Bab 21 Wanita Kejam dan Tidak Berperasaan

1839 Kata
"Kenapa berdiri saja di situ? Ayo, cepat, perkenalkan dirimu!" tegur manajer yang membawa Yana ke ruangan VIP tersebut. Yana menyiapkan dirinya dengan gugup. Dia mencoba mengalihkan fokusnya dari Kafka yang duduk di tengah sofa. "Selamat malam, Tuan-Tuan. Perkenalkan, saya adalah Yana Jazada. Walaupun saya tidak bisa minum, tapi apapun bisa saya lakukan selama bisa membuat kalian semua di ruangan ini merasa puas dan terhibur." Mendengar perkataannya, Kafka mendengus dingin, terkekeh dengan nada sangat mengejek. Yana mengerutkan kening. Dia pasti sedang menghinanya gara-gara insiden tantangan minum alkohol beberapa waktu lalu. Jika mau jujur, kalau bukan karena terdesak uang dan dipermalukan di hadapan banyak orang, dia tidak akan impulsif menerima tantangan itu. Tapi, sekarang berbeda. Katanya, jika dia berhasil menyenangkan tamu penting ini, dia bisa mendapatkan tip yang besar. Tidak perlu minum alkohol yang hampir merenggut nyawanya. Lagi pula, tidak ada gunanya menghadapi Kafka. Apalagi mencari gara-gara dengannya. Hutangnya sudah cukup besar. Apa artinya jika dia menerima tantangan darinya lagi? Mungkin dia akan berakhir di kamar mayat? "Kalau begitu, saya pergi dulu. Silakan, Tuan-Tuan. Semoga kalian bisa terhibur. Permainan biolanya sangat bagus. Yana, jangan kecewakan tamu-tamu kita," ujar manajer sambil tersenyum sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Yana tersenyum kaku, mengangguk paham, lalu mengalihkan perhatiannya pada pria yang duduk di dekat Kafka. Pria itu bertubuh besar, botak, dan memiliki tubuh kekar layaknya seorang petinju, tetapi gerakannya lembut layaknya seorang Gentleman. Sosoknya mengingatkan Yana pada bintang Hollywood yang sangat terkenal di luar negeri. "Tuan-tuan, apakah Anda ingin mendengarkan saya bermain biola, ataukah ingin saya bernyanyi dan menari?" tanyanya dengan nada ceria, mencoba untuk memulainya dengan baik. Bagaimanapun kesan pertama adalah segalanya. Kafka yang mendengar itu kembali terkekeh dengan nada sinis. Mata dinginnya menatap Yana dengan jijik. Yana merasakan hatinya seperti teriris. Dia tidak tahu mengapa Kafka berada di sini. Kenala dia yang harus menjadi salah satu tamu penting malam ini. Mungkinkah mereka akan melakukan kerja sama kontrak? Apapun itu, Yana tidak mau memikirkannya. Yang terpenting adalah mendapatkan tip sebanyak mungkin malam ini dan menyelesaikan pekerjaannya. Jika dia kembali ke Mansion dan bertemu dengannya sudah pasti dia akan mendapatkan hukuman berat. Daripada merugi lebih baik dia melakukan yang terbaik agar bisa mendapatkan uang sebanyak mungkin malam ini. Setidaknya penderitanya tidak akan berakhir sia-sia seperti terakhir kali. Pria besar itu tersenyum mengamati Yana yang berpakaian serba putih. Pakaian itu tidak terlalu terbuka, namun tetap menampilkan sosok yang anggun dan elegan, seolah Yana adalah definisi seorang dewi yang turun dari surga. "Nona, berapa permalam yang bisa kamu berikan?" tanyanya penasaran, kedua bola matanya yang tajam memancarkan rasa penasaran yang tinggi. Yana melirik sekilas ke arah Kafka sebelum menjawab. Dia tahu maksud pertanyaan itu, tetapi memilih untuk tetap tenang. Sekilas, Kafka tampak seolah tidak mengenalinya, sangat berbeda ketika mereka tidak sengaja bertemu di klub ini yang sedang bersama kenalan dan kekasih hatinya. Sambil tersenyum tenang, Yana menjawab dengan sangat sopan, "Maaf, Tuan, tetapi saya tidak menyediakan jasa layanan lain. Selama berada di ruangan ini, Anda boleh menyuruh saya melakukan apa saja, selama tidak aneh-aneh. Bagaimana?" Pria besar itu sepertinya sedikit tersinggung. Keningnya bertaut kencang. "Apakah kamu tahu siapa aku?" Yana berdeham canggung. Entah kenapa matanya otomatis melirik sekilas ke arah Kafka. Dia mengutuk pikirannya yang seolah-olah ingin meminta bantuan dari mantan suaminya. Tapi, apakah dia mau menolongnya? Jelas jawabannya tidak. "Tuan, maafkan saya. Saya hanya orang kecil yang tidak tahu apa-apa. Dari apa yang saya lihat, sepertinya Anda adalah orang besar yang sangat berkuasa. Mohon kemurahan hati dan juga belas kasih, Tuan. Selain apa yang Anda minta itu, saya bisa melakukan apapun." Pria besar terkekeh dan meletakkan tangannya di atas pangkuannya sendiri dengan keras. "Kamu sungguh berani dan sangat menggoda. Bagaimana bisa kamu tidak menyediakan layanan lain? Aku pikir semua wanita yang bekerja di klub malam bisa melakukan itu. Apa yang membuatmu berbeda? Apakah kamu sedang bermain tarik ulur denganku?" Yana mulai merasa dingin. Sepertinya pria besar itu terus menekannya agar bisa tidur dengannya. Namun, dia tetap terlihat tenang dan tersenyum lebar. "Tuan, sepertinya Anda salah paham. Tidak semua yang bekerja di tempat semacam ini menyediakan layanan lain untuk membuat para tamu bahagia. Saya bisa memberikan hal-hal lain yang membuat Anda lebih senang dan merasa puas. Sesuatu yang berbeda dibandingkan apa yang Tuan inginkan barusan.” Pria besar mendengar ucapan Yana dengan penasaran. "Benarkah? Coba berikan salah satu contohnya." "Apakah Anda ingin mendengarkan saya bermain biola?" Pria itu tampak ragu, lalu mengiyakannya seraya menggerakkan jari gemuknya di udara. "Mainkan. Aku mungkin bisa memberimu 10 juta rupiah jika hatiku sedikit merasa lebih baik." Yana tersenyum lebar, mengangguk penuh semangat. Dia pun mulai mundur beberapa langkah, lalu memainkan biolanya. Ketika Yana tenggelam dalam aksinya, dia terlihat sangat lembut dan alami. Semua orang yang ada di ruangan seketika terpesona oleh penampilannya. Dia baru memainkan beberapa gesekan, tetapi alunannya benar-benar menyentuh hati. Kafka yang baru kali ini melihatnya bermain biola juga terkejut dan tertegun dalam kebisuan. Dia tidak pernah menyangka kalau Yana bisa memainkan biola sebagus itu Pria besar terpesona dengan permainan Yana. "Ya, ampun! Seharusnya dia tampil di panggung besar. Bagaimana bisa dia berakhir di klub malam seperti ini? Sungguh bakat yang sia-sia! Kalau aku memilikinya aku pasti sudah memamerkannya kepada semua kenalanku. Melihat mereka semua iri kalau aku memiliki pasangan seperti itu sungguh membuat hatiku berdebar. Bukankah begitu, teman-teman?” Kafka meliriknya dingin, tetap diam di tempatnya. Sementara beberapa pria di ruangan itu terkekeh-kekeh sambil bergumam dalam keadaan mabuk. Wanita pendamping mereka juga ikut tertawa sambil membujuk untuk terus minum dan membuka botol. Wanita yang duduk di sebelah Kafka mencoba untuk menghiburnya, memberikan potongan buah untuk dinikmati. Namun, pria dingin itu menolaknya dengan lirikan sinis yang membuat wanita tersebut membeku canggung, segera mundur merasakan ketidaksenangan darinya. Demi membuatnya tidak marah, wanita pendamping dengan nada lembut berkat, "Tuan Bimantara, bukankah permainan Nona Yana sangat bagus? Dengar-dengar, dia adalah mantan nona kaya yang keluarganya jatuh bangkrut." Pria besar yang tidak sengaja mendengar hal itu, lalu segera mengomentarinya, "Benarkah itu?” Karena berhasil menarik perhatian pria besar, wanita pendamping di sebelahnya segera menyahut dengan penuh semangat, sambil melirik sekilas ke arah Yana yang masih tenggelam dalam permainan biolanya, dia segera mengangguk dan berkata cepat, "Ya. Dengar-dengar, katanya dia baru saja bercerai dari suaminya yang katanya adalah pewaris keluarga terkenal." "Wah, aku baru tahu itu. Pantas saja dia terlihat sangat cantik dan anggun. Rupanya mantan nona kaya raya. Aku baru pulang dari luar negeri selama beberapa tahun, tidak menyangka ada kejadian semacam itu." "Ya, Tuan. Semua orang juga terkejut ketika keluarga itu jatuh miskin, padahal reputasi mereka sangat terpandang di Ibu kota." Kafka seketika menjadi dingin mendengar percakapan wanita yang duduk di sebelahnya. Aura gelapnya semakin tajam, tapi wanita di sebelahnya sepertinya tidak menyadari perubahan sikapnya "Lalu, siapakah pria yang telah bercerai darinya? Apakah aku mengenalnya?" Wanita itu berkekeh dengan sedikit malu-malu. "Maaf, Tuan Galih, sebenarnya saya baru tiba di sini. Hanya mendengar beberapa gosip yang menarik." "Oh, itu artinya kamu tidak tahu siapa mantan suaminya?" Kafka menekan, nadanya penuh ironi. Meliriknya tajam dengan rasa jijik yang sangat jelas. Wanita itu terkekeh canggung. "Lain kali akan saya tanyakan padanya jika kalian berdua penasaran." "Tidak perlu. Hanya sayang sekali kalau pria itu bercerai dari wanita secantik dia. Sungguh disayangkan. Kalau dia menjadi istriku… ah, tidak! Jadi simpanan juga boleh. Dia benar-benar menarik,” potong Tuan Galih dengan nada yang terdengar main-main, tapi ada keseriusan dalam suaranya. "Apakah Anda sudah menikah, Tuan?" tanya wanita itu penasaran, merasa sedikit kesal karena perkataannya malah meningkatkan daya tarik Yana di mata pria tersebut, padahal niatnya adalah menjatuhkannya. Sukardi Galih tertawa keras, membuat Yana sedikit teralihkan dari permainan biolanya. Namun, dia segera kembali fokus ketika tatapan Kafka yang penuh kebencian menusuknya. "Aku sudah punya istri, tapi dia meninggal dua tahun lalu. Saat ini aku belum tertarik untuk mencari penggantinya. Istriku adalah wanita yang sangat baik. Aku belum pernah bertemu wanita sebaik itu di dalam hidupku. Jadi, mungkin posisi sebagai wanita simpanan tidak buruk untuk membuat seorang pria bersenang-senang sementara waktu, bukan?" Wanita pendamping Kafka tertawa canggung sekali lagi, lalu menggoyangkan sebelah lengan Kafka. "Tuan Bimantara, bagaimana menurut Anda? Apakah Yana Jazada cocok untuk menjadi kekasih Tuan Galihh? Bagaimana dengan saya,” Kafka tersenyum sinis, terus menatap Yana tanpa berkedip. Dengan nada yang lebih dingin dari ekspresinya, dia berkata, "Kenapa kita tidak menanyakannya langsung kepada orangnya saja?" Tuan Galih tertawa keras sambil bertepuk tangan, memberi kode kepada Yana untuk berhenti bermain biola. "Hebat! Hebat sekali! Permainanmu benar-benar luar biasa! Yana Jazada, bukan?" "Benar, Tuan," balas Yana dengan senyum setenang mungkin. "Dari mana kamu belajar bermain biola seperti itu?" tanya Tuan Galih, benar-benar tampak terkesima dengan bakatnya. "Kebetulan, sejak kecil saya sudah berlatih bermain biola. Tetapi, karena tuntutan keluarga, saya memilih jurusan lain ketika sudah dewasa dan harus mengubur hobby kecil saya ini.” "Hmm, katanya kamu mantan nona dari keluarga kaya raya. Benarkah itu?" Yana merasakan tangannya menggenggam erat biola, tapi tetap mengangguk dengan anggun yang lembut. "Benar, Tuan. Tapi, itu hanya masa lalu." Kafka tertawa dengan nada yang dibuat-buat. Wanita pendampingnya memeluk lengan Kafka lebih erat, lalu berkata dengan nada menyindir, "Tuan Bimantara, apakah dia sungguh lucu? Kenapa sejak tadi Anda terus tertawa melihatnya?" Kafka menjawab dingin, "Bukankah itu tujuannya? Membuat orang merasa senang dan gembira? Seperti… badut?" Wanita pendamping tertawa cepat, "Benar, benar juga! Dia tidak ada bedanya dengan badut! Seharusnya dia bisa menghibur kita semua dengan segala bakatnya. Bukan begitu?" Kafka tersenyum sinis ke arah Yana. Benar-benar sangat mengejek dan menghina. Wanita itu tampak tertegun mendengar kata "badut" dari mulut Kafka. Tuan Galih segera menimpalinya, "Ya, ampun. Kenapa kamu mengatakan dia sebagai badut? Dia lebih bagus daripada badut. Seharusnya dia tampil di panggung yang sangat besar. Coba ceritakan, apa lagi kemampuanmu selain bermain biola?" Yana berusaha menenangkan pikirannya kembali, tersenyum lembut dan sopan. "Saya bisa bernyanyi dan menari. Juga bisa bermain catur dan beberapa permainan di ruangan ini." Tiba-tiba, Kafka berkomentar sinis, "Ternyata, nona Yana memiliki banyak kemampuan rahasia yang selama ini disembunyikannya. Sungguh mengejutkan." Yana tidak senang dengan sindiran Kafka. Dia menatap mantan suaminya dengan tatapan penuh arti, sambil tersenyum lebih lembut, tapi sedikit menyindir. "Terima kasih atas pujiannya, Tuan Bimantara. Tetapi, apa yang saya miliki tidak ada apa-apanya dibandingkan seseorang yang ternyata sangat hebat, tapi berpura-pura tidak memiliki apa-apa." Wajah Kafka berubah suram, menampilkan kemarahan dingin di bola matanya. Yana memperhatikannya dengan hati-hati. “Memangnya, kenapa kalau dia tersinggung? Kalau dia ingin membunuhku, maka lakukan saja!” batin Yana, tanpa sedikit pun rasa takut di wajahnya. Tuan Galih tertawa dengan suara yang menarik perhatian. Dia menepuk sebelah bahu Kafka sambil berkata, "Sudah! Sudah! Jangan menekannya seperti itu. Aku tahu suasana hatimu sedang buruk. Seharusnya, kamu membawa kekasihmu ke sini. Kalau orang-orang melihatmu berbicara seperti itu dengannya, mereka pasti mengira kamu sedang menggodanya. Lagi pula, kekasihmu sedang hamil, bukan? Kasihan Mala jika kamu punya selingkuhan sehebat dia.” Kafka menyipitkan matanya dengan dingin ke arah Yana yang berdiri di tengah ruangan. Dia mengamati wajah Yana, datar dan dingin. Tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika Tuan Galih menyinggung soal kehamilan Mala Nasram. Yana benar-benar tetap tenang, seolah-olah tidak terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Kafka seketika merasakan kemarahan di hatinya! Wanita ini benar-benar kejam! Tidak punya perasaan sama sekali!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN