“Jangan pikirkan perkataan Karmila. Dia hanya iri dan dengki dengan pencapaianmu sejak bekerja di sini,” hibur manajer Bella saat mereka akhirnya tiba di ruangan lain.
Yana menatapnya dengan rasa lega. “Terima kasih.”
“Duduklah,” kata manajer dengan nada lembut dan penuh bujukan.
Yana merasa tidak nyaman dengan sikap sopan lawan bicaranya. Manajer Bella sangat Jarang bertemu langsung dengan para karyawan. Bertemu seperti ini rasanya sangat salah.
“Kak Bella, sebenarnya saya datang ke sini untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada saya. Apakah saya akan dipecat?”
“Yana, tidakkah kamu dengar sebelumnya? Seharusnya kamu berada di rumah sakit.”
“Oh, maaf. Dokter bilang saya sudah bisa keluar dan sekarang sudah merasa lebih baik. Tapi, bagaimana Kak Bella bisa mengetahuinya?”
Manajer Bella tersenyum misterius dan berkata lembut, “Tuan Bimantara yang memberitahuku sendiri tentang keadaanmu.”
Yana termenung. Apakah dia yang memberitahu apa yang menimpanya? Kenapa?
“Sepertinya kamu terlihat bingung,” sindir manajer Bella dengan sedikit nada main-main.
Yana tersenyum canggung. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk membuat keributan. Tetapi, waktu itu saya pingsan dan tiba-tiba saja sudah berada di rumah sakit. Tubuh saya lemah dan tidak bisa bergerak dengan baik. Ponsel saya tertinggal di tempat ini, tidak bisa memberitahu keadaan saya kepada Kak Bella. Maka dari itu, saya hanya bisa berbaring di rumah sakit sampai dokter membiarkan Saya keluar.”
Manajer Bella hanya menghela napas berat, lalu meraih sebatang rokok dari kotak indah di atas meja. “Tidak perlu menjelaskan lagi. Tuan Bimantara memberikan banyak penjelasan kepadaku. Tapi, maaf, Yana. Apakah kamu bisa melanjutkan bekerja di sini atau tidak, itu tergantung dari keputusan bos besar.”
Yana terdiam.
Bos besar yang Bella maksud adalah sosok yang tidak pernah diketahui oleh semua orang. Hanya Bella yang selalu berkomunikasi dengannya.
“Baiklah, tidak apa-apa. Saya harap saya tidak dipecat. Saya juga mohon agar Kak Bella mau membantu saya agar tidak disuruh ganti rugi. Bagaimanapun, itu adalah kesalahan dan kecerobohan saya karena sudah membuat masalah.”
Manajer Bella menahan geli, menatapnya dengan sedikit tatapan lucu.
“Apakah ada yang lucu?” tanya Yana tidak mengerti.
“Di tempat ini, sekalipun bukan kamu yang salah, tetapi karena adanya hierarki yang berlaku, mau tidak mau, seseorang harus mengakui bahwa hal itu adalah kesalahannya. Tidak ada yang peduli apakah kamu benar atau salah, yang terpenting adalah meminta maaf. Itulah yang kamu lakukan sekarang. Kamu belajar dengan baik.”
“Saya tahu posisi saya, Kak Bella.”
Dia sudah bukan orang kaya yang terpandang, tidak memiliki kekuasaan maupun pengaruh. Satu-satunya cara untuk menghindari masalah adalah dengan meminta maaf.
“Baiklah, jangan melihatku dengan pandangan seperti itu,” kata Bella dengan nada tidak berdaya. Dia menikmati rokoknya sebentar sebelum akhirnya melesakkan sisanya di atas asbak.
"Nanti malam, ada tamu VIP penting. Aku ingin kamu bisa masuk bekerja dan melayani mereka. Kalau kamu bisa mendapatkan tip besar malam ini, mungkin aku bisa berbicara dengan bos besar supaya kamu tetap bekerja. Tapi, jangan berharap terlalu banyak," lanjut Bella dengan nada sedikit kasihan.
Yana mengangguk mengerti, tangannya mengepal di atas pangkuannya. "Terima kasih, Kak Bella. Aku akan menghargai semua keputusanmu.”
“Baiklah, kalau begitu. Kamu pulang dulu untuk beristirahat. Nanti malam, baru datang ke sini lagi. Untung saja jadwal kerjamu dengan Karmila berbeda bulan ini. Hati-hati dengannya. Jangan sampai kamu mencari masalah dan memicu kemarahan banyak orang. Reputasimu sudah cukup buruk. Kamu beruntung masih ada tamu yang tertarik dengan bakatmu.”
Di klub malam itu, Yana yang tidak bisa minum alkohol hanya melayani tamu dengan menawarkan bakat ataupun hiburan yang tidak melibatkan alkohol, dan tentu saja tidak merendahkan martabat wanita, seperti tidur dengan tamu di luar klub. Selama bisa menghasilkan uang, dia boleh melakukan apa saja. Manajer Bella sudah mengatur hal tersebut sejak dia bekerja di tempat itu.
Setelah pamit dan berterima kasih sekali lagi kepada Bella, Yana berjalan keluar menuju pintu utama.
"Sudah selesai?" tanya pria berbaju hitam yang menunggunya. Wajah pria itu cukup menakutkan jika diperhatikan dengan saksama.
Hati Yana bergetar dengan perasaan ngeri, tetapi selama ini pria itu tidak pernah melakukan hal buruk, hanya bertugas menjaganya.
Yana mengangguk dan segera mengikuti pria berbaju hitam menuju tempat parkir. Di dalam mobil, Yana bertanya dengan serius, "Kapan aku bisa bertemu dengan Tuan Bimantara?"
Pria yang duduk di kursi co-pilot menatapnya sebentar melalui kaca spion dan menjawab dengan nada datar, "Aku sudah mengatakan bahwa itu tergantung dari keputusan Tuan Bimantara."
"Kalau begitu, tolong sampaikan kalau aku harus kembali bekerja mulai sekarang. Jadi, tolong katakan kalau aku akan keluar beberapa kali dalam seminggu," lanjut Yana, suaranya penuh harap.
Yana tidak pernah memiliki nomor telepon Kafka dan dia merasa mustahil bisa menghubunginya sendiri. Namun, itu justru memberikan sedikit rasa lega. Setidaknya, dengan begitu dia tidak perlu terlalu terikat pada pria itu setelah perceraian mereka.
Bagi Yana, uang 100 miliar dan biaya rumah sakit hanyalah masalah yang bisa diselesaikan seiring waktu. Dia berencana untuk segera mengumpulkam uang tersebut dan berharap tidak bertemu Kafka terlalu sering seperti sekarang.
Diabaikan begini, ternyata, entah kenapa terasa menjadi anugerah tersendiri untuknya.
Menjadi pembantu di mansion peninggalan kakeknya pun tidak mengapa bagi Yana. Setidaknya, di tempat itu dia bisa sedikit bernostalgia, mengingat masa-masa sebelum semuanya berubah.
Jika Kafka jarang pulang ke mansion, itu lebih baik. Yana berharap Kafka bisa terus menghabiskan waktunya bersama Mala Nasram sehingga kemarahan dan kebenciannya bisa teralihkan pada hal-hal lain yang jauh dari hidupnya.
Bagaimanapun, ketenangan tanpa harus berurusan dengan Kafka lagi adalah impian yang sangat dia harapkan saat ini.
Ide Yana untuk kembali bekerja malam itu ditolak mentah-mentah oleh pria berpakaian hitam yang ditugaskan untuk menjaganya. Sepanjang perjalanan, pria itu terus menjelaskan bahwa tugasnya adalah memastikan Yana tidak melakukan hal-hal yang di luar rencana atau keinginan Kafka.
Ketika Yana mencoba meminta pria tersebut menghubungi Kafka sekali lagi, ponsel pria itu tetap tidak bisa dihubungi. Frustrasi, Yana hanya bisa tenggelam dalam lamunan berjam-jam di mansion tua tersebut.
"Bagaimana aku bisa membayar hutang kalau tidak diizinkan keluar?" pikir Yana, cemas dan gelisah.
Tidak lama kemudian, Bibi Jelita, salah satu pelayan lama di mansion, datang dengan sepiring kue untuk Yana.
"Ada apa, Nak? Kenapa terlihat murung?" tanyanya lembut.
Yana memandang Bibi Jelita dengan penuh harap. "Bibi, apakah ada jalan rahasia untuk keluar dari mansion ini?"
Bibi Jelita terkejut. "Apa maksudmu? Kamu ingin kabur? Apakah kamu ingin melawan Tuan Bimantara?"
Yana cepat-cepat menggelengkan kepala. "Bukan begitu, Bi. Malam ini aku harus kembali bekerja. Aku punya hutang besar kepada Kafka. Kalau tidak bekerja, aku tidak akan bisa melunasinya. Aku ingin memutus semua ikatan dengannya secepat mungkin."
Bibi Jelita menghela napas panjang dan duduk di samping Yana, menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. "Yana, kamu baru saja pulang dari rumah sakit. Jangan memaksakan diri."
Yana tetap bersikeras. "Aku tidak punya pilihan, Bi. Kalau tidak bekerja, bagaimana aku bisa membayar hutangku dan benar-benar keluar dari kehidupannya?"
Bibi Jelita memandang Yana dengan rasa kasihan.
"Kamu pasti sangat menderita, Nak," ucapnya pelan, wajahnya penuh simpati.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bibi Jelita memberitahu Yana tentang jalan keluar rahasia yang biasa digunakan para pelayan untuk keluar secara diam-diam tanpa sepengetahuan para penjaga.
"Jangan khawatir. Jalan itu aman dan tidak dijaga oleh siapa pun. Kamu hanya perlu berpura-pura tidur malam ini dan keluar diam-diam. Tapi hati-hati, jangan sampai ketahuan,"
Yana mengangguk penuh terima kasih, dan dengan hati-hati menceritakan kepada Bibi Jelita apa yang sebenarnya terjadi hingga dia terpaksa kembali ke mansion ini.
Bibi Jelita mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya menyiratkan rasa simpati yang mendalam. Dia bahkan sudah menangis sedikit.
"Aku doakan semoga semuanya berjalan lancar, Nak," bisik Bibi Jelita lembut, seolah mengerti betapa beratnya beban yang dipikul oleh Yana.
***
Malam hari akhirnya tiba.
Dengan penuh kehati-hatian, Yana melangkah keluar dari mansion peninggalan kakeknya menggunakan jalan rahasia yang sebelumnya diberitahu oleh Bibi Jelita.
Selama ini, dia tidak pernah benar-benar memahami setiap sudut mansion tersebut, meskipun sudah bertahun-tahun menempatinya. Banyak rahasia tempat itu yang baru terungkap setelah dia mendengar cerita dari para pengurus mansion.
Dia berpikir suatu saat nanti harus menelusuri setiap inci tempat itu. Fokusnya saat ini adalah kembali bekerja dan menyelesaikan hutangnya.
Sekitar pukul 8 malam, Yana tiba di klub malam Blue Diamond. Napasnya tersengal-sengal, merasa lega telah berhasil sampai tanpa hambatan. Begitu dia masuk, seorang pria, manajer kecil di bawah pengawasan Bella, segera menegurnya dengan wajah penuh kemarahan.
"Ya ampun, kenapa kamu baru datang? Cepat ganti pakaian!" perintah pria itu kasar.
Yana segera bergegas ke ruang ganti. Dalam hati, dia merasa getir. Sudah beberapa minggu dia bekerja di klub ini, namun pertemuannya dengan Kafka telah membuat hidupnya semakin rumit. Jika saja Kafka tidak muncul tiba-tiba, dia mungkin tidak akan terjebak dalam situasi seperti sekarang.
Manajer kecil sebenarnya menyukai Yana pada awalnya, mengingat kemampuannya dalam menarik banyak tamu dan menghasilkan uang meskipun reputasinya di kalangan orang kaya terbilang buruk. Namun, justru karena reputasi buruk itulah banyak orang yang ingin menyewanya, sebagian besar hanya untuk mempermalukannya di hadapan publik. Ironisnya, semakin banyak tamu yang menyewanya, semakin besar klub mendapat keuntungan.
Yana, di sisi lain, tidak mengerti kenapa Karmila begitu iri dan dengki padanya. Bukankah dia hanya mendapatkan hinaan dan cemoohan dari tamu yang menyewanya? Tidak ada yang patut membuatnya iri dari posisinya saat ini. Tidak peduli seberapa banyak uang yang dia hasilkan.
Setelah berganti pakaian, Yana merasa sedikit aneh dengan tatapan beberapa orang di sekitarnya, tapi dia mengabaikannya. Pria yang menegurnya tadi segera mengajaknya keluar ruangan dan menuju ke sebuah ruang VIP. Manajer Bella sudah mengatur semuanya dan menjelaskan bahwa Yana adalah karyawan khusus yang akan melayani tamu-tamu penting malam ini.
Yana menarik napas dalam-dalam, bersiap menghadapi apa pun yang menantinya di dalam ruangan tersebut.
Kadang-kadang, permintaan tamu VIP sangat tidak masuk akal dan aneh-aneh, maka dari itu setiap ingin masuk ke ruangan dia harus bisa mempersiapkan hatinya dengan baik.
Bagaimanapun juga, ini adalah satu-satunya cara untuk segera melunasi hutangnya dan mengakhiri semua keterikatannya dengan Kafka.
“Permisi, Tuan-Tuan! Malam ini, Yana Jazada akan menghibur dan menemani kalian dengan kemampuannya yang sangat luar biasa! Silakan menikmati pertunjukan darinya!” ujar manager sambil tersenyum lebar.
Sayangnya, ketika dia memasuki ruangan, Yana tidak sengaja bertemu mata dengan tatapan sedingin es yang tertuju kepadanya. Keringat dingin langsung membanjiri punggungnya.
Yana membeku dengan rasa ngeri mencengkeram hatinya. Dia ingin lari dan bersembunyi, tapi kedua kakinya seperti dipasangi karung besi, tidak bisa bergerak sama sekali.
Kafka? Kenapa Kafka ada di sini?
Bukankah dia sibuk menghabiskan waktunya bersama cinta sejatinya? Bagaimana dia bisa duduk di sana?
Ke mana Mala? Kenapa tidak bersamanya?