Di Bumi Yang Sama

1731 Kata
Dina meresapi perjalanan sendirian untuk ke sekian kali. Maksudnya, sendirian itu adalah status jomblo. Hihihi. Kini ia sudah berada di dalam taksi lagi menuju Kuala Lumpur International Airport untuk penerbangan pulang ke Jakarta. Ada rasa tak ingin meninggalkan negara ini tapi tak mungkin. Pekerjaannya yang menggunung di Jakarta sana sudah menanti. Ia menghela nafas usai terhenyak lama menatap gelapnya malam yang hanya diterangi lampu-lampu gedung, kendaraan juga lampu lalu lintas. Perjalanan malam ini sangat lancar meski suasana lalu lintas tampak padat. Ia sejujurnya masih ingin tinggal di sini karena merasa nyaman. Tapi, sayangnya ia tak punya rumah di sini. Yang ada hanya rumah Opa tapi letaknya jauh dari pusat kota. Opa memang memiliki beberapa rumah yang tersebar di beberapa wilayah di Malaysia, seperti di Kuala Lumpur, Melaka, Johor Bahru, Ipoh dan Penang. Hanya saja, mereka jarang datang ke sini karena kesibukan di Jakarta. Opa saja jarang pulang meski ada beberapa saudara Opa yang masih tinggal di sini. Tak lama, taksi yang membawanya pun tiba kembali di bandara. Dina keluar usai membayar taksi kemudian berjalan masuk ke dalam bandara yang suasananya tak beda jauh dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Indonesia. Usai check in, ia menyempatkan diri untuk membeli beberapa coklat tambahan sebagai santapan di pesawat juga jajanan geng krucil. Omong-omong, Adel selalu mengiriminya pesan untuk tak lupa membawa oleh yang banyak untuk bocah itu. Gadis kecil itu tentu saja menggunakan ponsel Tantenya untuk mengiriminya pesan. Hal yang membuatnya cukup terhibur selama perjalanan di Turki dan Austria. @@@ Pukul 11.00 A.M di New York. Tampak seorang lelaki atletis baru saja menyelonjorkan kakinya kemudian mengulurkan kedua tangannya. Tubuhnya agak pegal usai duduk lama di kursi sembari berdiskusi dengan klien yang hendak membangun kafe kecil dan membutuhkan jasanya untuk mendekorasi kafe itu. Setelah berjam-jam penuh perdebatan karena si klien memang banyak mau, ia akhirnya bisa santai sejenak. Ia keluar dari ruangan kecilnya. Ketika membuka pintu, ia tak mendapati satu-satunya pegawai perempuan di kantor mungil ini duduk di kursi. Perempuan itu tentu saja bekerja padanya dengan tugas berlipat ganda, mulai dari administrasi hingga tukang bersih-bersih. Kadang juga memaksakannya beragam makanan. "Where is Eline, Joe?" tanyanya begitu tiba di depan pintu masuk. Joe adalah karyawan lain yang biasanya bertugas membantunya membuat desain. Tapi dijam-jam seperti ini, ia memilih santai sejenak. "Love don't cost a thing except a lot of tears, a broken heart, and wasted years," tuturnya yang membuat lelaki itu tertawa kecil. Semenjak Joe bergabung di sini bersamanya dan kedua sahabatnya, suasana ceria mulai menyambar. Karena lelaki puitis ini memang hobi sekali mengungkapkan sesuatu dengan kalimat-kalimat yang banyak tersebar di internet. Katanya, kata-kata itu menarik hatinya yang sedang gelisah juga merindukan seseorang yang dicintai meski belum pernah ditemui. Dan lelaki ini selalu paham maknanya. Barangkali Eline sedang galau jadi memutuskan untuk pulang sebentar? Entah berapa jam tapi biasanya, gadis itu akan kembali lagi ke sini. "Well, I will go to the cafe. Do you want to join with me?" "Who will cutcher the chicken then?" Lelaki itu tertawa. Oke-oke. Akhirnya ia pergi sendirian dan Joe akan menjaga kantornya yang katanya lebih mirip kandang ayam di New Zealand. Maksudnya, kantornya kandang ayam. Karena isi di dalamnya memang agak berantakan. Terlebih lantai di atasnya. Bah! Ia berjalan selama lima menit menuju kafe yang menjual beragam dessert dan juga kopi. Ia hanya memesan kopi kesukaannya, yaitu Americano dan sepoton kue coklat yang ia bawa ke meja di mana ia biasanya duduk. Ia sudah menjadi langganan di kafe kecil ini selama hampir dua tahun. Ya, dua tahun. Rasanya ia sudah tinggal lama sekali di sini. Padahal baru dua tahun. Ia ingat perjuangannya untuk bertahan hidup di sini tidak lah mudah. Karena ia harus memulai semuanya dari nol bahkan hingga hampir bangkrut namun tertolong dalam setahun terakhir ini. Ia hanya bisa banyak-banyak bersyukur karena Allah masih selalu ada dan selalu menolongnya ketika ia membutuhkan. "Is that all?" tanya seseorang yang memakai celemek ala pelayan di sini. Lelaki itu menoleh lantas tersenyum tipis. "Enough," jawabnya dengan senyuman tipis. "Are you sure? Is there anything else I can help you with today?" Adit menggeleng, masih dengan senyuman tipisnya. Ia berusaha menghargai perempuan baik hati ini yang katanya tertarik padanya sejak tiga bulan terakhir. "Okay! If you need something, just call me!" serunya lantas mengedipkan mata kemudian kembali bekerja sebelum dipelototi lelaki berjakun di ujung sana, manajernya. Sementara lelaki ini kembali menoleh ke arah jendela. Ia datang ke sini dua tahun lalu, tidak dalam niat untuk mencari pendamping hidup. Ia justru datang ke sini untuk melupakan kenangan pahit yang pernah ada. Dan lagi, ia sudah tak berniat untuk jatuh cinta lagi dalam waktu dekat. @@@ Pukul 23.00 WIB di Jakarta. Zakiya mendongak ketika ia baru tiba di rumah. Rumah belum sepi. Papa dan Mamanya belum tidur. Selain sengaja menunggunya pulang, kegiatan mereka setiap malam memang seperti itu. Baru akan tidur ketika menjelang jam dua belas malam. Mungkin ini cara menghabiskan waktu kebersamaan di malam hari. Apalagi anak-anak mereka tampak sibuk di luar rumah. Andra? Tentu saja sibuk bekerja di kantor dan biasanya dilanjutkan dengan menongkrong bersama teman-temannya hingga hampir jam delapan malam. Lalu baru pulang ke rumah. Kalau Zakiya? Sibuk di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hanya saja, hari ini ia memiliki jadwal rapat bertemu anggota DPR RI untuk membahas peraturan terbaru terkait perempuan dan anak-anak. Setelah itu dilanjutkan dengan makan bersama timnya sesama anggota juga pemimpin LSM. "Itu Abangmu, gimana kelanjutan hubungannya sama Dina?" tanya Mamanya begitu Zakiya masuk. Ia hanya mengendikan bahu usai menyalami keduanya kemudian berjalan menaiki tangga. Ia mana tahu persoalan itu. Abangnya tak terlihat gila seperti jatuh cinta pada perempuan yang dulu. Jadi ia merasa kalau Dina ya hanya perempuan biasa yang sama dengan perempuan lainnya ketika Abangnya dikabarkan dekat. Meski, yang ini lebih intens. Saat Andra baru keluar dari kamar, Zakiya baru hendak masuk ke kamarnya. Keduanya berpapasan di depan kamar masing-masing yang memang posisinya berhadapan. "Benar itu?" tanya Andra yang membuat Zakiya mengerutkan kening. Tapi alih-alih meladeni ia malah membuka pintu kamarnya. "Abang dengar ada yang ngajak kenalan. Apa ta'aruf itu ya? Tadi Mama bilang," tuturnya mulai bawel. Siapa pun lelaki yang berurusan dengan Zakiya pasti akan berurusan dengannya. Termasuk mantan teranyar Zakiya, Yogi. Ia mendengus mendengar itu. Ya, memang ada lelaki yang ingin menyeriusi tapi sejujurnya, Zakiya tak tertarik-tertarik amat. Mamanya tahu karena mulut ember sahabatnya yang datang beberapa hari yang lalu ke rumah ini. "Udah Zakiya tolak," tuturnya lantas masuk ke kamar mandi. Andra menghela nafas lantas geleng-geleng kepala kemudian berjalan keluar dari kamar Zakiya. "Udah ditolak katanya, Ma!" serunya yang membuat Zakiya mengaduh di kamar mandi. Rasanya, ia ingin sekali menjitak kepala Abangnya itu. "Ditolak?" ulang Mamanya dan Andra mengangguk sambil menuruni tangga. "Kapan menikahnya kalian berdua ini," keluhnya yang membuat suaminya tertawa sementara Andra mendengus. Ia bosan mendengarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Belum ada perempuan yang mau dengannya. Hihihi. Terakhir, ketika ia berbicara dengan nada bercanda untuk mengajak Dina ke pelaminan, ia habis dihajar perempuan itu. Oke, mungkin ia berbicara dengan agak sembarangan saat itu tapi kalau memang Dina mau, ia tak keberatan sebetulnya. Hihihi. @@@ Pukul 23.00 WIB di Cibubur. "Rehat, Dok?" sapa salah satu perawat. Ia hanya berdeham lantas membalik badan menuju ruangannya sendiri usai rusuh di Instalasinya Gawat Darurat. Biasa, ada korban kecelakaan tadi jadi ia sangat sibuk di sana. Dua jam setelah itu, ia baru keluar dan kini agak santai. Meski tidak yakin juga. Jam-jam seperti ini biasanya akan lebih padat. Ia sampai bosan mendengar suara sirine yang selalu berbunyi. Tapi bukan kah memang sudah begini resikonya? Ia sendiri yang memilih untuk memutuskan menjadi dokter hingga membawanya bertemu dengan salah satu perempuan..... Ia menghentikan pikiran itu. Ia menolak untuk memutar kenangan penuh luka. Ia tak mau mengingatnya lagi. Perjuangannya mengejar hati selama dua tahun berbuah luka yang kini darahnya masih deras mengalir. Ia tak pernah jatuh cinta sedalam ini dan seyakin ini untuk mengajak ke pelaminan. Tapi semua harus kandas di tengah jalan. Bahkan mungkin tidak sampai setengah jalan karena memang semua dijalani dengan setengah hati oleh orang itu. Jangan sebut namanya. Ia masih sakit hati mendalam tentang itu. "Serem amat auranya. Dia gak lagi berantem sama ceweknya kan?" tutur perawat yang tadi bertanya ramah pada teman lain yang juga perawat. Temannya itu hanya mengendikan bahu. Dokter yang satu itu terlalu misterius. Tapi entah kenapa menarik hati. Misteriusnya itu justru membuat daya tarik tersendiri. Namun sayangnya, ia sudah mendengar kalau lelaki itu sudah punya pacar yang juga berprofesi sebagai dokter. "Kalau pun iya, gue berharap mereka putus," tuturnya yang membuat temannya ternganga. Kemudian keduanya tertawa kecil. "Iya sih. Tapi gue lihat ceweknya cantik." Ia mengangguk-angguk kepala, setuju dengan pernyataan itu. "Temen gue yang perawat ada juga yang kerja satu rumah sakit sama ceweknya. Katanya banyak yang gak suka sama cewek itu." "Oh ya? Kenapa?" "Agak sombong. Kalau salah selalu nyalahin orang lain. Temen gue juga pernah kena dan katanya sudah banyak yang kena. Sayangnya, info itu masih belum ada yang berani lapor ke atasan." "Kenapa?" "Ada desas-desus yang bilang kalau dia anak salah satu petinggi rumah sakit." "Oh ya? Terus?" Ia hanya mengendikan bahu. Tak tahu bagaimana kelanjutannya. Sementara lelaki yang mereka bicarakan baru saja duduk di kursi sembari menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Sayang, sudah makan? @@@ "Aaaaaaaaaaaa," itu teriakan heboh geng rusuh yang disambut suara terompet yang ditiup Ferril, Tata dan Rain. Karena menjelang tahun baru, jadi banyak yang jual terompet di jalanan. Mereka hanya membeli beberapa untuk membuat bandara berisik. Toh, bandara tak ramai-ramai amat malam ini. Meski yah, banyak penumpang yang mengamati kelakuan mereka yang heboh membawa karton bertuliskan selamat untuk Dina atas debutnya sebagai pembawa acara religi di salah satu televisi. Dina tentu saja terkekeh lantas berlari dan memeluk para sepupunya. Suara terompet masih terus berbunyi dengan berisiknya, tak lupa rekaman snapgram yang dilakukan Anne yang tentu saja dengan paksaan Rain. Soalnya, ia ogah memegang karton-karton itu atau membunyikan terompet. Kalau Ando sih pasrah aja memegang karton karena paksaan istrinya. Usai bergembira ria yang mengakibatkan beberapa satpam mulai berdatangan karena mereka tak kunjung bubar, akhirnya mereka berjalan juga menuju parkiran. "Gimana bule-bule di Turki, Kaak? Lebih cakep gaaak?" Biasa, Rain penasaran. Dina cuma terkekeh. Ia tak tertarik. Meski di Wina juga yang bertemu yang ganteng. Yeah, adiknya Aesha itu. Meski nampaknya lelaki itu tertarik padanya, ia tak bergeming. Entah lah, mungkin rasanya yang telah beku untuk satu orang jadi sulit untuk melupakan. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN