06-Meet Him

1901 Kata
Happy reading “Dia semakin gila, Thell,” ucap Kinna sedikit kesal pada Thella melalui telepon. “Gue dengar dari Reza, kalian semakin dekat,” suara Thella terdengar menggodanya dari seberang sana. “Apa?! Jadi lo sering berhubungan sama Reza?” Bukannya tergoda, gadis itu malah memekik kaget dengan pernyataan Thella. “Aishhh kenapa harus berteriak?! Memangnya kenapa?” tanya Thella sedikit kesal pada sahabatnya yang sering melarangnya berdekatan dengan Reza itu. “Dia playboy! Asal lo tahu, kemarin lusa gue liat dia pulang sama senior cewek kita. Nah, kemarin waktu gue ke mall, gue ketemu dia lagi jalan sama tiga cewek sekaligus. Dan hari ini, dia menggoda Lusi.” Kinna melirik Reza sekilas yang sedang ngobrol dengan Lusi—teman sekelasnya--. Dan dia sedikit berbisik pada Thella. “Lo itu apaan, sih? Gue kan cuma temenan sama Reza,” kilah Thella seadanya. “Lo baik-baik aja, kan?” suara Kinna terdengar khawatir. “Sebenarnya sedikit kecewa sih, tapi thanks ya udah mau kasih tahu gue. Gue sama Reza cuma teman, kok.” Thella tertawa kecil. “Kangen banget sama lo. Kapan balik?” tanya Kinna mengalihkan pembicaraan agar Thella tak semakin larut dalam rasa kecewanya. “Aduh, Kinna ... gue kan masih satu bulan di sini. Sabar, ya, cari teman lain gih biar gak kesepian,” ucap Thella meledek. “Gak ah, satu temen aja udah ribet kaya lo, apalagi lebih.” Thella tertawa mendengarnya. "Sial lo. Gini-gini gue juga bikin kangen, kan?” *** Kinna merasa dunianya sedang berputar normal saat ini karena ia tadi hanya sekali bertemu Bisma di kelas dan setelah itu Bisma membolos dari sekolah. “Andai besok bisa begini lagi ” gumamnya berjalan santai di trotoar. Tadi pagi Bisma menjemputnya, jadi ia tak membawa sepeda putih kesayangannya itu. Terpaksa ia akan pulang dengan bus. “Kinna.” Gadis itu menoleh saat merasa namanya dipanggil. “Kak Ilham.” Matanya berbinar melihat pria tampan, kakak kelasnya itu sedang berjalan ke arahnya. “Kita jarang ketemu di sekolah. Dan kalaupun ketemu, kamu seperti tak mengenalku, Kinna,” ungkap Ilham to the point setelah ia sudah ada di hadapan gadis itu. “Em ... Kak Ilham apa kabar?” tanyanya sembari tersenyum kikuk. Ilham menaikkan satu alisnya. “ Aku ... baik. Kamu?” Akhirnya Ilham memilih untuk mengikuti arah pembicaraan Kinna. Gadis itu menghindari pertanyaan pertamanya. “Baik juga, Kak.” “Hari ini kita pulang bareng, ya. Aku benar-benar gak ngerti aku salah apa sampai-sampai kamu menjauh,” ucap Ilham kemudian mengawali perjalanan mereka. “Kak Ilham. Gak ada yang salah. Aku sedang sibuk, Kak. Maaf,” ujar Kinna sedikit berbohong. Ya, Kinna tak mau dekat-dekat dengan Ilham karena ada Bisma yang selalu mengintainya di sekolah. Ia ingin pria tampan ini baik-baik saja. Flashback on Buku-buku ini benar-benar berat. Gerutu Kinna dalam hati. Setiap hari ia selalu berkutat pada benda tebal seperti ini. Ayolah... kenapa kelas terasa jauhhhh sekali! Brukk Sial! gadis ini menabrak seseorang dan beberapa bukunya jatuh. “Maaf,” ucapnya sambil memberesi bukunya yang berserakan. Pria yang ditabraknya itu berjongkok dan membantunya. “Lo gak apa-apa?” tanya pria itu. Kinna hanya menggeleng. Kalau saja Kinna tak menabraknya tadi, gadis ini takkan mau menjawab pertanyaan basa-basi ini, meskipun dengan gerakan kepala menggeleng seperti tadi. “Terima kasih,” ucapnya berdiri dan ingin berlalu, tapi pria itu menahan pergelangan tanggannya. “Gue Aldo,” ucapnya mengulurkan tangannya. Kinna kali ini kembali memasang wajah dinginnya. “Maaf, gue harus segera pergi,” ucapnya mulai melangkah. Tapi lagi-lagi pria ini berhasil menghentikan langkahnya. “Lo manis, siapa nama lo?” ucap Aldo sedikit menggoda. Kinna memutar bola matanya malas lantas menarik lengannya dari Aldo tapi pemuda itu semakin erat menahan lengannya. “Jangan menyentuhnya dengan tangan kotor lo!” ujar seseorang kemudian menepis tangan Aldo dari lengan Kinna. Aldo menatap Bisma datar. Jangan lupakan siapa Bisma di sekolah ini, dan jangan lupakan posisi Kinna sekarang di sekolah ini—di sisi Bisma. “Dia milikku,” ucap Bisma tajam. Aldo tersenyum sinis. Apa itu artinya ia tidak takut pada Bisma? Salah. Ia sangat takut ada di posisi ini ‘Apa ini gadis yang diklaim Bisma menjadi miliknya?’ batin Aldo menerka sesuatu yang memang sudah jelas. ‘Sial, gue harus berurusan sama anak ini.’ Tapi karena ramainya orang-orang disana membuat Aldo ‘mencoba’ tenang dan terlihat biasa saja. “Masih ada urusan dengan gadisku, Kakak senior?” tanya Bisma dengan senyum meledeknya setelah melirik atribut kelas yang pria itu kenakan di lengan kirinya—kelas 2. “Sampai jumpa, Manis,” ucap Aldo menatap Kinna dan sebenarnya tak sengaja mengucapkan kata ‘manis’ hanya untuk menutupi kegugupannya. “Berengsek,” umpat Bisma tak suka, lalu ia melangkah dengan langkah panjang mengejar Aldo yang sudah berbalik dan berjarak kurang dari 3 meter itu. Bughh Bisma membalik tubuh Aldo dan langsung menghadiahinya dengan pukulan telak di pelipis kanannya. “Ini buat lo yang udah nabrak cewek gue!!” Bugghh “Dan ini untuk panggilan menjijikkan tadi!!” Bugghhh “Dan ini sebagai tanda lo dikeluarin dari sekolah ini!!” Flashback off “Hey, kenapa melamun?” Lambaian tangan Ilham sukses membuyarkan lamunan Kinna. “Eh? Hehe, gak kok, Kak,” jawabnya malu. Lalu menggaruk tengkuk lehernya sebagai pelampiasan kegugupannya. “Pulang bareng, yuk?” ajak Ilham kemudian begitu saja menggandeng tangan gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Kinna hanya mengikuti langkah Ilham sambil menengok ke sana kemari untuk memastikan bahwa Bisma sedang tak melihatnya. *** Hari Sabtu, tadi sore Bisma tak mengantar Kinna pulang karena ia sangat sibuk dengan mempersiapkan acara ‘kencan’ pertamanya dengan gadis itu. Apa yang Bisma persiapkan? Tempat? Ia tinggal menyuruh orang dan dalam waktu yang Bisma tentukan, tempat itu sudah bisa dipakai. Pria ini sedang menata penampilannya.  Seorang hairstylist begitu cekatan menata rambut Bisma yang ketika begini, Bisma ingin begitu, dan saat begitu, Bisma ingin yang lain dan begitu terus sampai terulang beberapa kali. Rangga dan Reza hanya menyumbang tawa dan ledekan di sana. “Bagaimana dengan ini, Tuan muda?” Seorang ahli fashion datang dengan sebuah kemeja hitam lengan panjang dan jas abu di tangannya, memperlihatkan hasil rancangan kebanggaannya pada Bisma. “Gimana, Za?” Bisma meminta pendapat Reza, selaku tutornya dalam kegiatan ini. “Bagus,” komentar Reza yang sebenarnya tak tertarik berkomentar. Tak penting. “Oke,” jawab Bisma. “Ambilkan sepatu hitamnya tadi,” perintah ahli fashion itu kepada anak buahnya. Dan jika dijumlah, di ruangan—kamar Bisma itu ada enam orang selain Rangga, Reza dan Bisma sendiri. “Lalu tempatnya—" “Di pinggir pantai,” jawab Bisma memotong pertanyaan Reza. “Bagus.” *** Mobil sedan keluaran terbaru beserta sopir dan tuan mudanya itu sudah berparkir cantik di pinggir jalan sebuah kompleks perumahan sederhana. Dan sebuah mobil lain yang berhenti tak jauh dari mobil itu. Mereka sedang mengawal tuan mudanya dari jarak jauh. Bisma keluar dari mobilnya dan bersandar pada pintu mobil saat menunggu gadis yang akhir-akhir ini membuat hatinya berantakan yang biasanya akan keluar dari gang sempit di depannya itu ketika ia sudah menunggu. Pergi dengan mobil mewahnya. Bisma sudah mengikuti saran pertama Reza. Tak sampai lima menit menunggu, gadis dingin itu teraih oleh indra penglihatannya. Tatapan tajam itu masih tersemat pada gadis itu. Oh gila. Bisma tak salah lihat? Ia melihat Kinna yang berjalan ke arahnya dengan kaos putih lengan pendek yang pas pada badannya dengan sedikit corak berwarna biru dan celana jeans panjangnya. Dia akan berkencan dengan gadis yang sama sekali tak mempedulikan penampilannya? Jangan pernah bertanya berapa lama Bisma mematut dirinya untuk malam ini. Bisma membuang pikirannya itu jauh-jauh. Pakaian Kinna tak penting. Kinna-lah yang paling penting di sini. “Hai! Kamu begitu menarik malam ini, Kinna,” ucap Bisma tulus saat Kinna sudah berada tepat di depannya. “Cih, lo kira gue magnet? Jangan menggombal, lo tahu, lo gak punya bakat untuk itu.” Kinna mencibir tak tertarik. Bisma meruntuk dalam hati. Kenapa ia tak mendengar ucapan Reza? Bisma hanya perlu mengatakan bahwa ‘Kau cantik, Killa.’ bukan menarik. Tapi, positifnya adalah Bisma tak bisa berbohong pada gadis ini. Dia memang tak cantik malam ini... tapi—tetap menarik di mata Bisma. “Ayo pergi.” Kinna terlebih dahulu masuk ke Cadillac cts-v Wagon milik Bisma karena melihat Bisma yang tak bersuara. Bisma melupakan sesuatu, seharusnya ia membukakan pintu mobil untuk gadis itu, bukan?  “Kenapa jadi begini?” Bisma menggaruk tengkuk lehernya yang tiba-tiba gatal lalu ikut masuk ke dalam mobil. “Bau apa ini? Bunga mawar?” tanya Kinna sebelum mobil dilajukan. “Apa?” tanya Bisma memastikan. “Baunya tidak enak,” ucap Kinna mengibaskan tangannya di depan hidung. "Itu mungkin." Bisma menunjuk ke luar jendela sebelah Kinna. Saat Kinna menoleh, Bisma meraih buket bunga mawar di belakangnya dan tanpa sepengetahuan gadis ini, Bisma membuangnya melalui jendela. "Apanya?" tanya Kinna yang tak menemukan apa pun yang Bisma maksud. “Kenapa dengan bunga mawar?” tanya Bisma menahan tangan gadis itu yang sedang mengusap hidungnya yang sedikit memerah agar tak semakin merah. “Gue gak suka bunga mawar. Gue alergi sama baunya. Sarinya juga membuat gue gatal-gatal,” ucap Kinna jujur dan kembali mengusap hidungnya yang gatal. Bisma segera kembali meraih tangan Kinna agar tak menggosok hidungnya sendiri. Ia sebenarnya tahu gadis ini tak suka bunga, tapi tadi Reza yang keras kepala mengatakan bahwa semua wanita pasti menyukainya. Sekarang Bisma paham satu hal, daripada siapa pun, Bisma yang lebih mengenal Kinna. Seharusnya ia tak meminta pendapat seseorang untuk menyenangkan gadis ini. Bisma merasa bisa mengatasinya sendiri. “Maaf,” ucap Bisma. Kinna menatapnya karena tak terlalu jelas mendengar ucapan Bisma. “Apa?” Kinna meminta Bisma mengulangi ucapannya. Ia menarik satu tangannya dari Bisma dan lebih pelan menggosok hidungnya yang masih sedikit meninggalkan rasa gatal. “Paman, jalankan mobilnya,” suruh Bisma tanpa menjawab Kinna. “Bagaimana hidungmu? Masih gatal? Kita ke rumah sakit, ya?” Bisma mendekatlan wajahnya untuk melihat lebih jeli hidung Kinna yang memerah. “Ei? Gue baik-baik aja. Gak usah khawatir. Ini udah lebih baik,” jawab Kinna sambil menunjukkan deretan giginya. “Lo rapi banget, Bis,” ucap Kinna kemudian. Bisma tersenyum. “Ini malam yang istimewa untukku, Killa.” “Maksud lo? Lo ulang tahun hari ini? Ah tidak, ulang tahun lo kan November kemarin.” Kinna menerka sendiri. “Kamu tahu hari ulang tahunku?” tanya Bisma senang. “Hey, jangan gila. Lo lupa apa yang terjadi hari itu?!” Kinna menatapnya garang. Bisma tertawa mengingat apa yang Kinna maksud. Flashback on “Kenapa gue harus ikut lo?” Kinna menepis tangan Bisma yang saling menyatu di depannya seperti memohon padanya. “Hari ini hari ulang tahunku.” “Lalu apa hubungannya sama gue?” “Killa, ini adalah tahun pertamaku bersamamu. Jadi aku akan menghabiskan malam ini berdua hanya denganmu.” Bisma duduk di atas meja Kinna. “Heh lo pikir gue peduli?” “Mau gak mau kamu harus peduli. Karena aku sudah menolak ajakan Papi untuk merayakannya di kapal pesiar demi untuk bisa menghabiskan malam ini denganmu.” “Kapal pesiar? Yang benar aja lo menolaknya.” Kinna memalingkan wajahnya. “Ya. Karena lo kita tidak jadi bersenang-senang di atas kapal kebanggaan itu,” sahut Rangga sewot. “jadqi kalian nyalahin gue!?” Kinna menatap tak suka pada Reza dan Rangga lalu berakhir ke Bisma. “Aku tunggu nanti malam di gang biasa jam enam, Killa. Jangan lupa. Ayo pergi,” ucap Bisma dan tanpa mau mendengar apa pun lagi dari Kinna, pria 165 itu pergi dari kelas bersama dua sekutunya. Flashback off “Kamu mengingatnya dengan baik,” komentar Bisma kemudian. Kinna tak menanggapi. “Kamu suka pantai?” tanya Bisma. Ia ingin memastikan bahwa Kinna akan baik-baik saja saat ia mengajaknya ke pantai nanti. Bisma takut ia belum benar-benar mengenal gadis ini. “Lo mau ngajak gue ke pantai?” Kinna menatap Bisma datar. "Malam-malam begini?" Bisma menelan salivanya saat ia mendapat tatapan itu lagi. Tatapan yang sama saat Kinna dulu menghakiminya karena telah menyabotase ruang penyiaran. “Ti-tidak kalau kamu gak suka pantai.” Bisma mengalihkan pandangannya. “Gue ikut aja sama lo. Terserah lo mau bawa gue ke mana. Gue ingin bersenang-senang hari ini. Gue terlalu lelah kemarin-kemarin,” ucap Kinna menyandarkan punggungnya. “Oke, kita ke pantai.” Sebenarnya Bisma ingin sekali bertanya tentang kalimat terakhir yang terlontar dari gadis itu, tapi tatapan lemah Kinna membuatnya harus rela menelan rasa penasannya bulat-bulat. Malam ini Bisma akan membuat gadis itu terkesan padanya. Tak ada paksaan Bisma! “Tapi ...,” Kinna menambahi, “Bagaimana kalau kita ke rumah pohon?” Kinna kembali menatap Bisma. “Tapi aku sudah menyiapkan tempat untuk ... oh baiklah. Kita ke hutan, Paman,” ucap Bisma memberi intruksi pada Paman Dani. “Baik, Tuan muda.” “Ada yang kamu pikirkan?” Bisma menatap gadis itu mulai serius. “Tidak.” “Iya.” “Gue ingin menenangkan diri. Jadi berhentilah mengoceh.” Kinna memukul bahu pria itu mengintruksi. “Tapi besok kamu harus sudah mengatakannya padaku.” “Tidak ada janji di sini.” “Bocah ini!” geramnya sedikit gemas dan mengacak poni tipis Kinna. Selamat pagi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN