Andra

1725 Kata
Seperti biasa, usai bersiul-siul di depan cermin, tangannya menarik gagang pintu kamar. Tadi, ia hanya memperbaiki jambulnya di depan cermin. Kalau mukanya? Sudah tak dapat diperbaiki. Hihihi. Wajah yang mirip Papa Wira tapi dengan nasib yang agak-agak apes ini memang tak perlu diapa-apakan selain dilestarikan. Kali-kali nanti menurun pada anaknya dengan nasib yang lebih baik. Omong-omong tentang anak, calon istri aja belum punya. Gebetan sih banyak tapi hanya selewat gitu deh. Biasa lah, namanya juga cowok apalagi yang model begini. Bah! Tapi biar mata jalan-jalan, hatinya sih tetap diam di tempat. Hal yang kadang membuatnya pilu karena sok-sokan bilangnya sudah move on padahal.... "Kapan pengumuman pemenang desain itu, Pa?" tanya Ardan. Lelaki itu baru saja menuruni tangga. Ia sudah rapi dengan kemejanya, hendak berangkat kerja hari ini karena Senin menyapa lagi. Sementara Dina baru keluar dari kamar sambil menguap. Ia masih mengantuk padahal tidurnya sangat cukup. Tapi ia akui sih, akhir-akhir ini ia kurang istirahat. Masih lelah pula dengan perjalanan kemarin-kemarin. "Lusa." "Kalau menang, bisa untung banyak Om Regan." Wira mengangguk. Bukan hanya Regan, ia juga. Semua material pembangunan pasti memakai perusahaannya. Apalagi itu proyek yang sangat besar. Proyek pembangunan ibukota baru. Tapi bagi Wira, yang penting bukan keuntungannya. Ia juga mengajari Ardan tentang itu. Yang lebih penting adalah yang materi-material bisa mendukung bangunan-bangunan itu kokoh selama puluhan bahkan kalau bisa ya ratusan tahun. Agar cucu hingga cicit yang ke sekian akan merasa bangga dan berkata 'ini loh material bangunannya dari usaha kakek buyutnya'. Apalagi ini pembangunan ibukota baru. Wira ingin menorehkan sejarah baru untuk Indonesia. "Kamu bukannya ada pemotretan hari ini, Din?" ingat Aisha. Wanita itu sedang menyiapkan sarapan pagi. Anak gadisnya baru turun untuk membantu. "Jam tiga, Ma." "Minggu ini jadwalnya hanya itu?" Kali ini Papanya yang bertanya. "Ada yang lain, Pa. Dina juga belum isi suara untuk episode berikutnya. Terus pemotretan baju barunya kak Aya dan brand lain." "Sampai Minggu?" Dina mengangguk. "Tapi minggu depan kosong kok, Pa. Dina akan urus toko rotinya minggu depan." Wira mengangguk. Oke, tak masalah pikirnya selama anaknya masih punya banyak waktu senggang untuk keluarga. Karena yang menjadi konsentrasinya sejak awal terkait pekerjaan anak gadisnya adalah family time. Dengan kesibukannya sejak dulu hingga sekarang tentu sangat berbeda karena anak-anaknya sudah besar. Ardan juga bergabung di perusahaan untuk membantunya dan itu membuat waktu berkumpul mereka sudah pasti berkurang, kecuali ia dan Ardan yang memang lebih sering bersama. "Gimana bule-bule Eropa?" Itu yang tanya Ardan. Wira cuma tersenyum tipis mendengarnya. Aisha malah terkekeh. Mereka baru bertemu pagi ini karena baik Ardan atau Wira baru tiba semalam saat Dina sudah tidur. Kepulangan mereka dari Surabaya memang tidak seperti biasanya. Ada banyak hal urgent yang dikerjakan di sana. "Yang jelas, lebih ganteng dari lo!" Ardan berdecak. Tentu saja ia tak terima. Ia juga ganteng kali! Dina aja yang gak sadar atau ia memang tak ingin mengakuinya! Hihihi! Baru mau balas menyolot karena tak terima dengan ucapan Dina, suara bel rumah berbunyi. Keempatnya saling menatap sampai akhirnya Ardan yang keluar untuk membukakan pintu. Tak lama, ia berteriak. "Ada Andra, Diiin!" "Suruh masuk, Dan! Ajak sarapan!" Malah Aisha yang balas teriak. Wira cuma tersenyum tipis. Dina sih cuek saja. Gadis itu segera ke kamar untuk mengambil kerudungnya. Padahal ia sudah bilang kalau ia tak terima tamu seperti Andra sampai bulan depan, eh tetap aja tuh bocah sableng muncul. Yeah, Andra bebal sih jadi percuma juga dilarang-larang gak bakal dengar. Lagi pula, ia memang tak pernah ambil serius semua omongan Dina. Sebagaimana geng rusuh yang lain juga sebodo amat meski Dina mengomel-omel. "Pagi Tante cantiik," sapanya saat berjalan menuju dapur. Ia langsung ikut nimbrung di meja makan seperti sudah biasa melakukannya. Biasanya memang begitu jika ia datang ke sini pagi-pagi begini. Aisha sudah terkekeh. Ia yang paling ramah dan semangat tiap menyambut kedatangan Andra ke rumah sejak setengah tahun terakhir. Berharap bisa dijadikan mantu. Hihihi! Maklum lah, emak-emak kece yang satu ini mulai khawatir karena anak gadisnya belum menikah. Kalau Wira sih santai dan biasa saja. Ia tak mau menaruh harap pada siapa pun yang mendekati anaknya. Apalagi melihat gelagat Dina biasa saja. Kemungkinan besar, ini memang murni persahabatan antara lelaki dan perempuan. Meski terkadang mustahil jika memang benar-benar murni tak ada perasaan. Yeah, pertemuan hampir sembilan bulan lalu yang tak sengaja ketika Andra mengalami kecelakaan kecil tak jauh dari toko roti milik Dina. Ban mobilnya bocor, padahal ia sedang terburu-buru mengejar meeting. Dari kejauhan ia melihat Dina yang sedang melayani pembeli. Kemudian berlari ke toko roti gadis itu, menyapa lantas segera menitipkan mobilnya di sana yang tentu saja diiyakan Dina. Setelah pulang kantor, ia kembali ke toko roti Dina dan sudah ditunggu si empunya toko roti. Mereka mengobrol ke sana dan ke mari dimana Andra dengan santainya bercerita sedikit tentang Pras usai bertanya kabar Dina. Dina hanya menanggapi dengan senyum saja. Tak perlu memusingkan soal Pras yang sudah menikah dan tinggal di Bandung. Ia juga dengar kabar pernikahan yang katanya mendadak itu. Tapi Dina tak pernah mau mengusik Pras lagi. Biar lah. Karena ia sudah bahagia dengan hatinya yang sekarang. Sementara Andra yang sudah menyelesaikan S2-nya di Bandung, kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai manajer di salah satu perusahaan unicorn yang top di Indonesia. Alih-alih ikut membantu usaha Papanya, ia memang lebih memilih bekerja pada orang lain. Alasannya, cuma ingin merasakan bagaimana menghasilkan uang sendiri dengan jerih payah sendiri. Bukan kah itu lebih keren? Walau nanti, ia sudah dipastikan akan meneruskan usaha itu. Berawal dari obrolan itu, berlanjut dengan pertemuan tak sengaja setelahnya. Saat ternyata Dina malah datang ke kantornya untuk menjadi salah satu brand ambassador-nya tiga bulan kemudian. Dari pertemuan itu, berakhir dengan ia yang mengantar Dina pulang ke rumah. Dan ditonjok Ardan saat itu. Kenapa? Karena Ardan mengira masih ada sangkut-pautnya dengan Pras. Meski tidak membalas, Andra menjelaskan dengan tenang kalau ia hanya mengantar Dina karena gadis itu ke kantornya dan tak membawa mobil. Karena sekalian pulang, jadi barengan saja. Yah walau awalnya Ardan agak sinis tapi makin ke sini, sudah biasa bahkan cukup dekat dengan Andra yang memang humble, sableng dan ramai. Meski, penampilan Andra bak model gantengnya dan tak ada yang percaya kalau cowok ini sableng bin pecicilan yang ternyata juga jomblo dari lahir sama kayak Ardan. Hihihi. Dari obrolan sederhana dalam setiap pertemuan memang menciptakan rasa nyaman. Tapi sejauh ini baik Dina atau pun Ardan saling tak punya rasa. Mungkin karena keduanya sama-sama korban gagal move on. Tapi yang jelas, dilihat posisinya sekarang, kondisi Dina yang lebih parah meski gadis itu selalu berusaha menyembunyikannya. "Nih! Nih! Titipan lo!" tutur Dina sambil menaruh beberapa oleh-oleh yang ia beli tepat di hadapan Andra. Lelaki itu terkekeh. Sementara emaknya, Aisha sibuk mengamati perilaku keduanya. Wira sih cuma melirik sedikit lantas fokus lagi pada ipad-nya sambil meminum teh buatan istrinya. "Kok dia lebih banyak sih dari gue?" Tentu saja saudara kembar sablengnya gak terima. Dina duduk dulu baru berbicara. "Si Andra kan ngasih duit, elu kan kagak!" Aisha langsung terkekeh. Kontan saja Ardan senewen. Andra malah menaruh barang-barangnya di lantai kemudian melanjutkan sarapan dan obrolannya dengan Aisha yang sempat diganggu Dina tadi. "Kalau Andra sih gitu, Tan. Selow tapi pasti," tuturnya yang baru saja menjelaskan pekerjaannya pada Aisha. Aisha mengangguk-angguk lantas melirik dikit ke arah anak gadisnya yang sedang memoles rotinya dengan coklat. "Pacarnya ada, Ndra?" Ditanya begitu, Dina langsung terkikik. Andra cuma mesem-mesem. "Ya ampun, Ma. Kalau gak jomblo gak bakal nongol di sini!" ceplos Dina. "Yang naksir banyak tapi di kantor ya?" Aisha malah mengabaikan ceplosan anaknya dan fokus pada Andra. Tapi Dina cekikikan lagi. Kali ini Wira sampai menoleh sedikit ke arah anaknya. Ardan sih cuma bolak-balik mengamati raut wajah Dina dan Andra. "Mama gak tahu aja. Sekantornya pada nge-fans. Tiap dia upload foto di IG, banyak cewek-cewek nyerbu. Ada yang ngomen, 'oppaaaa', 'masya Allah D.O EXO?', 'yang kemaren konser di Indo bukan?'. Pada begitu semuaaa!" ceritanya. "Apalagi kalau dia upload lagi nge-band. Baaaah! Yang komen bisa seribuan!" Malah ia yang heboh bercerita sambil memakan rotinya dimana selai-nya mencla-mencle mengotori bibir. Aisha cuma terkekeh. Wira geleng-geleng kepala. Yang diceritain cuma tersenyum tipis dengan tampang tengil. Yeah, pesona Andra emang mengerikan bagi jantung cewek-cewek sedari dulu. Tapi sayangnya, Dina sama sekali tak tertarik. @@@ "Andra itu kayaknya anak baik-baik," begitu pembukaan obrolan yang dilakukan Aisha ketika berada di dalam mobil bersama suaminya. Sudah berbulan-bulan ini, Wira cukup rajin mengantarnya ke rumah sakit. Walau pulangnya, kadang nebeng Fadlan atau dijemput Dina jika gadis itu sempat. Dan setiap Aisha mulai mengangkat topik itu, Wira cuma berdeham. Bukan apa-apa sih. Hingga kini, Wira merasa anaknya biasa-biasa saja. Maksudnya, berbeda dulu dengan Adit. Makanya, Wira tak pernah mengusik dan terusik. Biar saja mereka berteman. Toh sepertinya Dina memang lebih nyaman berteman dengan Andra. "Kak Fadlan kenal sama dia. Katanya dulu pernah deketin Farras." Aisha berbicara lagi. Ia mengingat obrolan terakhir dengan kakaknya yang saat itu juga tak sengaja bertemu Andra yang berada di rumah Aisha. Fadlan hanya bilang kalau Andra itu baik. Tapi mungkin belum cocok dengan Farras. "Suka sama Farras?" Akhirnya Wira bersuara juga. "Iya, katanya. Tapi kan sekarang Farras juga sudah menikah." "Lalu?" "Enggak. Cuma mau bilang itu." Wira berdeham. Matanya tajam menatap jalanan di depan. "Kalau Dina gak suka jangan dipaksa. Jangan disuruh menimbang-nimbang." Begitu ucapnya yang membuat Aisha menghela nafas. Istrinya sih mengiyakan. Ia juga tak mau mengulang kesalahan yang sama bukan? Dan lagi, Wira tak masalah entah kapan anaknya akan menikah. Seberapa lama pun itu, ia akan selalu ada untuk anak gadis kesayangannya itu. Sementara Dina membiarkan Andra berangkat kerja walau sudah jauh-jauh ke rumahnya dulu baru berangkat kerja demi ingin mengganggu pagi harinya. Ia menutup pintu dengan helaan nafas. Ia tahu kok kalau mamanya berharap pada Andra. Tapi ia hanya ingin berteman dengan Andra. Dan lagi, Andra juga sama. Tak ada yang spesial diantara mereka. Andra hanya merasa nyaman bersamanya karena Dina memang seperti itu. Maksudnya, ia gadis yang asyik untuk diajak berteman dengan lelaki manapun. Walau kadang Andra suka bercanda dengan mengajaknya menikah tapi Dina bisa membedakan mana yang hanya bercanda dan serius. Dan itu murni hanya candaan jadi Dina juga santai. Lagi pula, Dina tak akan membiarkan hatinya jatuh sekali lagi dengan cara yang sama. Dari yang awalnya teman menjadi nyaman lalu kasmaran. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN