“Kenapa kamu lama sekali? Apa kamu baik-baik saja, Yana? Wajahmu sepertinya sangat pucat?” tanya Arini cemas, menatapnya setengah ketakutan. Dia bergegas menghampiri Yana yang berjalan lesu ke arahnya.
Yana tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja. Sepertinya, walaupun sudah makan sebelumnya, mungkin aku sudah cepat mencernanya di perut. Apa sebaiknya aku makan yang ringan-ringan saja? Rasanya kepalaku sedikit pusing.”
Arini membantunya duduk di kursi, memeriksa wajah pucat Yana.
“Benar! Kamu harus makan! Apa kubilang, kan? Sebaiknya kamu makan dulu! Pesan saja apa yang kamu mau. Biar aku yang bayar! Jangan sungkan!”
Karena dia terus mendesak, Yana akhirnya mengangguk setuju.
Setengah jam kemudian, keduanya sedang menyantap makanan dengan hati riang.
“Lihat? Kamu perlu makan! Memangnya mantan suami gilamu itu tidak memberimu makan?”
Yana menggeleng cepat, menyesap jus miliknya. “Dia tidak sepelit yang kamu pikirkan. Aku akui dia sangat jahat karena perbuatan masa laluku. Tapi, dia tidak melarangku makan apapun di mansion itu. Sebaliknya, dia menyuruhku makan sebanyak mungkin. Aku pikir dia sudah seperti mau menyuruhku gemuk dengan sengaja hanya untuk disembelih.”
Arini terkesiap mendengar ucapan Yana yang terkesan bercanda sambil tertawa kecil. “Ya, ampun! Yana! Jangan-jangan, dia memang sengaja? Bagaimana kalau penampilanmu yang aduhai ini mau dijadikan buntelan empuk? Alias dia mau menggemukkanmu supaya reputasimu semakin anjlok?!”
Yana membeku, berhenti dari kegiatan makannya.
Kekehan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu, meletakkan sendok yang tidak jadi masuk ke mulutnya. “Apakah menurutmu seperti itu? Sepertinya tidak buruk juga. Lagi pula, kalau aku gemuk dan jelek, mungkin matanya akan terganggu dan tidak akan mau berurusan denganku lagi.”
Yana Jazada adalah wanita yang sangat digilai oleh banyak pria di Ibu Kota pada masanya. Lucas Bayanaka sebagai cinta pertama Yana jelas menjadi sasaran iri dan dengki semua pria yang mengetahui kisah mereka berdua. Jika Kafka memang berniat mengubah penampilannya menjadi wanita gemuk yang tidak menarik, dia tidak bisa melakukan apapun untuk menghalanginya.
Setelah menyenangkan Arini, dia kembali menikmati makanannya, mencoba berlagak seolah semuanya baik-baik saja. Tapi, pikirannya sangat terganggu dengan adegan di toilet sebelumnya. Mungkin yang dikatakan oleh sahabatnya ada benarnya. Dia harus makan dengan baik dan lebih memperhatikan tubuhnya. Tetapi sebentar lagi dia akan menjalani kemo terapi. Di saat seperti itu, selera makan akan sangat terganggu. Dia sudah pernah mengalaminya sekali, dan sangat menyakitkan.
Pada sesi perawatan, dia harus makan banyak demi menjaga tubuhnya menghadapi kemo yang harus dilakukan berkali-kali. Tapi di saat yang sama, apa pun yang masuk ke mulutnya rasanya sangat tidak enak. Semua makanan terlihat tidak menarik baginya.
"Apa kamu akan kembali ke kantor?" tanya Yana cepat sebelum wanita itu menghentikan sebuah taksi di depan restoran.
"Sebenarnya bukan masalah kalau bolos sehari. Bisa dibilang sekarang aku ini bos besar di departemen tempatku bekerja. Jadi kalau aku ingin menemanimu lebih lama, tentu saja aku bersedia."
"Tidak. Tidak perlu. Katakan saja, di rumah sakit mana kakakku berada?”
Arini menatap sahabatnya dengan rasa kasihan, menyadari bahwa beban hidup Yana jauh lebih berat daripada dirinya.
Dia menepuk sebelah bahunya dan berkata pelan, “Yana, jangan ragu untuk minta bantuanku. Kamu bisa menyerahkan masalah kakakmu kepadaku. Aku hanya berharap kamu bisa bertahan dan lepas dari jeratan mantan suamimu. Dia memang sudah gila dan psikopat. Kalau hidupmu terus berurusan dengannya, maka penderitaanmu tidak akan pernah berakhir.”
Yana tersenyum tipis, tidak menanggapi perkataan itu sama sekali. Tidak lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan kedua wanita itu.
“Besok kita bertemu lagi! Pokoknya, telepon saja aku kalau kamu butuh menyegarkan pikiran!” teriak Arini sambil melakukan gerakan seperti sedang menelepon.
Wanita yang duduk di kursi penumpang mengangguk cepat, menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. Dia tidak boleh mengganggu pekerjaan sahabatnya. Dia tahu apa pun bisa dilakukan oleh wanita energik itu untuknyam
Namun, kalau terus mengandalkan dan berharap kepadanya, maka suatu hari, dia bisa saja menariknya jatuh bersamanya. Dia tidak mau seperti itu.
***
"Sebaiknya berhati-hatilah jika Anda ingin pulang di daerah sekitar sini, Nona. Kalau malam hari, biasanya ada banyak berandalan yang berkeliaran," peringat sopir taksi ketika mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah sakit besar dan terlihat membosankan.
Yana hanya mengucapkan terima kasih dengan wajah kebingungan. Dia tidak mengerti mengapa tempat yang terkesan sangat ramai dan cukup megah untuk ukuran sebuah rumah sakit bisa menjadi tempat berkeliarannya berandalan yang mengganggu masyarakat.
Apakah tidak ada keamanan di sini?
"Pasti Kak Arzaka yang meminta Arini untuk membawanya ke rumah sakit ini karena terbentur biaya,” pikirnya pasrah.
Dengan menguatkan hati, akhirnya Yana memasuki bangunan luas itu. Sepertinya, itu merupakan tempat milik pemerintah. Ada banyak orang yang berlalu-lalang di lingkungan tersebut, membuat Yana sedikit kebingungan untuk menemukan departemen yang dikatakan oleh sahabatnya.
"Maaf, Nona. Anda sedang mencari apa?" tanya seorang satpam ketika melihat Yana yang berjalan hilir mudik seperti anak kecil yang tersesat.
“Maaf, Pak. Saya ingin mengunjungi kakak saya. Dia masuk rumah sakit beberapa waktu lalu, tapi saya tidak tahu tempatnya,” jawab Yana polos.
"Jadi ingin mengunjungi keluarga yang sakit, ya? Resepsionisnya berada dua belokan dari sini. Belok kanan saja, lalu belok kiri."
Yana mengucapkan terima kasih, lalu pergi dari hadapannya. Rumah sakit tersebut tidak begitu buruk, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan rumah sakit yang dulu menjadi langganan keluarga mereka ketika masih berjaya.
Setelah bercakap-cakap dengan seorang perawat di meja resepsionis, Yana akhirnya berjalan ke sebuah bangsal dengan kamar berisi beberapa pasien. Yana mengintip ke dalam. Hatinya berdebar-debar. Dia belum terbiasa dengan suasana rumah sakit yang terlalu ramai.
Sejak kejatuhan keluarga Jazada, kakaknya baru dua kali masuk rumah sakit. Bisa dibilang, itu sangatlah beruntung. Sebelumnya, dia bisa masuk rumah sakit lebih dari lima kali dalam setahun.
Ketika Yana memasuki kamar pasien, beberapa orang melihatnya dengan tatapan aneh dan penasaran.
"Loh, Kakak? Kakak Yana?" teriak Tera, adik Yana yang terlihat murung dan tidak bersemangat. Dia menatap terkejut dengan kemunculan kakaknya yang sudah lama tidak terlihat.
Yana tersenyum lebar, melambaikan sedikit tangannya, dan mempercepat langkahnya.
"Tera, kenapa kamu di sini? Apa kamu tidak pergi kuliah?"
Pria muda itu menjawab dengan murung. "Aku sedang libur, jadi tidak apa-apa. Tapi, kakak sendiri, dari mana selama ini? Kenapa baru muncul sekarang?"
Yana tidak segera menjawabnya dan melirik pria tampan dengan wajah pucat yang sedang berbaring di ranjang pasien.
Ibu Yana, Dinda Sabraja, sepertinya baru terbangun dari tidurnya di samping ranjang pasien. Dia segera berdiri cepat dengan wajah tidak percaya. Gerakannya gelisah, tapi senyumnya sangat lebar dan terkesan bodoh.
"Yana, Yana putriku! Aku pikir kamu sudah meninggalkan kami semua!"
"Ibu bilang apa? Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Kebetulan saja ada masalah mendadak dengan pekerjaan, makanya aku tidak bisa segera menghubungi kalian," jawab Yana tidak enak hati. Matanya melirik diam-diam dahi ibunya yang diberi perban.
Pasti sakit sekali membenturkan kepala ke lantai sambil memohon dengan merendahkan harga diri.
Yana seketika menjadi tidak tega.