“Kalau kamu sudah puas menghinaku, silakan keluar. Apa kamu tidak dengar kata dokter tadi? Aku masih harus beristirahat. Kalau aku mati dengan cepat, bukankah kamu tidak akan bisa menyiksaku lagi?” kata Yana dengan nada sangat dingin.
Tawa Kafka terhenti. Wajahnya kembali dingin dan tidak bisa ditebak.
Tiba-tiba saja, Kafka berdiri cepat dari duduknya dan mencubit dagu Yana hingga membuatnya kesakitan. Pria itu mendesis tepat di depan wajah sang wanita, “Kamu berani mengusirku?”
Yana tertawa dengan nada sedikit menantang. “Bukankah aku selalu mengusirmu?”
“Yana Jazada!”
Kekuatan tangan Kafka tidak main-main. Yana meringis kesakitan, berusaha untuk melepaskan diri. Namun, pria itu begitu kokoh, sulit untuk dilawan. “Kafka, sakit! Tolong lepaskan!”
Kafka tidak mendengarkannya. Sebaliknya, dia semakin mengencangkan cubitannya, mendekatkan wajahnya dengan sorot mata dingin yang menakutkan.
“Apakah kamu masih berharap Lucas Bayanaka kembali kepadamu? Begitu? Ataukah sekarang kamu memiliki selera unik untuk bermain dengan banyak pria? Katakan, berapa mereka membayarmu semalam?!”
Yana merasa hatinya seperti diiris dengan sembilu. Dia menatap sedih dan tidak percaya pada pria yang dulunya selalu bersikap lembut dan sangat sopan.
Siapa yang menduga sosok yang disukainya kini berubah menjadi iblis yang mengerikan?
Penampilan Kafka semakin tampan semenjak dia mengumumkan identitas aslinya sebagai pewaris yang hilang dari keluarga Bimantara. Namun, aura dingin yang menyelimutinya membuat semua orang merasa sesak napas dan tidak nyaman saat berada di dekatnya.
Dia seperti dari dunia lain, sulit untuk dijangkau.
Mungkin dia adalah definisi sejati sebagai pemimpin yang ditakuti oleh banyak orang.
Didorong oleh perasaan kecewa dan patah hati sekali lagi, ucapan Kafka memotong hatinya, membuat Yana merasa kehilangan akal dan membalasnya dengan suara dingin yang mengejek.
“Berapa yang mereka bayarkan untuk tidur denganku tidak ada hubungannya denganmu! Kenapa? Kamu juga tertarik untuk tidur denganku? Maaf, semua pria boleh tidur denganku, tapi tidak denganmu!”
Kafka seketika menggelap kejam, sorot matanya berubah sangat dalam. Bibirnya merapat erat menahan emosi yang membuncah di dadanya.
Tanpa peringatan, dia segera menciumnya dengan kasar, menggigit dan melumat bibir Yana seperti monster kelaparan yang rakus, membuat sang wanita terkejut dan meronta dengan perasaan takut luar biasa.
Walaupun Yana berusaha untuk menghentikannya, Kafka malah semakin menambah kekuatannya hingga wanita itu terengah-engah di bawah kuasanya. Ciumannya sangat liar, sangat panas!
Kepala Yana sampai pusing dibuatnya!
Sambil masih mengigit bibir bawah sang wanita, Kafka mendesis dingin dengan sorot mata gelap yang sangat menakutkan. “Coba katakan sekali lagi, lihat bagaimana aku akan menghancurkan tubuhmu sampai tidak bisa berjalan selama berhari-hari!”
Selama menikah, sejak malam terlarang itu, mereka tidak pernah melakukannya lagi.
Yana mengakui kehebatan Kafka dalam menahan diri dari godaan untuk tidak menyentuhnya.
Yana bukanlah wanita yang bodoh. Dia bisa melihat keinginan gelap di mata mantan suaminya. Mungkin dia sudah tidak tahan setelah berpura-pura menjadi pria suci selama mereka menikah dulu, makanya melampiaskannya sekarang untuk menghinanya lebih jauh.
Dia sangat tahu kelebihannya sebagai nona kaya yang memiliki penampilan menarik. Tubuhnya tinggi seperti seorang model dengan lekukan yang indah. Kulitnya putih dan halus seperti bayi.
Sangat aneh jika Kafka tidak memiliki pikiran kotor meski di hatinya ada cinta sejatinya. Tapi, kenapa baru sekarang? Kenapa dia baru mau menciumnya?
Yana terpukul dengan ciuman mereka barusan. Dia terdiam dengan tatapan hampa.
Di malam ketika mereka berdua menghabiskan waktu bersama untuk kali pertama, Yana bisa merasakan kekuatan Kafka yang luar biasa dalam menginginkannya.
Jika mau jujur, meski mereka berdua dalam pengaruh obat, Kafka melakukannya dengan sangat hebat dan luar biasa. Dia tidak tahu apakah Kafka sudah pernah melakukannya berkali-kali dengan wanita lain, ataukah dia adalah pria polos yang sangat berbakat.
Air mata Yana mengalir dalam diam. Bibirnya berdarah dan dia bisa merasakan bau karat memenuhi udara di sekitarnya.
Dengan penampilan menyedihkan, dia menatap nanar ke arah pria dingin yang mendengus kejam.
Saat sang pria berusaha melepaskan kuasanya, dia berkata dengan nada mengancam, "Kita lihat berapa lama kesombonganmu ini akan bertahan. Aku akan memastikan kamu sendiri yang akan menawarkan dirimu kepadaku."
Ancaman Kafka terasa sangat nyata.
Dia sudah merasakan kekejaman pria itu berkali-kali. ‘
Jika Kafka berkata demikian, maka hanya masalah waktu sampai keinginannya akan menjadi kenyataan. Tapi, dengan sisa waktunya yang sedikit, apakah dia bisa menyenangkan Kafka? Tanpa sadar, Yana melamun dengan hati sedih.
Dia memang membutuhkan uang dalam jumlah besar. Itu sebabnya dia dengan nekat menerima tantangan untuk minum satu botol penuh.
Apakah ini kesempatan terakhirnya untuk mendekati Kafka?
Mungkin tidak buruk jika akhirnya dia dicap sebagai mata duitan. Itu lebih baik daripada membiarkan pria yang membencinya tahu bahwa kondisinya jauh lebih menyedihkan dari yang terlihat.
Aura dingin dan penuh intimidasi tiba-tiba keluar dari sekujur tubuhnya. Kafka Bimantara tertegun kaget melihat ekspresi wanita di hadapannya. Sudah lama dia tidak melihat wajah cantiknya yang begitu sombong dan arogan.
"Benarkah? Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertaruh?" kata Yana dengan nada dingin yang meremehkan.
Kafka terkekeh, hampir gila menahan amarah yang membuncah di hatinya. "Kamu masih berani bersikap sombong seperti ini, Yana? Sepertinya kamu belum memahami kondisimu, ya? Hanya karena kamu masuk rumah sakit dan menjalani operasi beberapa jam, kamu pikir aku akan kasihan kepadamu? Mimpi! Kematian terlalu mudah bagimu. Aku akan memastikan hidupmu jauh lebih menderita mulai sekarang."
Yana gemetar ketakutan mendengar ucapan Kafka yang terdengar seperti auman serigala. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin dan suasana di sekitarnya terasa menyesakkan dadanya. Namun, demi mempertahankan harga dirinya, Yana menegakkan punggung sembari tersenyum sinis.
"Baiklah, kita lihat saja siapa pemenangnya, aku atau kamu. Siapa pun yang kalah, dia harus tunduk pada pemenang. Setuju?"
Kafka tertawa lebih gila mendengar keberanian Yana.
Wanita ini, yang baru saja ditemuinya setelah sekian lama, ternyata masih sama seperti dulu!
Dia berpikir bahwa dengan keterpurukannya, Yana sudah kehilangan sifat egois dan arogannya. Namun, ternyata semua itu hanyalah ilusi!
"Baik," balas Kafka dingin dengan senyum licik di bibirnya. "Aku tidak tahu permainan apa yang sedang kamu mainkan sekarang, Yana Jazada. Tapi, jangan harap kamu akan menang dariku.”
Kafka mengepalkan kedua tangannya, begitu kuat hingga melukai kulitnya sendiri. Amarahnya sudah memuncak.
Beraninya Yana berbicara seperti itu dan mempengaruhinya hingga sedalam ini! Dia tidak akan membiarkannya lebih jauh! Dia harus diberi pelajaran lebih keras lagi!
Wanita ini bukan hanya kejam, tapi juga tidak tahu malu!
"Tuan Bimantara sudah setuju. Tolong keluar sekarang. Aku tidak akan menerima kebaikanmu begitu saja. Biaya rumah sakit ini pasti akan aku ganti beserta bunganya. Karena bukan aku yang memintanya sejak awal, maka aku akan membayarnya sedikit demi sedikit. Jika tidak setuju, silakan laporkan saja aku ke polisi," kata Yana dengan tegas.
Kafka berang!
Amarahnya sudah seperti gunung berapi yang hendak meledak!
Matanya merah luas biasa! Seakan ingin mencabik Yana menjadi jutaan potongan!
Melihatnya sangat menakutkan, Yana gemetar diam-diam. Dia tetap menegakkan punggung layaknya seekor merak yang anggun.
Ketenangannya justru membuat Kafka semakin marah!
Sambil mengangguk pelan dengan makna dalam, Kafka berkata, "Baik. Jika itu yang kamu inginkan, aku akan lihat berapa lama kamu bisa bertahan dalam 24 jam ini."
Usai berkata demikian, pria bermantel hitam berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah-langkah cepat. Kedua bahu Yana merosot, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, dia meremas jantungnya, merasakan betapa besar ancaman dari pria itu hingga darah surut dari wajahnya!
Jika Kafka sudah bertekad, tak ada yang bisa menghentikannya.
Yana mencurigai bahwa Kafka mungkin sudah mengetahui masalah keluarganya. Namun, dia tak berani berpikiran lebih jauh. Lagi pula, jika dia meminta uang kepada Kafka, apakah pria itu akan memberikannya begitu saja? Tentu tidak. Terakhir kali Kafka menawarkan uang, nyawanya hampir melayang!