Kenangan

1734 Kata
"Sahabat jadi cinta itu memang ada, bro. Banyak yang kejadian malah. Pacaran ke mana-mana, eeh nikahnya sama temen yang dari dulu sampe sekarang selalu ada. Kayak sesuatu yang gak disangka-sangka gitu deh." Andra mengangguk-angguk. Ia tampak santai eneguk kopinya sembari menyimak obrolan dikala makan siang. Biasanya sih, obrolannya gak jauh dari cewek cantik dan juga populer, entah itu artis, temen kantor hingga mantan. Yang jelas bukan mantannya Andra karena ia tak punya mantan. Obrolan lainnya ya tentang asmara. Baik yang baru jadian sampe yang putus. Tapi biasanya, yang paling asyik untuk dihina habis-habisan itu adalah yang patah hati setelah putus. Dan obrolan kali ini, memang masih seputar cewek. "Kalo dulu itu gue mikirnya, kalo gak pacaran itu banci! Karena dikira suka sesama jenis. Kadang juga temen-temen gie becandaannya begitu. Bilang homo lah, gay lah!" tutur lelaki yang duduk di sebelah kanan Andra. Semua mata berfokus padanya. "Tapi setelah dewasa kayak gini, gue akhirnya paham sih. Pacaran bukan untuk pertanda kalo kita itu bukan homo atau gay dan sejenisnya." Andra hanya menyimak. Ia sih tak pernah berpikir ke arah sana. Menjadi jomblo juga pilihan tapi ini adalah takdir. Lantas mau bagaimana lagi? Ia pasrah sudah. Terima aja nasib dari lahir sudah jomblo. Namun sekarang, ia mulai mengerti juga sih kalau hidup bukan hanya tentang cewek. Bukan hanya tentang Fa--eeh! "Tapi ya begitu lah, bro. Namanya juga lingkungan hidup. Ada mungkin yang gak begitu. Iya gak, Mad?" tutur yang lain dan semua tertawa dengan mata tertuju pada Mamad. Satu-satunya orang yang paling lurus di dalam grup obrolan ini. Yang selalu berpegang pada syariat sekalipun seringkali menjadi bahan bully-an. Padahal menjadi taat bin soleh itu kece loh. Namun entah kenapa, ada juga yang malu dan enggan menunjukan identitasnya hanya karena berbeda. Jika dibalik pun, sesungguhnya tak ada manusia yang ingin masuk neraka secara otomatis kan? Semua ingin surga tapi terkadang lupa akan usaha untuk mencapai surga itu sendiri. Kalau Andra? Ia belum sampai ditahap itu. Mungkin adiknya sudah berubah banyak. Maksudnya, ibadah juga aura solehahnya Zakiya itu menguat bagi siapa pun yang memandangnya. Tapi ketika melihat Andra, semua akan mengatakan kalau aura Andra itu adalah aura cowok populer dan juga vokalis band yang kece. Sampai sekarang pun begitu. Ia juga disebut anak-anak gaul jaman now. Padahal, gaul ala Andra itu bukan hal negatif yang sering dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang. Biar pun Andra tak lurus-lurus amat, sesungguhnya ia masih mengejar solat meski terkadang sudah mepet waktu. Ibadah lain? Paling ya hanya solat lima waktu dan sedekah. Heum, apalagi ya? Sepertinya tidak ada. Barangkali hatinya belu terketuk untuk melakukan lebih atau ia saja yang belum mencari. Berbeda dengan Zakiya yang akhirnya melalui patah hati yang parah hingga bisa menjadi seperti sekarang. Gadis yang terkenal kritis tapi juga solehah. "Kenapa lo, Bas?" tanyanya sehari merangkul bahu lelaki yang bernama Bastian. Teman sesama manajer di perusahaan yang sama. Saat ini, keduanya berjalan menuju kantor usai makan di restoran seberang kantor. "Diem mulu. Ada masalah, bos?" tanyanya. Ia menepuk-nepuk bahu Bastian. Lelaki itu hanya menghela nafas lantas melepaskan diri dari rangkulan Andra ketika masuk ke dalam gedung kantor mereka. Ia hendak ke toilet sebelum kembali ke ruangan untuk bekerja. Sementara Andra hanya menghela nafas. Seburuk-buruk nasib percintaannya, ia masih harus bersyukur karena ada yang lebih parah darinya. Parah apanya? Bukan kisahnya tapi gagal move on-nya. @@@ Kalau jalan-jalan ke Patung Liberty, Empire State Building, Times Square dan Central Park itu sudah biasa baginya. Jadi ia memilih untuk tidak pergi ke sana karena ia pernah tinggal lama di sana. Ya lah kan dua tahun tinggal di sana. Kini ia sudah di kereta, dalam perjalanan menuju Washington DC. Sejujurnya, ia juga sudah pernah ke Washington tapi ia belum pernah datang ke American National History Museum. "Museum yang menjadi lokasi shooting Night at the Museum: Battle of the Smithsonian berada di Washington, D.C., tepatnya di National Mall. Museum ini mengumpulkan, menyimpan, dan memamerkan peninggalan budaya Amerika di bidang sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan militer. Museum ini merupakan salah satu museum terbesar dan terkenal di dunia, dengan terbagi menjadi 27 bangunan yang saling berhubungan, 45 aula pameran, 1 planetarium, dan 1 ruang perpustakaan." "Kaku amat lo," semprot lelaki lain. "Ya kan ini baca, cuy! Baca!" tunjuknya sembari kembalikan halaman majalah yang ia baca. Kedua sahabatnya terkekeh termasuk lelaki yang mengusulkan untuk berkeliling Amerika dulu sebelum pulang. Hitung-hitung, mereka akan mengusir sejarah selama masih jomblo. Kapan lagi kan? Kalau sudah menikah suatu saat nanti, mereka akan berpisah dan hanya sibuk dengan urusan kehidupan masing-masing. Tapi tetap harus bahagia walau apapun yang telah terjadi. "Gue pikir, kita akan selamanya di Amerika. Sudah buka usaha dan kita besarkan dengan baik. Tapi akhirnya, pulang ke tanah air tetap menjadi tujuan." Lelaki itu mengangguk-angguk setuju akan ucapan sahabatnya yang duduk di depannya itu. Mereka bertiga duduk berhadapan. Ia ditemani duduk oleh satu temannya yang lain yang dipanggil sama Agil. "Gue pernah dengar pepatah kalau pada akhirnya kita akan kembali ke tanah. Karena manusia pertama diciptakan dari itu kan? Nah, persoalan tanah itu di mana dan berwarna apa tak masalah. Karena masing-masing orang berbeda," tutur Agil. "Tapi kalau gue, persoalan tanah nih. Pada akhirnya gue akan memilih untuk kembali ke Padang kalau suatu saat nanti tiada." "Kalo lo, Dit?" lempar Agil. Sedari tadi, lelaki itu diam saja. Ia berdeham kemudian tampak berpikir. "Lo tahu, gue hanya punya kakak gue sebagai saudara. Om gue sudah meninggal lama dan dimakamkan di Jakarta karena kita gak punya tanah lagi di Makassar. Orangtua pun sudah lama gak dilihat makamnya, lebih tepatnya kakak gue pun sudah lupa posisinya di mana karena kita gak pernah pulang lagi. Kalau meninggal suatu saat nanti, makan pilihan gue hanya kakak gue. Di mana gue pengen dikuburin di antara kakak gur dan istri gue nanti," jawabnya dengan serius dan entah kenapa membuat bulu kuduk kedua sahabatnya merinding. Kemudian ketiganya kompak tertawa. Obrolan ini sungguh mengerikan. Tapi memang benar jika pada akhirnya, semua yang hidup pasti akan mati bukan? "Gila! Udah berasa banget tuanya gue!" keluh Agil dan itu mengundang tawa kedua sahabatnya. Kadang, mereka bisa bercanda dan bertengkar seperti anak kecil. Tapi terkadang mereka juga bisa berbicara selayaknya orang dewasa. "Gue bakal kangen masa-masa ini," tutur lelaki yang duduk di depan Agil. Ia menghela nafas panjang sambil merekam baik-baik semua ingatan ini di kepalanya. Memang semua ini akan ia rindukan bukan? Kedua sahabatnya sama-sama menarik nafas dalam. Memang benar jika semua ini akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan dan mungkin bisa mereka ceritakan pada anak dan cucu di masa depan. Perjalanan hidup memang terasa singkat. Apalagi kesempatan itu hanya datang sekali. Jadi harus dimanfaatkan sebaik-sebaiknya. Hidup sekali maka harus berarti. Itu motto yang tertanam di dalam kepala ketiganya. "Tapi kalo dipikir-pikir. Ini yang namanya berjuang kali ya. Kita mulai dari titik nol, terus merasa sudah berada di titik puncak atau gue bisa bilang hampir diditik puncak. Tapi karena hati masih Indonesia, akhirnya pun tetap pulang dan kita mulai dari nol lagi." Agil terkekeh. Itu benar. "Tapi setidaknya tidak mulai dari titik nol yang kita lakukan saat pertama dulu. Kali ini titik nol yang berbeda." Keduanya mengangguk. "Dan gue juga gak nyangka," tutur si cowok yang duduk di depan keduanya. "Gue akan memulai ini sama kalian. Maksudnya, dalam impian gue ya cuma meneruskan sekolah saja di sini dan menikmati tiap detik dan menitnya. Gue gak pernah tahu ada titik di mana gue harus memulai semua ini untuk ke sekian kalinya." Agil terkekeh. Ia juga sangat bersyukur akan hal itu. "Dan gue gak pernah menyesal sih, meski kita sering berantem dan adu bacot. Tapi ada gunanya juga!" tutur lelaki yang duduk di samping Agil dan kata-katanya itu membuat tawa. @@@ Dina turun dari mobilnya. Ia dibantu beberapa stafnya, membawa roti pesanan ke rumah sakit om-nya. Om-nya memang memesan rotinya untuk meeting tahunan kali ini. Ia menarik nafas dalam. Sejujurnya, ia sudah hampir tak pernah masuk lagi kesini sejak hampir dua tahun. Biasanya hanya sampai depan untuk menjemput mamanya. Ah? Ya kah? Ia saja baru sadar jika sudah selama itu ia tak masuk kesini. Masuk ke lobby dan melihat isinya yang sudah banyak berubah. Bukan apa-apa sih, masalahnya..... "Mba Dina!" Itu Keena. Waktu Dina bekerja di sini, ia masih koass. Sekarang sudah jadi dokter tetap disini. Dina hanya tersenyum sambil menenteng beberapa rotinya. Sementara stafnya mendahuluinya menuju lift. "Apa kabar?" Si dokter cantik itu mengangguk sebagai jawaban 'baik' lantas menyalami Dina. Terlihat beberapa petugas rumah sakit lain mengamati mereka kemudian berbisik-bisik. "Kerja di sini?" Keena terkekeh. "Iya baru beberapa bulan. Udah lama gak liat, mba." Dina mengangguk. Mungkin sudah dua atau hampir tiga tahun? Entah lah, Dina lupa. Saat itu pun ia hanya bertemu Keena beberapa bulan sebelum ia keluar dari pekerjaannya di sini. Ia tak terlalu mengenalnya. Hanya saja, gadis ini sangat ramah jadi ia cukup mengingat wajahnya. "Ada urusan apa, mba?" Kepo. Ia memang terkenal dengan itu. Apalagi kalau berhubungan dengan Dina. "Nganterin pesanan bos," tuturnya yang mengarah pada Fadlan. "Duluan ya," pamitnya yang dibalas anggukan. Keena melepaskan tangannya dan membiarkan gadis itu pergi. Dina memejamkan mata sesaat. Mengamati seisi rumah sakit dari dalam lift yang transparan. Ini lift baru karena penampilan bagian lobby rumah sakit pun sudah direnovasi dan selesai setahun lalu. Gedung administrasi rumah sakit menjadi lebih luas dan tinggi. Termasuk ruangan direktur dan jajarannya yang berada di lantai yang lebih tinggi dan ukurannya pun lebih luas. Berada di dalam lift, membuat Dina dengan leluasa melihat isi rumah sakit, taman bahkan kantin yang letaknya agak di belakang pun terlihat dengan jelas. Posisi taman tak ada yang berubah. Hanya waktu saja yang membuatnya seakan berubah. Omong-omong, Dina memang agak enggan datang kesini. Meski banyak berubah, pegawai lama yang mengenalnya pun masih banyak. Namun tak seperti dulu yang heboh menyambutnya. Kini mereka hanya tersenyum ramah lalu akan saling berbisik. Seolah membicarakan kisah pahitnya yang terkenal. Tentang seseorang yang pernah mencintainya di sini. Mengejarnya dengan ketidakpastian. Mengharapkan lebih dari kata cinta. Memberinya ketulusan tiada tara. Tapi di sini, ia dianggap sebagai pemeran antagonisnya. Seseorang yang jahat yang melukai hati pria yang sangat baik. Sebuah cinta yang diterima namun dibalas dengan luka. Dan dibangku yang berada di sudut sana yang menyita perhatian Dina. Bangku kenangan ketika pembicaraan yang berupaya meyakinkan hati itu terjadi. Sebuah sinyal yang seolah menyatakan bahwa jangan pernah berjanji untuk belajar mencintai jika itu hanya cara lain untuk mengasihani. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN