05-I Want Her

2149 Kata
Happy reading Hari-hari di sekolah terasa begitu aneh bagi Kinna saat tidak ada Thella di dekatnya. Karena Thella mengikuti program pertukaran siswa antar kota di sekolah. Dan untuk 3 bulan ini, Kinna harus benar-benar sendiri. Ralat, masih ada Bisma yang akan setia mengganggunya. Ia tak punya teman selain Thella di sini, dan tak ingin punya teman lain di sekolah ini. Kinna mengaduk minumannya pelan, gadis itu kembali melamun dengan buku terbuka di tangannya. Tapi ia sama sekali tak membacanya. Ia masih memikirkan percakapannya dengan sang ibu kemarin karena hal itu sangat mengganggunya. "Mama sudah memberikan semuanya pada papamu. Jadi, kamu harus pergi ke China untuk melanjutkan study-mu. Di sana semuanya akan dibiayai kakakmu, Rafe." "Tapi kenapa harus ke China, Ma? Kinna masih bisa sekolah di sini." "Tidak, Sayang, mungkin mama hanya bisa membiayai kamu sampai kenaikan kelas nanti. Rafe tidak ingin mengirim uangnya ke sini. Dia hanya mau membiayai sekolahmu jika kamu ikut dengannya." "Tapi, Ma—" "Sayang, mengertilah. Mama tidak ingin pendidikanmu terbengkalai." "Kinna masih punya waktu sampai kenaikan kelas nanti, kan. Jadi Kinna akan berusaha mendapat beasiswa itu, Ma." "Tapi jika kamu tidak mendapatkannya, kamu harus berjanji, kamu mau ikut kakakmu ke China untuk melanjutkan pendidikan di sana." Mengejar beasiswa di sekolah ini, sama saja harus mengalahkan si otak 165 itu. Hanya ada satu beasiswa di sini, yaitu untuk siswa yang mendapat ranking 1. Tentu saja Bisma tak mengambil beasiswa itu. Dia adalah anak orang kaya yang juga donatur sekolah. Jadi, mungkin bisa beasiswa itu dialihkan ke peringkat kedua. Kinna menghela napas kesal mengingat Thella yang menggelang saat dia bertanya seperti itu. "Tidak bisa, Kinna. Aku sudah bicara pada Pak Budi." Kinna pun sudah menemui Pak Budi selaku wali kelasnya tapi pria berusia 36 tahun itu hanya memberinya motivasi agar ia bisa mendapat peringkat 1. Kebijakan sekolah yang satu itu tak bisa diganggu gugat karena aturan itu diresmikan langsung oleh ayah Bisma agar putranya mendapat pesaing yang benar-benar cerdas. Selama ini Kinna selalu mendapat peringkat 2 setelah Bisma. Tapi mungkin dengan sedikit usaha lagi, dia bisa mendapat peringkat itu. Tak ada hal instan di dunia ini. "Gue harus bisa. Gue gak mau ke China dan tinggal sama Kak Rafe. Gue gak sudi," desisnya dengan ekspresi jijik. Rafael Tanubrata adalah kakak kandung dari Kinna. Pria itu pergi ke China setelah membawa beberapa aset penting milik mamanya untuk membuka perusahaan di China. Dia berpikir akan menyelamatkan beberapa milik mamanya dari papanya dengan cara itu. Dan sekarang, pria sipit itu sudah menjadi orang sukses di China. Tapi apa yang Kinna pikirkan tentang kakaknya itu? Pergi dari rumah dengan mencuri aset-aset penting milik sang mama dan meninggalkan semua masalah yang disebabkan oleh papanya untuknya dan untuk mamanya sendiri. Sampai sekarang, Kinna sangat membenci kakak kandungnya itu. Sejak kepergian Rafe, mereka sudah tak pernah berhubungan. Hanya mamanya yang sesekali menghubungi Rafe. Sista-mamanya- sudah sering memberi penjelasan pada Kinna tapi gadis itu tak peduli sebelum Rafe secara langsung meminta maaf pada mamanya dan membuat hidup mereka lebih baik. Dan jangan lupakan pria yang sedang disukai gadis itu. "Aku tidak ingin jauh lagi sama Kak Ilham." Ia menatap ke arah meja kantin yang lumayan jauh darinya, Ilham sedang seru mengobrol bersama teman-temannya. 'Senyumnya, kekuatanku setiap harinya.' "Dia hanya memanfaatkan Bisma." Suara yang terdengar sengaja menyindir itu membuatnya sadar pada realita. Ia menatap tiga orang gadis yang ada di meja seberang sekilas. Ia tidak terlalu peduli. Sejak Kinna mengenal Bisma, suara-suara gila itu sering didengarnya. Sudah sekitar hampir 1 tahun. Padahal ia tak pernah merasa punya hubungan yang spesial dengan Bisma, tapi fans Bisma begitu banyak dan hampir semuanya tak menyukai Kinna karena Bisma sering memperhatikan gadis itu. "Dia sama sekali tidak cantik," cetus yang lain sinis. Kinna tertawa dalam hati. "Jadi... apa yang mereka iri kan dari gadis yang sama sekali tidak cantik ini?" gumam Kinna untuk menghibur dirinya sendiri. Andaikan boleh memilih, Kinna ingin sama sekali tak kenal dengan si otak 165 itu.  "Gue gak habis pikir sama Killa. Bisa-bisanya dia masih nolak gue setelah sekian lama gue mengejarnya," gerutu Bisma pada Rangga dan Reza saat mereka berkumpul di rumah Reza. "Lo terlalu kasar, Bis," jawab Rangga dan matanya masih fokus pada layar televisi. "Maksud lo?" tanya Bisma tak mengerti. "Tanya Reza. Dia ahlinya dalam menakhlukkan wanita." Rangga melirik Reza sekilas. Kali ini Bisma menatap Reza. "Apa?" tanya Reza pura-pura cuek. "Ayolah, Za, kita udah lama berteman." Bisma duduk di sebelah Reza dan merangkul bahunya sok akrab. "Berikan miniatur kota Paris itu." Reza memberi syarat. "Apa?! Itu cuma ada 3 di dunia. Yang lain." Bisma menawar. "Ya udah," balas Reza pura-pura tak peduli. "Oke oke. Deal." Bisma menjabat tangan Reza dengan berat hati. "Good decision, Boy," ucap Reza dengan puas. "Lo gila, Bis!" ucap Rangga pelan seraya menoleh ke arah mereka. "Apa lo gak akan nyesel kasih miniatur itu hanya demi mendapatkan seorang gadis?" Rangga bergabung dengan kedua temannya. "Killa udah seperti zat adiktif buat gue, obsesi gue buat dapetin dia udah ada di puncaknya. Jadi... ya udahlah," ucap Bisma tersenyum kecil. Berat juga sebenarnya harus memberikan miniatur kota Paris dengan detailnya yang hampir sempurna. Itu kado ulang tahun dari papinya, Morgan, saat ia ulang tahun ke lima belas. "Lo cuma penasaran, Bis. Karena cuma Kinna yang pernah nolak lo. Dan setelah lo dapatin dia, semua akan berakhir, Bisma. Rasa ketertarikan itu akan dengan sekejap mata hilang." Rangga memberikan Bisma sedikit ceramah. Bisma tersenyum santai menanggapi kekhawatiran sahabatnya itu. "Gak masalah. Itu kita pikirkan nanti. Ya udah, Za, gimana?" tanya Bisma kembali menatap Reza. "Benar kata Rangga tadi, lo terlalu bermain kasar sama Killa, Bis." Reza meletakkan ponselnya dan mulai fokus pada Bisma karena iming-iming miniatur kota Paris. "Panggil dia dengan benar!" sentak Bisma tak terima karena Reza memanggil Kinna dengan sebutan Killa-panggilan spesial untuk gadis itu dari Bisma. "Hh, oke. Kinna!" jawab Reza mengalah. "Lalu?" "Ajak dia jalan." "Jalan? Ke mana?" "Heh, otak 165. Maksud gue kencan." "Kencan? Gue gak pernah ngelakuin itu," jawab Bisma sembari menggaruk tengkuknya. "Ya, benar. Kita gak pernah melakukan hal itu untuk mendapatkan seorang wanita. Karena kita selalu bisa mendapatkan wanita yang kita inginkan cuma dengan sekali menyebut namanya," ucap Rangga dan disambut tawa oleh ketiganya. "Ajak dia kencan, Bis. Jemput dia dengan mobil mewah lo agar dia terkesan dan merasa diistimewakan. Dan jangan mengajak siapa pun," lanjut Reza. "Itu bakal sulit. Gue gak pernah lepas pengawasan dari bodyguard-bodyguard itu. Apalagi membawa mobil sendiri. Mami gue lagi parno sekarang. Gue harus selalu pergi dengan sopir." "Memohonlah pada Mami Nadia, Bis. Dia gak pernah tega melihat lo memohon," saran Rangga. "Oke. Gue akan coba. Lalu?" "Ucapkan, 'kamu sangat cantik Kinna' saat dia keluar rumah," lanjut Reza. "Killa gak suka pujian." "Hey, Bis, Kinna gadis normal!" sentak Reza sewot. "Baiklah. Ada lagi?" tanya Bisma mulai memikirkan strategi yang akan ia gunakan nanti dengan bantuan Reza. "Masih banyak, Bodoh. Kayaknya otak 165 lo sama sekali gak berfungsi di sini," ledek Reza. Gemas juga melihat sikap temannya yang minim pengetahuan tentang berkencan dengan seorang gadis ini. "Sialan! Lanjut aja" Bisma memukul bahu Reza memberi peringatan pertama. "Bukakan pintu untuknya." "Itu mudah." "Kasih dia bunga." "Killa gak suka bunga." "Bis." "Hehe... Oke oke." "Ajak dia ke tempat yang romantis." "Seperti?" "Tempat yang sepi" "Kuburan," celetuk Rangga menyela. "Bodoh. IQ lo gak pernah nambah, Ngga," ledek Reza. Dan Bisma tertawa. "Booking resto atau cafe. Bisa juga lo menyiapkan tempat di taman, atau di pinggir pantai." Reza mengambil jeda sebentar. "Pokoknya tempat yang sepi dan tenang." "Bukan masalah besar," gumam Bisma mengerti sambil mengangguk. "Saat dia sudah terlihat terkesan, pancing perasaanya perlahan, ungkapkan perasaan lo di saat yang sudah pas dan memungkinkan. Di situ dia akan merasa gak enak kalau mau nolak lo lagi." Reza mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas lalu ia menyandarkan punggungnya di sofa. "Ingat, Bis. Jangan menggunakan paksaan. kalau dia nolak, terima aja." Rangga menimpali. "Mana bisa begitu. Gue mau dapetin dia. Kalau dia menolak, buat apa gue repot-repot lakuin ini?" ujar Bisma masih santai. "Dia memang terlahir sebagai pria tanpa usaha, Za," ucap Rangga pada Reza. "Dia gak kenal perjuangan." Tambah Reza. Bisma tak mengacuhkan ucapan mereka. "Tidak untuk sekarang." Lanjut Rangga. "Selanjutnya terserah lo, Bis." Tutup Reza.  Pagi ini saat istirahat pertama, Bisma mengikuti Kinna ke perpustakaan.—rutinitas baru yang dilakukan Kinna, jadi sering ke perpustakaan. "Ayolah, Killa," mohon Bisma untuk yang kesekian kalinya karena Kinna menolak ajakannya untuk jalan. "Tidak, Bisma, ada hal yang lebih penting yang bisa gue kerjakan." "Apa itu?" "Bukan urusan lo!" "Hanya sekali ini, aku mohon." Bisma tetap mengikuti Kinna yang keluar dari perpustakaan dengan beberapa buku tebal yang baru dipinjamnya. "Lo gak lapar? Berhenti mengikuti gue!" sentak Kinna karena Bisma terus saja mengikutinya sampai mereka menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor sekolah-lagi. "Apa itu artinya kamu menerima ajakanku?" Bisma tersenyum harap. Manis sekali dan juga menggemaskan. "Gak." "Killa...." "Gak, Bisma." Sampai akhirnya Kinna masuk ke kelas terlebih dahulu dan Bisma masih setia menguntit di belakanganya. "Ngajakin jalannya aja udah susah." Bisma bergumam pelan sembari mengusap wajahnya agar mendapat kesabaran yang lebih. Bisma kembali menghampiri Kinna. "Siang ini bukannya lo sama gangster bodoh lo itu sedang ada pertandingan basket? Cepatlah ke lapangan dan hibur fans gila lo itu sebelum mereka datang kemari dan mencekik gue karena mengira gue yang udah membuat superstar ini telat ke lapangan," oceh Kinna semakin geram. "Kamu mengingatkan jadwalku? Apa ini salah satu usahamu untuk belajar menjadi istriku, nona Tan?" tanya Bisma menggoda. Kinna memutar bola matanya malas. "Membayangkannya aja gue udah muak, Tuan Karisma." Kinna mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Masih banyak teman-teman wanitanya yang berada di kelas. Ya, mereka akan ke lapangan jika Bisma sudah mengganti seragam sekolahnya dengan kostum kebanggan tim basket SMA Agasa ini dan akan mengawal Bisma sampai masuk ke lapangan. "Bisma, berhentilah mengikuti gue," pinta Killa melas. "Tidak, sebelum kamu menerima ajakanku." Kinna terdiam dan pura-pura cuek lalu sibuk dengan buku tebal di tangannya. "KILLA TANUBRATA!! PERGILAH DENGANKU SABTU NANTI!!?" teriak Bisma tepat di depan wajah gadis itu. Kinna memutar matanya jengah. -lagi, ia menjadi pusat perhatian teman-temannya dan tatapan mereka sekarang sudah berubah menjadi 10x lebih tajam dari sebelumnya. Bukan takut, gadis itu hanya malu. Bisma telah sukses merusak ketenangannya di sekolah ini. Bisikan-bisikan tak diharapkan itu mulai terdengar. Jika satu hujatan bisa memberi 1 berlian pada Kinna, mungkin sekarang ia sudah menjadi orang terkaya di dunia ini karena tingkah konyol Bisma yang selalu menyeretnya ke situasi sulit seperti ini setiap harinya. Bisma menoleh ke salah satu dari mereka yang mengatakan bahwa Kinna 'munafik'. Tatapan jenaka yang Bisma tujukan pada Kinna tadi kini berubah menjadi tajam dan menusuk. Orang yang menjadi sasaran Bisma selanjutnya-mungkin-itu menunduk takut. Tatapan elang kelaparan Bisma bisa seketika membuat orang yang ditatapnya membeku di tempat. "Jangan." Kinna menahan lengan Bisma yang hendak mendekati gadis yang sudah mengatainya munafik tadi karena ia cukup kenal dengan sifat Bisma sekarang. "Biarkan saja," lanjutnya. Bisma menatap Kinna. Memastikan bahwa gadis itu sedang baik-baik saja. Kinna tersenyum menatapnya, seperti memberi jawaban dia sedang baik-baik saja. Jangan lupakan tentang gadis itu yang sudah mengecap pedasnya hujatan mereka setidaknya hampir satu tahun ini. Sudah terbiasa. Dan memang pembawaannya yang cuek cukup berperan bagus disana. "Hari Sabtu nanti kita pergi. Cepat keluar, mereka udah nungguin lo," ucap Kinna memecah keheningan. Bisma tersenyum. "Kenapa tidak dari tadi." Cups! Bisma mengecup pipi kanan gadis itu dan dengan secepat mungkin, ia berlari keluar kelas sebelum korbannya tadi mengamuk. "YAAKKK, BISMAAA!!!" pekiknya tak terima. Tapi percuma saja, Bisma sudah tak terlihat lagi. Ooo... lihatlah ekspresi penghuni kelas ini. Mata membulat sempurna dan mulut yang menganga tak percaya. "Sialan!" Kinna menggeram kesal lalu memukul mejanya tak terlalu kuat lantas menunduk malu. Pria 165 itu tak pernah menggunakan otaknya dengan baik. Selalu berbuat semaunya. Wajah gadis itu menjadi merah padam karena menahan kesal dan malu. Jadi, jangan pernah bersikap baik lagi pada Bisma, Kinna. Hanya Bisma yang berani melakukan hal ini di sekolah. Sedangkan yang lain, mereka paling hanya bergandeng tangan jika sedang pacaran. Tapi... Entahlah jika di luar sekolah. "Kenapa harus Kinna?!" ucap salah seorang gadis setelah memastikan Bisma takkan kembali karena masih bisa mendengar suaranya. "Dia beruntung sekali." "Apa hebatnya gadis itu. Gue lebih cantik," komentar salah seorang lalu melenggang pergi karena tak mau ketinggalan sang superstar yang mungkin sekarang ini sedang berjalan menuju lapangan, setelah berganti kostum tim. "Dia hanya sok jual mahal. Lihat, dia mau juga menerima ajakan kencan Bisma." Beberapa yang masih asik menggosip dan sebenarnya memang sengaja berbicara dengan keras agar Kinna mendengarnya. Berkencan? Kinna menggigit bibir bawahnya menahan emosi, tidak, dia tidak boleh terpancing. 'Apa mereka tuli? Bisma mengajakku jalan. Bukan berkencan! Apa itu yang dimaksud kelakuan orang-orang berIQ 2 angka?'-IQ tidak sampai 100-Kinna mencibir dalam hati, sampai akhirnya di kelas itu hanya ada dirinya seorang. Menonton The Boys bermain basket? itu bukan dirinya. Bahkan dia pernah bermain basket BERDUA dengan kapten tim The Boys. Gadis itu meraih tumpukan buku tebal di hadapannya kemudian mulai menggerakkan pensilnya di atas lembaran-lembaran berisi susunan jutaan kata itu. Gimana? masih bingung sama alurnya? Kritik dan saran dong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN