti sedia kala dan hidup panjang. Dokter yang menanganiku bilang jika perawatan kali ini gagal, maka penyakit kanker itu akan segera meningkat ke level yang sulit ditangani oleh siapapun.”
Ryan terkekeh dan menarik napas berat, mencoba menyemangatinya dengan nada main-main. “Yana, dokter bukanlah Tuhan. Ada banyak penyintas kanker yang berhasil selamat setelah divonis lebih parah daripada yang kamu alami sekarang.”
Yana terdiam, pikirannya kacau.
Dia tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.
Memang benar, dia pernah membaca beberapa kasus di mana pasien kanker yang divonis hidupnya hanya tinggal beberapa hari, ternyata bisa bertahan selama bertahun-tahun dan menjalani hidup sehat. Namun, bagaimana dengan dirinya? Tidak hanya kini dia mulai tertekan kembali oleh tindakan mantan suaminya yang bisa memicu penyebaran sel kanker lebih cepat, tapi dia juga tidak memiliki dana yang cukup untuk memulai perawatan ulang seperti saat keluarganya masih sukses.
Malam itu, Yana tidur dengan gelisah. Dia takut tidak bisa memejamkan mata dan merasa terlalu lelah keesokan harinya. Diam-diam, Yana meminum sebutir pil tidur dan mencoba berbaring dengan nyaman.
***
Sekitar pukul satu lewat tengah malam, pintu kamar Yana tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.
Bayangan panjang di lantai menampilkan sosok yang mengintimidasi. Sepasang kaki dengan sepatu mahal melangkah masuk dan mendekati ranjang tunggal di sisi terdalam ruangan. Sosok itu duduk di tepi ranjang dan mulai mengelus sebelah wajah Yana.
Kafka Bimantara, dengan wajah dingin, mengamati lekat-lekat wajah mantan istrinya. Tangannya terus mengelus sebelah pipinya dengan penuh kasih sayang, lalu dengan lembut menyibakkan rambut hitamnya yang tergerai berantakan.
“Apakah kamu sungguh membenci kamar pernikahan kita, Yana? Kamu lebih memilih tidur di kamar sempit dan kotor ini daripada bersamaku?” tanya Kafka dengan nada sedih dan sedikit terluka. Suaranya yang dingin terdengar begitu lirih, nyaris tidak terdengar.
Kafka berdiam diri di kamar Yana untuk waktu yang lama.
Dia hanya terus menatap mantan istrinya dengan tatapan yang berubah-ubah. Terkadang penuh kebencian dan amarah, terkadang penuh cinta yang begitu dalam dan juga kekecewaan yang sarat dengan luka yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Entah karena apa, pengaruh obat tidur yang diminum oleh Yana mulai menghilang.
Samar-samar, dia membuka sedikit matanya dengan perasaan lemah dan tidak nyata.
"Kafka?" gumamnya lirih di dalam hati, merasakan tubuhnya tiba-tiba terangkat ke udara.
Detik berikutnya, kehangatan yang lembut menyelimuti tubuhnya seperti sayap ajaib dari segala masalah.
Mengira ini hanya mimpi, Yana bergelung manja dalam gendongan ala pengantin yang dilakukan oleh mantan suaminya.
Bibi Jelita, yang merasa haus, sedang menuangkan air ke dalam gelas di meja dapur. Dalam kegelapan, kedua bola matanya membesar tak percaya melihat sosok pria bertubuh tinggi berjalan dari kamar belakang sambil menggendong seorang wanita.
"Tuan Bimantara...?" bisiknya dengan wajah terkejut luar biasa.
Kafka menoleh ke arahnya dengan wajah dingin tanpa emosi. Dia hanya mengangguk penuh makna, lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju lantai dua.
Bibi Jelita yang gemeter meraih gelas di atas meja dan meneguk isinya dengan gugup.
Sebenarnya, Tuan Bimantara sangat mencintai istrinya, tetapi entah mengapa, kesalahpahaman di antara mereka begitu sulit untuk diluruskan.
Bibi Jelita adalah saksi hidup yang telah melihat semua perlakuan Kafka yang sangat bucin setelah menikahi Yana Jazada. Dia juga tahu betapa kejam dan buruknya perbuatan wanita itu terhadap suaminya di masa lalu. Tapi, pria itu terus saja melakukan hal-hal yang patuh. Bahkan, kadang-kadang, tatapannya penuh dengan cinta yang murni ketika menatap Yana dari kejauhan.
Memikirkannya masa lalu, Bibi Jelita merasa sakit sendirian di hatinya.
Kenapa nasib kedua orang itu sangat ironis?
"Ya, ampun. Aku tidak mengerti kisah cinta anak muda zaman sekarang. Mengapa mereka suka saling menyiksa diri?" gumamnya pada dirinya sendiri.