Merasa pria itu salah paham, Yana menjelaskan dengan nada percaya diri, "Aku tidak akan melakukan hal yang bodoh. Aku hanya ingin pergi ke tempat kerjaku dan mengambil barang-barangku yang tertinggal. Itu saja. Kalau kamu takut aku akan kabur atau melarikan diri, itu tidak akan terjadi."
Pria berpakaian hitam menautkan keningnya. "Kamu ingin pergi kemana? Katakan dengan jelas."
Yana menghela napas berat, lalu menjelaskan dengan sangat hati-hati, "Aku bekerja di klub malam Blue Diamond. Semua barangku tertinggal di sana ketika aku pingsan. Tanpa barang-barangku, aku akan kesulitan. KTP, ponsel, dan semua hal-hal penting ada di tas yang tertinggal di tempat itu. Kalau kamu mencurigaku, tolong telepon Tuan Bimantara agar bisa memberiku izin."
Pria itu tampak ragu sejenak, lalu berkata pelan sambil mengeluarkan ponselnya, "Baiklah, tunggu sebentar."
Yana menunggu pria itu menghubungi Kafka, tapi raut wajahnya terlihat sangat buruk. Setelah menutup sambungan, dia berkata lagi dengan nada dingin yang terdengar tidak menyenangkan, "Sayang sekali, ponsel Tuan tidak bisa tersambung. Sepertinya dia masih sibuk. Masalah barang-barangmu tertinggal, tidak bisakah kamu mengambilnya lain hari saja?"
Yana menjawab dengan nada sedikit kesal, "Itu tidak mungkin. Aku juga sangat membutuhkan ponselku. Ada banyak hal yang harus aku lakukan setelah tinggal di rumah sakit selama berminggu-minggu.”
“Bagaimana kalau aku mengantarmu ke sana?" tawar pria itu dengan nada tidak yakin.
Yana terkekeh sinis. "Seharusnya kamu menawarkan diri lebih cepat. Tidak masalah jika kamu tidak keberatan."
Setengah jam kemudian, Yana akhirnya tiba di klub Blue Diamond. Klub malam itu seharusnya buka 24 jam, tetapi pada pagi hari, pengunjungnya masih terbilang sangat sedikit.
"Tunggu di sini. Aku tidak akan lama," kata Yana kepada pria berpakaian hitam yang berdiri di depannya.
"Kamu tidak akan kabur, kan? Jika kamu berani kabur, maka Tuan Bimantara akan memberimu hukuman keras," tegur pria itu kejam.
Yana mencibir di dalam hati. "Hukuman apa yang akan Kafka berikan jika aku berani kabur? Apakah dia akan memotong kedua kakiku?"
Dengan tenang, Yana menjawab, "Aku sudah bilang, aku tidak akan melakukan hal bodoh. Tuan Bimantara tahu dengan jelas, aku tidak akan berani macam-macam."
Dengan sedikit kesal di wajahnya, Yana meninggalkan pria itu yang berdiri tegak di dekat pintu. Semua orang yang ada di sana memandangnya dengan tatapan ketakutan yang aneh.
Masa bodoh dengan perhatian mereka, Yana bergegas meninggalkan tempat itu dan segera menuju ruang ganti. Setelah mendapatkan tasnya dan mengisi daya pada ponselnya, dia memeriksa pesan untuk mengecek apa saja yang telah dilewatkannya. Benar saja, ada beberapa panggilan tidak terjawab dan juga pesan dari orang yang tidak dikenal.
“Ini pasti dari para penagih ayah lagi,” gumam Yana dengan perasaan kesal melihat tanggal pesan-pesan yang masuk.
Sepertinya itu sudah lewat beberapa minggu. Pesannya berhenti sehari setelah video rekaman ibunya yang memohon kepada Kafka diperlihatkan kepadanya. Yana menduga uang seratus miliar itu benar-benar digunakan sebaik mungkin oleh ibunya.
Duduk di sebuah bangku panjang, kedua bahunya melorot lesu. Beban di hatinya terasa sangat berat. Untuk sekarang, masalah keluarganya sudah berlalu. Namun, bagaimana selanjutnya? Ayahnya bukanlah orang yang sama seperti dulu lagi. Dia sudah melakukan banyak kesalahan berkali-kali sejak mereka jatuh miskin. Yana takut setelah Kafka memberikan pinjaman, ayahnya akan mendatanginya lagi, seolah-olah Kafka pernah menjadi menantu penting keluarga mereka, lalu meminta uang kepadanya.
Ketika Yana hendak keluar dari ruang ganti, tiba-tiba saja kedua bahunya didorong keras hingga dia mundur beberapa langkah.
“Lihatlah, ternyata kamu kembali juga! Aku pikir kamu tidak akan pernah memperlihatkan wajahmu lagi di tempat ini!”
Seorang wanita dengan tampilan yang sangat cantik dan seksi, tetapi dengan wajah yang judes, menatap tajam ke arah Yana.
“Karmila, apa-apaan kamu?” balas Yana kesal. Melirik beberapa wanita di sekitarnya ikut masuk ke ruangan.
“Hah, aku sudah mendengarnya. Setelah membuat Kafka Bimantara marah, kamu menghilang secara misterius, lalu muncul bersama seorang pria yang jadi sponsormu. Kamu pikir kamu siapa?” Karmila menjawab sinis, nada suaranya sangat merendahkan.
Yana mengerutkan keningnya bingung.
Apa maksudnya dengan sponsor? Apakah pengawal berpakaian hitam yang berdiri di depan pintu masuk?
“Aku tidak punya waktu untuk meladenimu. Tolong minggir. Aku ingin bertemu dengan manajer,” tegasnya kesal.
Karmila tertawa mengejek. “Oh, kamu ingin bertemu manajer? Kenapa? Ingin berhenti? Bukankah selama ini kamu berhasil mendapatkan banyak uang dari menjual minuman? Setelah mendapatkan pria kaya, kamu ingin berhenti? Kamu pikir bisa lepas tangan setelah membuat masalah di tempat ini?”
Yana mengepalkan tangannya erat. “Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan. Tolong minggir!”
Karmila tertawa terbahak-bahak, tetapi wajahnya sangat marah. “Aktingmu sungguh bagus. Pura-pura tidak tahu, ya? Jangan konyol. Semua orang tahu saat kamu membuat Tuan Bimantara marah. Kamu memberikan kami kesulitan lain di tempat ini. Mengerti?”
“Apa maksudmu? Tolong bicara yang jelas. Jangan setengah-setengah!” bentak Yana, mulai tidak sabar.
Karmila adalah karyawan di hubungan masyarakat yang sangat disegani oleh banyak orang. Namun, dia sombong, arogan, dan memiliki hati yang hitam. Sayangnya, karena kecantikan dan pesonanya, banyak orang yang menutup mata terhadap sifat buruknya itu.
Tidak heran jika dia bisa bersikap semena-mena seperti sekarang. Jarang ada yang ingin berurusan dengannya. Bagaimanapun, dia adalah bintang yang diandalkan oleh klub malam di mana mereka bekerja.
“Ada apa ini? Kenapa sangat berisik?” tegur suara wanita dewasa yang sangat berwibawa.
Beberapa wanita memberikan jalan kepada sosok yang baru muncul itu. Yana memucat, tidak bisa bergerak melihat kedatangan manajer mereka. Karmila yang semula terlihat galak dan kasar, tiba-tiba menjadi seperti kucing kecil yang penurut.
“Kakak Bella, lihatlah! Dia baru datang setelah membuat masalah. Tidakkah dia keterlaluan? Bagaimana mungkin dia bersikap semena-mena seperti itu?” ujar Karmila setengah merajuk.
Karmila berpura-pura sedih dan terluka, seolah-olah dia Yana baru saja memukulnya.
Manajer Bella menatap Yana dengan tatapan dalam dan penuh makna. Lalu, dia berkata, “Kenapa kamu di sini? Bukankah seharusnya kamu di rumah sakit?”
Yana terkejut mengetahui manajernya tahu tentang kondisinya. Apakah Kafka atau Ryan sempat memberitahu apa yang terjadi malam itu? Dengan tatapan bingung, Yana hendak menjawab pertanyaan itu, tetapi segera dipotong oleh sang manajer.
“Ikut aku, kita bicara di ruanganku. Yang lainnya segera bubar. Jika kalian ingin mendapatkan banyak uang, kerjalah dengan baik,” perintahnya dingin dan tegas.
Karmila segera memprotes, “Kak, apa maksudnya? Apakah kamu akan membiarkannya seperti itu saja? Setidaknya, beri dia hukuman!”
Manajer wanita berkata dengan dingin dan sedikit menakutkan, “Karmila, ketahuilah posisimu. Apa yang terjadi antara Yana Jazada dan Kafka Bimantara itu bukan urusanmu sama sekali. Paham?”
Dia melontarkan tatapan tajam sebelum beralih ke Yana. “Cepat, ikuti aku ke ruangan!”
Yana mengangguk patuh dan bergegas melewati kelompok wanita yang memandangnya dengan dingin dan penuh hinaan.
Karmila menatapnya dengan marah, mengepalkan tangan erat-erat. “Lihat saja nanti! Aku pasti akan memberinya pelajaran!”