Yana merasa ketakutan dengan sikap Kafka yang semakin gila dan agresif.
Dia terus menariknya menjauh dari Lucas yang mengerang kesakitan di lantai. Dia benar-benar tidak percaya bahwa mantan suaminya baru saja menendang dan menyakiti cinta pertamanya.
Dulu, Kafka tidak pernah sekasar ini. Bahkan, memukul lalat saja seperti tidak tega. Dia selalu lembut dan patuh. Namun, sekarang, Yana seperti melihat orang yang benar-benar berbeda.
Selama ditarik oleh Kafka, pikiran Yana melayang entah ke mana sambil meringis kesakitan oleh lukanya. Tiba-tiba saja, dirinya sudah dilempar ke dalam mobil. Sadar akan situasinya, Yana segera mencari jalan keluar, tetapi Kafka langsung mengunci pintunya menggunakan remot kecil yang ada di dalam mobil.
"Apa yang kamu lakukan? Buka pintunya, cepat!" seru Yana panik.
"Kenapa? Kamu masih ingin menemui dia?" Kafka menjawab dengan sinis, sorot matanya tajam.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan! Aku hanya kebetulan bertemu dengannya di lorong!"
"Hah! Kebetulan? Sungguh kebetulan yang luar biasa," ejek Kafka dingin.
"Aku mengatakan yang sebenarnya! Aku juga tidak menyangka kalau Lucas akan berada di rumah sakit itu! Sekarang, kamu malah menyakitinya. Apakah kamu masih manusia?"
Kafka mencibir, "Lucas adalah pria yang sudah menyakitimu. Kamu sungguh wanita yang bodoh jika ingin membelanya."
Yana tertawa sinis tidak percaya, "Kafka, apakah kamu tidak bercermin sama sekali? Bukankah kamu yang paling menyakitiku?"
Kafka terdiam, sorot matanya semakin dalam.
"Duduk," katanya dingin, suaranya penuh dengan ancaman yang tak terbantah. "Tidak ada gunanya melawan."
"Buka kuncinya. Aku masih harus beristirahat di rumah sakit."
"Benarkah?" Kafka mencibir lagi, matanya penuh ejekan. "Kalau kamu tahu seperti itu, kenapa kamu malah berkeliaran di lorong dan melakukan adegan mesra dengan cinta pertamamu?"
"Kafka Bimantara, cukup!" seru Yana, semakin tertekan. "Bagaimanapun aku menjelaskannya, kamu tidak akan pernah percaya, kan? Tolong, buka pintunya sekarang juga!"
"Duduk," Kafka mengulang perintahnya, lebih dingin kali ini. "Atau kamu akan menyesalinya.”
"Aku tidak mengerti apa yang kamu inginkan. Bukankah kamu membenciku? Kenapa kamu terus muncul dan menyiksaku? Tidakkah apa yang kamu lakukan kepada keluargaku sudah cukup? Aku juga sudah hampir mati gara-gara menuruti tantanganmu! Apa lagi yang kamu inginkan dariku? Apakah kalau aku mati, kamu baru benar-benar akan berhenti balas dendam?"
Kafka tersenyum misterius. Sorot matanya sangat mengejek. "Apakah kamu tahu kalau ibumu telah menjualmu kepadaku?"
Seperti tersambar petir di wajahnya, Yana tertegun kaget dalam diam. "Bohong. Jangan bicara sembarangan!"
Kafka tertawa terbahak-bahak, auranya dingin dan menakutkan. Tawa itu penuh intimidasi. "Kamu tidak percaya?”
“Tentu saja aku tidak percaya!"
Melihatnya keras kepala, Kafka segera mengeluarkan ponsel dan memutarkan sebuah video.
Yana tercengang!
Wajahnya dipenuhi ketidakpercayaan dan kebingungan.
Dii video itu, terlihat ibunya mendatangi lobi sebuah perusahaan dan berlutut di hadapan banyak orang. Sangat jelas kalau dka sedang memohon agar bisa bertemu dengan Kafka. Tidak lama kemudian, Kafka muncul dan ibu Yana segera memohon dengan sangat dramatis.
Wanita tua itu bersujud dan menangis sejadi-jadinya. Lalu, dia mulai memukulkan kepalanya berkali-kali ke lantai hingga berdarah. Mengoceh cepat seperti orang gila yang kesurupan.
“Kafka, aku mohon! Tolonglah kami sekali ini saja! Sebagai gantinya, aku akan memberikan Yana kepadamu! Terserah kamu mau apakan dia! Aku tidak peduli lagi! Suami dan putraku dalam masalah, mereka bisa mati kehilangan nyawa jika tidak segera ditolong! Aku mohon, Kafka! Tolonglah kami! Lupakan masa lalu sejenak! Anggap aku berhutang budi seumur hidup kepadamu!”
Yana menangis tanpa sadar. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Dengan tangan gemetar, dia menutupi mulutnya, tidak percaya bahwa apa yang dilihatnya adalah kenyataan.
Bagaimana bisa ibunya melakukan hal serendah itu di depan umum?
Video itu menghancurkan bayangan tentang ibunya yang mulia dan berwibawa. Hatinya sakit luar biasa. Semiskin apapun mereka, ibunya tidak mungkin melakukan itu. Tapi, sekarang?
"Bagaimana? Kamu dengar sendiri ucapan ibumu di video ini, bukan?" ujar Kafka dengan nada mengejek yang sangat jelas.
Dia membiarkan Yana meraih ponsel di tangannya dan kembali memutar ulang video pendek itu dengan raut wajah tidak percaya dan sangat terpukul.
"Tidak! Tidak mungkin! Ibuku tidak mungkin melakukan hal semacam ini! Dia bukan orang yang dengan mudah merendahkan dirinya di hadapan orang lain! Apalagi sampai bersujud seperti pengemis. Tidak. Tidak mungkin," ucap Yana dengan nada putus asa. Namun, air matanya terus mengalir tanpa henti karena bisa mengenali wajah ibunya dengan jelas di video itu.
Siapa yang tega merekam adegan ibunya dan membiarkannya terjadi?
Amarah membakar dalam dirinya, menatap langsung kepada pria di depannya. "Kamu pasti senang melihatnya seperti ini, kan? Kafka, kenapa kamu begitu kejam? Bagaimanapun, dulu, dia adalah ibu mertuamu! Kami memang dulu jahat kepadamu, tapi kamu…? Kamu lebih jahat daripada yang bisa dibayangkan oleh siapa pun!"
Suara Yana gemetar, penuh kemarahan dan rasa sakit.
Kata-katanya adalah refleksi dari luka mendalam yang dia rasakan sejak Kafka mengkhianatinya, dan tatapannya tidak bisa menyembunyikan kebencian luar biasa yang mulai muncul di matanya.
Kafka mengamati Yana dengan tatapan dingin, seolah amarah yang baru saja membara lenyap begitu saja.
"Seperti yang kamu katakan barusan. Itu dulu. Sekarang, dia bukan ibu mertuaku lagi. Jadi, kenapa aku harus peduli?" ucapnya acuh tak acuh, nadanya penuh kesombongan. "Jika bukan karena ancamannya untuk bunuh diri dan menyeret perusahaanku, aku tidak akan turun tangan untuk menolongnya. Sekarang, kalau kamu ingin keluar dari mobil ini, kembalikan 100 miliar yang kuberikan kepada ibumu."
Yana membeku.
Wajahnya tampak kebingungan dan terdiam.
"Apa? 100 miliar?" tanyanya dengan suara kecil, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kenapa ibuku bisa menerima uang sebanyak itu?"
“Menurutmu kenapa?” dengusnya dingin.
Perasaan geram dan marah mulai menguji kesabarannya dengan sikap semena-mena Kafka. Dia menggertakkan gigi, tangannya gemetar menahan keinginan untuk meninjunya.
"Kafka, kamu pasti merencanakan semua ini, bukan? Kamu yang membuat ayah dan kakakku bertengkar! Kamu sengaja melakukan ini! Sampai kapan kamu akan terus membalas dendam kepada keluargaku? Kenapa kamu tidak sekalian saja membunuh kami semua agar dendammu tuntas semua?"
Suara Yana semakin keras, penuh amarah dan keputusasaan. Air mata mengalir tanpa henti, berpadu dengan kebencian yang memancar dari matanya yang lesu dan suram.
Melihat sikap Yana yang penuh emosi, Kafka hanya menatapnya dingin.
"Jangan jadi orang yang tidak tahu berterima kasih," katanya dengan nada tajam. "Patuhlah dan jangan macam-macam. Karena sekarang kamu telah kubeli dari ibumu, belajarlah untuk mendengarkan majikanmu."
Yana terguncang mendengar kata-kata kejamnya. Tawanya pecah, setengah gila yang diiringi oleh air mata. "Yang berhutang kepadamu adalah ibuku, bukan aku! Kenapa aku harus menuruti perintahmu? Aku tidak mau! Cepat buka pintunya!"
Sayangnya, Kafka yang dipenuhi amarah, tiba-tiba maju dan mencengkeram leher Yana dengan kasar.
"Apa kamu sebegitu inginnya bertemu dengan cinta pertamamu? Kenapa? Kamu ingin meminta bantuannya, bukan?" Kafka mendesis, nadanya penuh kebencian.
Yana terkejut, tidak mengerti mengapa Kafka begitu marah.
Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah nyawanya yang berada di tangan mantan suaminya. Cengkeraman Kafka semakin kuat, membuatnya kesulitan bernapas. Matanya mulai berkunang-kunang, suaranya lirih saat berusaha memanggilnya, "Kafka... Kafka…."
Mendengar suara Yana yang semakin lemah, Kafka tersadar dan melepaskannya dengan kasar, meninggalkan Yana terengah-engah, memegang lehernya yang nyaris patah!.
Kafka menatapnya dengan ekspresi dingin yang tidak terbaca, sementara Yana berjuang mengendalikan batuknya sambil memegang lehernya yang masih terasa sakit.
Perasaan bingung dan ketidakpercayaan menyelimuti wanita berpakaian pasien. Kafka yang dulu dia kenal tidak pernah bersikap seperti ini. Pria itu seolah telah berubah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda: kejam, dingin, dan tak berperasaan. Benar-benar sangat iblis!
Sementara sopir yang duduk di kursi pengemudi tetap diam, tidak bereaksi terhadap apa yang baru saja terjadi. Seolah-olah sudah terbiasa dengan kekejaman Kafka, membuat Yana semakin tidak percaya bahwa ini adalah kenyataan baru yang sedang dihadapi olehnya.
Kenapa rasanya seperti berada dalam mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir?
Saat mobil mulai bergerak, Kafka memecah kesunyian dengan suara dinginnya. Memberikan penjelas yang tidak enak didengar tanpa menoleh ke arah wanita di sebelahnya.
“Ibumu memintaku melunasi semua hutang judi ayahmu. Dia juga memohon agar aku melepaskan kakakmu dari penjara dan membiayai pengobatan ayahmu di rumah sakit. Satu lagi, adikmu yang tersayang hampir dikeluarkan dari kampusnya karena masalah yang menjeratnya. Ibumu menjualmu demi mereka semua. Bukankah sekarang kamu sedikit lebih berguna daripada minum sebotol alkohol yang membahayakan nyawamu?”