Ini adalah hari terakhir Sarka menikmati masa liburnya yang terpaksa diadakan oleh pihak sekolah, sore itu ia sedang mengobrol dengan Gwen, hantu perempuan dikamar Alan. Sarka ingin berteriak pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya ia melakukan hal seperti itu. Berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata tidak pernah Sarka bayangkan sebelumnya. Tapi, saat ini Sarka sudah mulai menerima dirinya yang baru. Tidak ada gunanya juga untuk memaki dan berharap agar ia bisa seperti dulu lagi. Toh, sepertinya hal itu percuma saja. Daripada lelah dan mengasihani diri, Sarka akhirnya memilih untuk berteman saja dengan dirinya. Lagipula, saat ini Sarka sudah bisa mengendalikan dirinya jika bertemu dengan sosok baru yang datang kepadanya. Sarka tidak terlalu terkejut seperti dulu. Ia bisa menguasai diri.
Seperti kemarin, saat malam hari sekitar pukul kira-kira jam setengah delapan malam, Sarka baru balik dari supermarket yang ada di depan kompleks perumahan. Saat melewati pohon besar milik tetangga rumah, Sarka melihat perempuan yang duduk di dahan pohon. Rambutnya lurus dan tergerai indah, warna kulitnya pucat sekali, seperti ditaburi oleh bedak super banyak. Dengan baju berwarna putih, sosok itu tertawa cekikikan. Begitu Sarka menoleh dan mendongak ke atas, dia menyeringai ke arahnya. Jika sebelumnya Sarka akan ketakutan dan ambil langkah seribu, sekarang Sarka bisa lebih tenang. Ia masih takut, tentu saja, tapi tidak setakut sebelumnya. Sarka pun melanjutkan perjalanan ke rumahnya.
"Kamu tahu nggak? Dia tuh aura negatifnya kuat banget, bahkan saya sendiri tidak berani deket-deket dengannya."
"Siapa?" Sarka bertanya sambil memicingkan alisnya. Ia sedang duduk di lantai kamar Alan, menatap ke arah Gwen yang setia duduk di tempat favoritnya, tentu saja diatas lemari komik.
Gwen berdecak dan memutar bola matanya. "Kenapa malah nanya? Kan kita tadi pagi bahas hantu perempuan yang kamu lihat di pohon besar tetangga sebelah itu."
Sarka meringis pelan, "kamu takut Gwen sama dia?"
"Takut lah, kamu tahu? Dia tuh jahat banget dan angkuh. Saya tidak suka dengannya. Saya pernah berniat mengajak dia berteman, tapi kamu tahu jawaban apa yang saya dapatkan Sarka?"
"Apa?"
"Dia menolak saya! Dih ... Angkuh dan sombong. Dia bahkan menghina saya kalau saya ini tidak selevel dengannya. Padahal kalau dilihat-lihat lagi, lebih cantikan saya ke mana-mana! Gimana menurut kamu? Lebih cantik saya kan ketimbang perempuan penunggu pohon sebelah itu?"
"Bagiku kalian berdua sama saja," jawab Sarka sambil mengendikkan bahunya. Perkataan Sarka membuat Gwen mencebikkan bibirnya.
"Cantikan saya ke mana-mana lah! Lihat nih rambut saya lurus banget, kan? Iyalah, orang saya sisir tiap waktu."
"Aku heran, kok bisa kamu takut sama dia?" Sarka bertanya lagi. Baginya, terdengar sangat aneh sekali. Gwen dan hantu perempuan pohon itu sama-sama sudah meninggal dan tak kasat mata. Mereka hantu. Kenapa hantu takut sama hantu? Bukankah sebenarnya mereka berdua sama-sama menyeramkan?
"Dia kalau marah bisa gawat, intinya saya pernah nih nggak sengaja duduk di ranting tempatnya dia. Ranting yang itu, kamu tahu kan maksud saya Sarka?"
Sarka menganggukkan kepalanya dengan cepat, ia tahu. Sarka sedikit terkekeh pelan, entah kenapa cerita Gwen saat ini sedikit menghibur hatinya.
"Terus gimana lagi? Kenapa kamu duduk di sana?"
Gwen menghela napas panjang, dia kembali menyisir rambut panjangnya, lalu kembali melanjutkan ceritanya. "Jadi kejadian itu sebelum saya menempati kamar ini. Waktu itu saya di sana lagi duduk, nyaman sih tempatnya. Eh tahunya si Siti datang."
"Siti?"
"Hantu perempuan itu namanya Siti, maaf saya lupa menyebutkannya diawal. Nah, jadi tiba-tiba saja Siti datang dan ngamuk-ngamuk nggak jelas. Sumpah, saya takut banget waktu itu! Siti nyeremin banget mukanya."
"Kayak mukamu nggak menyeramkan aja Gwen," sindir Sarka sembari terkekeh pelan.
Gwen melotot lebar, matanya bahkan nyaris keluar dari tempatnya. "Apa kamu bilang barusan?"
"Nggak nggak, becanda aja kok! Aku nggak serius!" ujar Sarka seraya menggeleng cepat. Sarka menelan ludahnya, takut sendiri ketika Gwen melotot sepeti tadi. Sangat menyeramkan! Tapi, Sarka berhasil menenangkan diri. Ia bernapas lega ketika Gwen kembali pada ekspresi sebelumnya. Jika tidak memiliki tubuh yang pucat, Gwen tentu saja akan terlihat seperti manusia normal kebanyakan. Gwen memang cantik sebenarnya, Sarka akui itu.
"Jangan marah Gwen, lanjutkan ceritanya barusan. Terus gimana?"
Gwen menurut, kepalanya perlahan mengangguk. "Dia marah dan ngejar saya terus, sampai akhirnya saya berhasil lolos ketika saya ngumpet di sini. Dan akhirnya, saya merasa sangat senang karena kamar abangmu ini sangat nyaman! Lebih nyaman daripada rumah si Siti itu."
"Dia tahu kamu di sini?"
"Awalnya enggak, tapi tentu saja sekarang tahu. Bahkan nih, kami berdua pernah jambak-jambakan rambut."
"Kenapa?"
Sarka nyaris saja menyemburkan tawanya. Ia membayangkan jika sesama hantu sedang berkelahi dan saling menjambak rambut. Itu terlihat sangat konyol, tapi Sarka membayangkannya juga terhibur sendiri.
"Siti nyebelin. Dia tahu saya tinggal di sini dan dia pengin gabung. Kamu tahu, dia suka sama my bebeb Alan! Saya nggak terima dong! Baby Alan kesayangan cuma punya saya seorang, satu-satunya! Tidak untuk dibagi-bagi sama sembarang orang, apalagi sama si Siti! Saya nggak suka ya! Amit-amit membayangkan itu!"
Sarka terkekeh pelan, ia sungguh terhibur dengan apa yang Gwen ceritakan.
Gwen melanjutkan ceritanya lagi. "Dia maksa buat tinggal bareng di sini sama saya. Saya nggak suka tempat saya dibagi-bagi. Siti nggak berhak di sini, terus dia marah sama saya. Waktu itu saya memang takut, jujur saja. Siti marahnya nggak tanggung-tanggung soalnya. Habis itu dia pergi begitu saja dan balik ke tempatnya lagi."
"Di pohon tetangga sebelah itu?"
"Ya di sana, itu kan memang tempatnya."
"Oh ..." Sarka mengangguk pelan, "terus?"
"Terus setelah itu, saya dan dia nggak tukar sapa lagi. Kita musuhan sampai sekarang. Bahkan, dia masih berani deket-deket my baby Alan waktu abangmu itu baru pulang kerja. Saya sering lihat dan mergoki. Bener, saya emang nggak salah kalau si Siti suka my bebeb Alan."
Sarka menghela napas panjang. "Kenapa sih kalian ini suka sama bang Alan?"
"Pake tanya segala lagi, ya jawabannya karena abangmu itu gantengnya selangit, terus gayanya keren, baunya wangi, perutnya kotak-kotak, dan yang paling saya suka ..." Gwen menjeda ucapannya, ia menahan senyumnya, pipinya tiba-tiba saja terlihat memerah. Sarka memicingkan mata menatap hantu perempuan yang naksir berat kepada bang Alan. "Dan yang paling saya suka, itunya gede hihihi ..."
"Gwen, hantu nggak boleh mesuum!" Spontan saja Sarka berkata tegas dan keras. Ia menatap Gwen yang terlihat cemberut, bibirnya ditekuk. Sarka mendesah pelan. "Sekarang aku ngerasa kasihan banget sama bang Alan, bisa-bisanya dia disukai sama kamu dan Siti."
"Justru abangmu itu beruntung karena saya suka sama dia. Belum lagi saya tinggal di sini, paket lengkap nggak tuh?"
Bibir Sarka tertawa pelan. "Beruntung? Dari mana? Hongkong? Bukan beruntung, tapi buntung! Lagian kamu kenapa sebegitu naksirnya sama bang Alan?"
"Jangan iri sama abangmu itu ya Sarka."
"Siapa juga yang iri!" Sarka membantah, matanya mendelik kesal ke arah Gwen. Siapa yang mau disukai sama hantu memangnya? lanjut Sarka dalam hati.
"Kamu sebenarnya mau juga kan disukai sama saya? Hayo ngaku!" kata Gwen sambil menyipitkan matanya, memperhatikan wajah Sarka yang sudah memerah.
"Enggak! Siapa juga memangnya yang mau? Ngapain aku mau disukai sama hantu jelek bin nyebelin kayak kamu Gwen! Aku lebih baik nggak punya pacar, weekk!" Sarka mengejek Gwen dengan menjulurkan lidahnya keluar. Untuk menghindari kemarahan Gwen, Sarka langsung berdiri dan berlari keluar dari kamar Alan.
"Sarka! Kamu bilang apa tadi?! Saya nggak jelek ya! Saya cantik mirip bintang film!" Dibelakang Sarka, Gwen mengomel. Tapi Sarka sudah lolos dari kemarahan Gwen, cowok itu berhasil keluar dari kamar Alan. Sarka terkekeh pelan, kemudian menggelengkan kepalanya.
Sarka berjalan menghindar dari kamar Alan, kemudian ia melihat ibunya yang keluar dari gudang. Langkah Sarka terhenti, keningnya terlipat. "Ibu? Habis ngapain ibu digudang?" tanya Sarka pelan. Tidak mau rasa ingin tahunya semakin memuncak, Sarka pun melangkah cepat mendekati ibunya.
"Ibu!" panggil Sarka.
Mendengar panggilan dari Sarka, Maria menoleh ke arah sumber suara. Bibirnya langsung menyinggung ke atas, tersenyum lebar. "Iya, ada apa Sarka?"
"Ibu habis ngapain di gudang?"
"Oh itu, ibu lagi bersih-bersih sekali mau lihat-lihat barang-barang yang masih bisa digunakan lagi. Kenapa? Sarka mau bantu ibu?" tanya Maria.
Sarka merapatkan bibirnya, ia berpikir sejenak. Karena tidak ada kegiatan setelah ini, akhirnya Sarka pun memilih untuk menganggukkan kepalanya. "Iya Bu, Sarka bantuh deh."
Maria tersenyum lagi. "Yang bener? Sarka nggak pa-pa bantuin ibu?"
"Nggak pa-pa bu, santai aja. Mau dibantu apa bu?"
"Ya udah kalau Sarka mau, ibu boleh minta tolong kamu beliin kemoceng sama sapu? Sapu ibu sudah rusak, terus kemoceng nggak tahu deh nyungsep di mana. Kamu bisa nak?''
"Gampang bu, sip!'' ujar Sarka sambil menunjukkan jempol tangannya.
"Tunggu sebentar ya, ibu ambilkan duit dulu di kamar."