12. MENCERITAKAN KEANEHAN

1570 Kata
Sarka sedang rebahan di kasurnya yang cukup luas sambil membaca komik yang sudah direkomendasikan oleh Alan, abangnya. Sudah empat puluh lima menit Sarka berkutat dengan komik ditangannya. Sarka begitu fokus membaca, sesekali ia menyumpal mulutnya dengan snack. Betul apa yang dikatakan oleh abangnya, komik ini sangat seru dan bagus, juga sangat menantang. Sarka bahkan tidak bisa berhenti untuk membaca dan mengangumi gambar-gambarnya yang cantik dan unik. Yang paling Sarka suka adalah tentu saja alur ceritanya yang sangat bagus dan tidak membosankan. Jika seperti ini, Sarka jadi sama seperti Alan, tidak sabar untuk menunggu volume kedua dari komik itu! Saking serunya membaca komik, Sarka sampai tidak sadar akan ketukan di kamarnya. Sarka tergelak dan mengerjapkan mata ketika pintu diketuk begitu keras, disusul oleh suara yang menyebut namanya. "Sarka! Lo ngapain aja sih di dalam? Buku pintunya buruan!" ucapan keras dan gedoran pintu tersebut membuat Sarka mendesah panjang. Cowok itu memutar bola matanya, lalu ia pun bangkit dari kasur dan berjalan tanpa minat untuk membuka pintu. Siaal, padahal saja Sarka ingin sendirian dan menikmati komik milik Alan, ia ingin membacanya sampai tamat. Intinya, sebenarnya saat ini Sarka tidak mau diganggu oleh siapapun. Tapi sayang, keinginan itu tidak bisa Sarka gapai lantaran Edo sudah mengamuk dibalik pintu. Sarka terpaksa menjeda membaca komiknya, padahal Sarka sudah sampai pada konflik utama. Sarka bahkan geregetan sendiri dan tidak sabar ingin tahu kelanjutan ceritanya. Edo benar-benar sangat menganggu! Dengan kesal, Sarka membuka pintu kamarnya. Ia menatap Edo dengan malas begitu pintu sudah terbuka sepenuhnya. "Kenapa Do?" tanya Sarka, bertanya dengan malas. Ia menatap Edo untuk menunggu jawaban, sedangkan Edo terlihat menahan kekesalannya. Edo menyorot Sarka dengan mimik wajahnya yang sudah merah padam bak kepiting rebus. Sarka tahu bahwa saat ini Edo pasti sangat marah. Lihat saja ekspresinya itu, terlihat ingin baku hantam saja! Edo menghela napas panjang, tangannya terlipat di depan dadaa. "Lo ngapain aja sih Sar di dalam? Gue gedor-gedor nggak ada jawaban, tenggorakan gue serak nih jadinya." "Lah, kenapa jadi gue yang salah?" Sarka memicingkan satu alisnya yang tebal. "Gue lagi fokus! Gue nggak tahu dan nggak sadar sama sekitar gue." Kini, gantian Edo yang menaikkan alisnya. Ia menatap Sarka curiga dengan kening yang terlipat. Raut muka Edo membuat Sarka mencibir pelan. "Lo ngapain sih Do?" "Hayo ngaku sama gue sekarang, lo lagi fokus ngapain tuh? Jangan-jangan ..." Edo sengaja menggantungkan ucapannya, perlahan-lahan senyuman lebarnya menghiasi bibirnya, seolah ia sudah melupakan kejadian beberapa menit yang lalu bahwa dirinya marah dan kesal kepada Sarka. Merasa bahwa Edo sudah berpikir yang tidak-tidak, lantas saja Sarka melotot lebar. Ia tahu apa yang ada diotak Edo saat ini. Sarka maju satu langkah ke depan dan membusungkan dadaanya. Ia menatap Edo tajam, "jangan-jangan apa, ha?" "Jangan-jangan kalau lo lagi nonton ..." "Nonton apaan?" "Nonton itu." "Itu apa?" "Bokep!" Sarka menahan napas sejenak, ia memperhatikan Edo yang tengah menaikturunkan alisnya. Sarka kesal sendiri mendengar satu kata yang meluncur dari bibir Edo tersebut. Ia tidak terima dituduh yang tidak-tidak seperti itu. Edo benar-benar keterlaluan! Menuduh tanpa bukti sama saja dengan fitnah! Edo membuat emosi Sarka memuncak seketika. Sarka langsung saja menjitak kepala Edo, hingga membuat sahabatnya itu memekik kesakitan. Edo menatap Sarka tidak percaya bahwa barusan saja Sarka membuat kepalanya sakit. Sebelum Edo berkata, Sarka sudah mengambil alih bagian itu. "Apa?" ujarnya tajam sembari mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Mau protes lo? Itu buat lo yang suka ngomong asal. Gue nggak lagi nonton begituan, lo butuh pembersih otak biar pikiran lo nggak jorok melulu." Sarka menghela napas panjang, kemudian ia langsung berbalik badan. Edo mengikutinya dari belakang. "Gue nggak percaya kalau barusan lo mukul gue Sar!" Edo berkata sambil menatap punggung Sarka. "Kepala gue sakit bangke!" lanjutnya seraya menggapai tangan Sarka. Sarka berhenti bergerak dan berbalik badan. Ia tersenyum kecut, "itu hadiah buat lo yang ngomong ngasal, itu bahkan belum apa-apa. Lo kalau ngomong lain kali difilter dulu bisa nggak?" Bibir Edo mencibir pelan, "terus apaan? Coba lo jelasin lagi ngapain sampai nggak denger gue datang dan manggil-manggil lo dari luar." "Baca komik!" "Nggak mungkin sefokus itu baca komik sampai-sampai nggak denger pintu digedor dari luar!" Edo langsung menyangkalnya begitu saja. Sarka sudah membuka mulutnya hendak menyangkal, tapi ia kalah cepat dari Edo. Sahabatnya yang bertubuh gempal dan berambut ikal tersebut berkata kembali, melanjutkan ucapan sebelumnya yang belum tuntas. "Lo tahu, sefokus-fokusnya orang nggak sampai sefokus itu, lo bohong!" "Ngomong apaan sih lo Do? Gue emang lagi fokus baca komik. Ceritanya seru banget, jadi gue fokus banget bacanya. Lagian ngapain juga gue bohong?" "Halah udahlah nggak usah dibahas! Udah basi dan nggak penting!" Edo mengibaskan tangannya tepat di depan wajahnya. Cowok itu kemudian melangkah dan duduk di kasur Sarka. Sarka mengendikkan bahunya, ia ikut duduk di kasurnya, tepat di samping Edo. Sarka menatap sahabatnya itu. Berdehem pelan, Sarka bertanya kepada Edo, "jadi, maksud tujuan lo datang ke sini mau ngapain Do?" "Memangnya gue nggak boleh ke sini?" "Bukan gitu maksud gue!" Sarka langsung membalas, ia berdecak pelan. "Lo kenapa sih Do? Sensitif banget kayaknya. Bukan kayak Edo yang biasanya. Gue kan cuma nanya kenapa lo ke sini? Bukannya itu pertanyaan wajar?" Edo menghela napas berat, ia lalu tiduran di kasur Sarka, tatapannya mengarah ke langit-langit Sarka yang berwarna biru laut. Edo bergumam pelan, "gue bingung di rumah mau ngapain, gue bosen, gabut dan suntuk, makanya gue ke sini buat pelarian." "Itu jawaban yang gue butuh dari tadi!" "Daripada di rumah nggak ngapa-ngapain terus gue matii kebosanan, mending ke sini kan ke rumah lo?" Sarka mendesah pelan, ia ikut rebahan di kasur, ia menatap ke atas juga. "Terus sekarang mau apa?" "Ya terserah, yang penting gue nggak bosan lagi. Menurut lo kita harus ngapain?" "Gue sih nggak lagi bosan ya sebenarnya, gue lagi baca komik soalnya." "Jangan komik mulu, dilanjut entar aja bacanya, nggak mungkin kan gue cuma duduk-duduk di sini doang dan lihatin lo lagi baca komik Sar? Lebih membosankan lagi itu!" Edo kembali mengomel. "Terus lo maunya gimana? Mau ngapain?" "Nggak tahu juga, kok malah nanya balik sih? Gue barusan nanya lo." Edo mendecakkan lidahnya. "Ya gue juga nggak tau mau ngapain," balas Sarka. Edo memejamkan matanya. "Udahlah, di sini aja ngobrol. Kita berangkat sekolah kapan Sar?" tanya Edo, ia menolehkan wajahnya, memperhatikan Sarka di sampingnya. "Dua hari lagi." Sarka menjawab pendek. Baiklah, sepertinya Sarka memang harus menemani Edo yang katanya sedang sangat bosan dan gabut. Terpaksa juga Sarka menjeda untuk membaca komik abangnya. Tapi, dikarenakan Sarka merasa teman yang baik, ia pun akhirnya memutuskan menuruti kemauan Edo. Biarlah lanjut nanti malam membaca komik tersebut. "Masih cukup lama." "Lumayan." Sarka mengangguk. Kemudian, ia teringat sesuatu tentang Metta. "Eh Do, gue mau cerita nih." "Cerita apa?" "Waktu itu gue kan pengin lihat langsung Metta yang bunuh diri itu, kan? Waktu lo nggak mau ikut gue, terus gue pergi sendiri ke depan gabung sama kerumunan orang-orang. Ingat, kan?" "Iya, ingat kok. Terus kenapa emangnya?" "Gue ngerasa ada yang aneh tahu nggak." "Apa yang aneh?" "Gue nyium bau busuk di sana." Sarka menjawab dengan serius. Namun, gelak tawa langsung meluncur bebas dari bibir Edo, cowok itu tertawa terbahak-bahak, membuat Sarka mendengkus dan menatap Edo dengan kesal. "Gue lagi serius, kenapa lo malah ketawa sih?" sungut Sarka. "Apa yang lo omongin lucu Sar, ya iyalah bau. Lo tahu sendiri kan kalau Metta ditemukan nggak bernyawa beberapa jam setelah bunuh diri? Gini, maksudnya pas dia udah nggak ada, dia nggak langsung ditemukan. Paham kan lo?" Sarka mengangguk cepat. "Jadi intinya bau yang lo rasakan itu ya dari tubuh Metta!" "Bukan Do, bukan itu. Gue tahu lah kalau yang satu ini," ujar Sarka, ia buru-buru menyangkalnya. Sarka menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya, lalu ia kembali berkata. "Ya gue tahu Do kalau itu, tapi bau yang gue rasain itu beda. Busuk banget sumpah! Ini bau yang super duper nggak enak. Bahkan perut gue mual dan rasanya pengin muntah. Baunya tuh nggak bisa gue terjemahin pakai kata-kata. Lo nggak bisa bayangin deh, gue bahkan sampai saat ini ingat baunya kayak apa. Dan bau ini, gue baru ngerasain sekarang. Kalo lo nyium, lo pasti tahu apa yang gue rasain sekarang." "Masa sih? Gue kan ada di sekitar situ juga. Ya memang sih gue agak jauh dari posisi lo yang udah pindah tempat ke depan untuk melihat mayat Metta, tapi kan gue nggak jauh-jauh banget. Harusnya gue bisa nyium bau itu dong, kan kata lo baunya busuk banget." "Nah itu Do, anehnya di situ! Gue juga heran, kenapa gue yang bisa ngerasain itu? Gue lihat-lihat, orang lain yang ada disekitar gue biasa-biasa aja." "Itu karena lo yang terlalu berlebihan Sar. Udahlah nggak usah dipikirin soal itu. Nggak penting juga, kan?" "Iya memang nggak penting-penting amat sih Do, tapi gue penasaran aja gitu." "Udah, percaya gue aja kalau hidung lo yang terlalu sensitif. Malahan nih ya Sar, gue lebih penasaran kenapa Metta mau gantung diri kayak gitu!" "Gue juga penasaran, tapi nggak tahu juga. Mungkin dia lagi banyak masalah, terus nggak kuat nanggung masalah itu, Metta mungkin depresi dan nggak kuat lagi. Dan yang ada diotaknya bunuh diri lebih baik ketimbang merasakan sakit terus menerus." "Ah yang bener itu alasannya?" Sarka mendesah pendek. "Ya enggak, gue juga nggak tau. Kan barusan gue bilang mungkin aja, bukan berarti gue tahu kejadian yang sebenarnya. Gimana sih Do? Lo paham nggak apa yang gue omongin?" "Udah Sar ah, ganti topik aja, gue malas bahas ginian. Pusing kepala gue." Edo mengibaskan tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN