07-More Than Expected

1546 Kata
Happy reading Malam ini Ilham dan Thella terlibat percakapan via telepon dengan serunya. Mereka bercanda ini itu selama kurang lebih sudah dua jam. Sampai akhirnya pertanyaan Ilham yang satu ini membuat Thella terdiam. "Thella. Hey, kenapa diam?" Ilham memanggil adiknya yang tak kunjung menjawab. "Eh? Iya, Kak, apa tadi?" Thella mengerjapkan matanya beberapa kali. "Kakak tadi tanya, sejak kakak pulang dari Canada, Kinna seperti menghindar sama kakak gitu. Kamu tahu kenapa?" ulang Ilham. Thella meremas jemarinya sendiri, memikirkan jawaban apa yang harus diberikan pada kakaknya. "Tadi kakak sih bisa pulang bareng, itu pun tadi kakak gak sengaja ketemu dia." Sebelum Thella menjawab, Ilham kembali memberi tahu adiknya dengan tawa kecil. "Apa?!" jawab Thella seperti tak percaya. 'Bagaimana bisa Kinna lepas dari pengawalnya itu?' "Ada apa? Kamu kenapa kaget gitu?" "Hehe, gak, Kak. Thella ngantuk mau tidur, Kak. Good night," ucapnya kemudian memutus sambungan telepon secara sepihak. "Gimana ini? Kak Ilham sebentar lagi pasti bakal tahu semuanya. Dia pasti kecewa banget. Dia kan suka sama Kinna," gumam Thella dalam hati dan terlihat gusar. Beruntung Ilham sangat sibuk di sekolah karena dia menjabat sebagai ketua OSIS dan ikut beberapa ekstrakurikuler seperti musik, renang dan bela diri. Jadi ia jarang sekali tahu keadaan yang sedang panas, apalagi pada juniornya. Ia juga belum tahu tentang status Kinna yang diklaim secara sepihak oleh Bisma. *** "Semangatmu main basket membuatku curiga." Bisma duduk di akar pohon sembari memperhatikan Kinna yang sedang semangat membawa bola ke sana kemari itu. "Lo gak mau main? Ini menyenangkan, Bisma," ucap Kinna tanpa bermaksud membahas lebih lanjut tanggapan Bisma tadi. "Menyenangkan? Bahkan bola yang kamu lempar belum ada yang masuk satu pun," ledek Bisma ikut ke tengah lapangan. "Gue emang gak bisa bermain basket!" balas gadis itu melempar bolanya ke Bisma dengan jengkel. "Gini aja gak bisa." Dengan sekali lempar, bola itu masuk ke dalam ring melalui tangan Bisma. "Lo kapten tim basket, Tuan Karisma!" kata Kinna kesal karena diremehkan. Bisma menarik pergelangan tangan gadis itu. "Tanganmu cukup bagus untuk bisa belajar main basket, Killa." "Ish! Gak mau. Gue cuma mau cari alasan, Bodoh. Sebenarnya lo tahu kenapa gue ngajak lo ke sini, tapi lo cuma pura-pura memancing gue, kan?!" "Mainlah lagi." Bisma mengambil bolanya yang tadi jatuh ke tanah tanpa ada yang mengambil dan melemparnya ke Kinna. Kinna sudah tak ingin mendebat Bisma lagi. Ia ingin meluapkan semuanya melalui permainan basket ini, walau ia tak bisa bermain basket. Setidaknya ia bisa lega setelah ini, seperti saat pertama kali Bisma mengenalkan olahraga kebanggaannya ini pada Kinna. Rutinitas barunya dua minggu ini membuat Kinna benar-benar butuh hiburan. Setiap malam ia selalu tidur larut dan mengahbiskan waktunya untuk belajar. Di sekolah bahkan ia sangat terlihat lebih tak peduli lagi pada orang lain, walau nyatanya Bisma selalu ada di sebelahnya karena ia selalu sibuk dengan tumpukan buku tebalnya. Namun Bisma tetap selalu memastikan Kinna makan dengan baik di sekolah. Bisma hanya mampu jadi penonton di sini. Membiarkan gadis itu bermain sesukanya. Berlari ke sana-kemari meluapkan apa yang sedang dipikulnya. Ia hanya berdiri di tengah lapangan dengan kedua tangan yang terlipat di atas perutnya. Udara begitu dingin, Bisma melirik jas abu-abu yang tadi ia kenakan tersampir rapi di tangga rumah pohon, bersebelahan dengan jaket Kinna. Apa gadis itu tidak merasa kedinginan? Ia saja yang menggunakan kemeja panjang merasa dingin. Kinna yang hanya memakai kaos rumahannya itu terlihat sedikit kesal akhirnya karena tak ada bola yang masuk ke ring. "Kenapa ada hal yang tidak bisa gue lakukan di dunia ini selain menyelamatkan Mama dari Papa?" gumamnya pelan. Bisma pun tak dapat mendengarnya karena jarak mereka sedikit jauh. Mata Bisma memicing tajam saat melihat ekspresi Kinna yang samar-samar dari belakang. Ia sedikit memiringkan kepalanya. 'Kenapa dia?' Kinna menatap serius ring di depannya. Mendrible bola dengan fokus penuh. "Sekali lagi. Ini penentuan. Kalau ini gak masuk, jangan harap lo bisa mendapatkan beasiswa itu, Kinna," ucapnya pada dirinya sendiri. "Gue bisa mengalahkan Bisma." Ia membangun semangatnya sebelum benar-benar melempar bola. Suara papan yang terbentur bola itu membuatkanya lebih menajamkan mata. Dan... "Sial. Gue gak bisa melakukannya." Ia meremas ujung bajunya sendiri. Lantas mengambil bolanya yang sempat berhenti menggelinding. "Sekali lagi, Kinna," ucapnya kembali menyemangati diri sendiri. Oh tidak, kenapa matanya memanas? Jangan bilang ia akan menangis di sini. Bisma tak boleh mendapati dirinya lemah dan cemgeng. "Gue gak akan menangis," desisnya kembali mendrible bola serius. "Ini harus masuk, demi Mama, demi masa depanku, demi..." Sreetttt! Sebelum ia melempar bola, sebuah tangan menarik lengannya berbalik dan sedetik kemuadian, ia sudah ada di d**a Bisma. "Lepasin gue!" ucapnya menolak pelukan Bisma. Setetes liquid itu akhirnya jatuh juga membasahi kemeja hitam Bisma. Bisma memeluknya lebih erat tanpa mengucapkan apa pun. Air mata ini sudah tak tertahan lagi. Masa bodo dengan Bisma yang setelah ini akan mengatainya cengeng. Ia butuh sandaran untuk meluapkan semuanya. Kinna menangis tersedu di dekapan Bisma. Kedua tangannya meremas kemeja Bisma di bagian pinggang untuk meluapkan rasa sesak di dadanya. Bisma tak bertanya apa pun, ia hanya mengusap helaian rambut Kinna yang tergerai dan tertiup angin dengan lembut agar perasaan gadis itu lebih tenang. Ia membiarkan keadaan di antara mereka tetap seperti itu. Lima belas menit telah berlalu, Kinna yang sudah tidak menangis perlahan mengangkat wajahnya dari d**a Bisma. Wajahnya pucat dan sendu. Bisma meraih kedua sisi wajah Kinna dan mengusap sisa air mata di kedua pipi Kinna dengan sayang. "Aku ingin pulang," lirih Kinna begitu pelan. Bisma mengangguk, pria itu berjalan mengambil jaket Kinna dan jasnya kemudian membantu Kinna memakai jaketnya. Bisma juga memaksa Kinna memakai jasnya agar tidak kedinginan. Gadis itu tampak sangat imut ketika memakai jas yang sangat kebesaran untuk tubuh mungilnya. Bisma meraih jemari Kinna dan membawanya keluar dari lapangan basket menuju mobil yang terparkir sedikit jauh dari sana. *** Bisma tak bisa tidur malam ini. Pikirannya selalu tertuju pada Kinna, gadis yang tadi menangis selama lima belas menit di dekapannya. Rasa penasaran dan rasa khawatir itu menjadi satu mengganggu benaknya. Setelah Kinna melepas pelukan Bisma, gadis itu sudah tak bicara apa-apa lagi kecuali ia ingin pulang. "Aku hampir melupakannya," gumam Bisma saat teringat tujuannya mengajak gadis itu berkencan. Tutorial yang diberikan Reza tak ada yang berjalan dengan baik di sini. Mulai dari ia yang pergi dengan sopir dan pengawalan bodyguard-bodyguardnya, ucapan 'Kamu menarik'. Kinna yang masuk begitu saja ke mobil tanpa ia yang membukakan pintu, bunga mawarnya yang berakhir menyedihkan. Mengubah haluan mereka dari di pantai yang memiliki kesan romantis ke tempat yang sepi dan di tengah hutan, sampai akhirnya ia tak punya kesempatan untuk menyatakan perasaannya pada gadis itu. Tapi yang paling membuatnya senang malam ini adalah saat ia meminta Kinna menghilangkan panggilan lo gue di antara mereka dan Kinna mengangguk sebagai tanda mengerti. Terbukti saat tadi Kinna keluar dari mobilnya dan mengatakan "Terima kasih, aku masuk dulu." Bisma tak sabar untuk mendengar Kinna menggunakan panggilan aku kamu besok saat berjumpa. "Aku melihat sisi lain dari dirimu, you're very interesting. More than expected tonight, Ice Girl Killa," gumamnya kemudian keluar dari kamar mandi. Ya, Bisma merasa ia mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang ia harapkan malam ini. *** Baru saja Kinna duduk di kursinya, Reza dan Rangga langsung menghampirinya. Kinna menatapnya kesal. Ayolah... ini masih pagi. Kalau mau mengganggu, nanti siang saja! pikirnya. "Ceritakan sama kita," ucap Rangga yang sudah duduk di sebelah Kinna dan Reza di depannya. "Apa?" tanya Kinna bingung dan tak berminat. "Tadi malam." Reza menaik turunkan alisnya. "Kalian ngomongin apa, sih?" Kinna ingin beranjak, tapi bel masuk berbunyi. Memaksanya kembali duduk dan melihat Rangga juga Reza yang nyengir menang bersamaan. "Hari ini Bisma akan sengaja telat biar kita penasaran. Jadi kita mau tanya aja sama lo," ucap Reza. Kinna mengangguk mengerti sekarang. "Gak ada yang aneh tadi malam," ucap Kinna sembari mengambil bukunya dan mulai belajar sebelum pelajaran di mulai. "Mana mungkin!" ucap Rangga dan Reza bersamaan dan mampu menyita perhatian dari teman-teman sekelas mereka. "Pergi sana. Kalian mengganggu," ucap Kinna dingin. Bisa hancur harga dirinya jika mereka tahu Kinna semalam menangis di pelukan Bisma. "Hey hey. Hasil tes kemarin sudah keluar!" ucap salah seorang murid dari ambang pintu dan kemudian disambut meriah semuanya. Mereka berhambur keluar kelas, tak terkecuali Kinna, Rangga juga Reza. Mereka memenuhi tempat di depan beberapa papan pengumuman di koridor. Kinna menggigit bibir bawahnya menunggu tempat itu sedikit sepi. Perasaannya sangat cemas. "Semoga usahaku selama ini membuahkan hasil," ucapnya penuh harap dan cemas. "Dia memang hebat. Rankingnya tak pernah bergeser," ucap seorang wanita pada temannya saat keluar dari kerumunan itu. "Gue gak akan pernah nyesel jadi fans beratnya." Kepala Kinna serasa berputar cepat, ia tahu maksudnya. Bisma kembali menjadi yang ranking satu. "Wahhh, Kinna selamat!! Lo masih di rangking dua!! Pertahanin, ya!!" Reza menjabat tangan gadis itu sepihak dan terlihat sangat bangga. "Apa? Pertahanin?" ulang Kinna sambil menggeleng tak habis pikir dan menatap tajam Reza. "Eh? Ada apa sama lo?" tanya Reza begitu ciut menerima tatapan membunuh itu. Pertahankan? Itu berarti ia tak akan bisa mengalahkan Bisma di rangking satu? Begitu maksudnya? Kinna terlalu sensitif saat ini ternyata. Kinna membalik badannya dan segera pergi dari tempat itu tanpa peduli Reza memanggil-manggilnya. *** Bisma masuk ke kelasnya saat pergantian jam kelima. Dan ia kembali pergi lagi saat tak menemukan Kinna di tempatnya, apalagi saat Reza menceritakan yang terjadi tadi pagi. Ia memjadi cemas. *** "Gue gak mau ke China." Kinna menangis tersendu di halaman belakang sekolah. Sebenarnya Kinna sering menyendiri di atap sekolah, di lantai lima dengan bangunan yang belum selesai dibangun. Tapi karena Bisma sering mengganggunya di sana, jadi ia mencari tempat baru. Tes kemarin adalah tes persiapan untuk menghadapi ujian kenaikan kelas dua bulan lagi. Tapi tetap saja, ia sudah belajar siang malam untuk mendapat hasil yang terbaik bukan yang lebih baik, untuk menjadi juara paralel. Tapi ... hasilnya sama, ia masih kalah dengan Bisma. Haruskah pria itu dilenyapkan dulu? "Harus sekeras apa lagi gue belajar?" lirihnya frustrasi. Selamat pagi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN