The Blue Mosque
Dua tahun kemudian.
Blue Mosque, Turki.
Ya, Dina tak pernah menyangka bahwa akhirnya ia akan ada di dalamnya. Berjalan mengitari masjid di hari terkahirnya di Turki. Masjid ini merupakan saksi bisu sejarah kejayaan Kekaisaran Ottoman yang pernah berdiri di Negara Turki. Hal yang membuat Dina tak berhenti bersyukur disertai lelehan air mata yang menghangatkan pipi. Ia masih tak pernah menyangka bahwa akan berdiri disini, sendiri. Ya, sendiri.
Setahun lalu, Dina bahkan belum terlalu sembuh dari luka dan kisah pahit yang dialaminya. Entah tentang cinta, tentang hati dan jalan hidup yang berliku dengan ujian yang mungkin tak seberapa dibanding kebanyakan orang lainnya. Tapi itu lah takdirnya. Takdir yang harus ia jalani dengan sabar dan tawakal kepada-Nya. Hingga dalam setahun ia kerahkan semua kekuatannya untuk menapaki hidupnya yang berat dengan hanya berbekal cinta-Nya. Berpasrah pada keadaan dan takdir yang tak peduli dengan deritanya. Terus menghujamnya hingga ia bisa berdiri saat ini di depan masjid biru yang indah, ditanah dimana Islam pernah sangat berjaya. Dan ia bangga menjadi seseorang yang memeluk agama Allah ini.
Berdiri di depan masjid ini, seolah membuatnya berputar pada kenangan tentang bagaimana ia bangkit dari keterpurukan cinta. Hingga akhirnya ia bisa berdiri disini, sendiri dengan disaksikan pencipta-Nya. Hal yang justru baru ia sadari kenapa hidupnya begitu pelik bertahun-tahun belakang. Kenapa? Karena Allah ingin membuat hidupnya lebih baik dan lebih bermanfaat tidak hanya untuknya tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Atau bahkan ia sudah melakukan hal yang lebih dari itu?
Sekali lagi, Dina mengabadikan foto masjid itu. Dilanjutkan dengan mengambil fotonya sendiri berbekal pertolongan orang-orang yang lewat di sekitarnya. Dengan senyum cantik, jilbab yang terlilit rapi di leher, mantel yang tebal karena dingin, dan sepatu boot cantik berwarna marun. Penampilannya yang sekarang bak model, cantik dan menawan. Jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Walau yah, ia memang tak pernah ketinggalan tren tetapi kali ini lebih keren dari itu. Sampai-sampai satu keluarga besarnya pun terus memuji penampilannya yang makin hari makin cantik dan ceria.
"Thank you," ucapnya lantas membiarkan perempuan itu pergi usai mengambil fotonya. Ia sangat berterima kasih karena foto cantiknya dengan background Blue Mosque terekam rapi di dalam kamera. Tak lupa, ia juga mengecek foto-foto yang diambil sebelumnya. Setelah puas, ia segera membereskan kameranya dan merapikan tasnya. Baru akan berjalan, ponselnya bergetar. Muncul satu nama yang membuatnya tersenyum.
"Assalamualaikum, paaaa!"
Yeah, tentu saja papa posesifnya sangat aktif menghubungi. Menilik ia yang begitu jauh dari papanya yang berada di Indonesia. Ah, apa ada yang menyadari? Bagaimana bisa Dina ke Turki sendiri? Padahal dulu untuk sekedar ke Bandung sendiri pun, sangat sulit mendapat izin dari papanya.
Yeah hanya dalam setahun kehidupannya berubah berkat-Nya.
@@@
Ardan menguap lebar usai solat subuh. Alhamdulillah, solat subuhnya sudah jarang bolong. Efek usia bertambah dan tentu saja ia yang semakin rajin ikut kajian meski sempat surut dua tahun belakang. Kini semangatnya mulai kembali. Sesubuh ini, ia sudah keluar dari kamarnya. Matanya melirik ke suara televisi yang terdengar tak asing. Kakinya melangkah dengan pelan lalu berbelok ke ruang keluarga dimana suara televisi itu berasal. Begitu duduk dan menyimak, benar saja. Itu suara saudara kembarnya yang baru saja mengenalkan desa muslim kecil di Yunani. Papanya sudah duduk sambil tersenyum, tak henti menatap anak gadisnya yang cantik sekali di televisi sana. Aisha? Mama mereka yang masih cantik itu juga tersenyum. Akhirnya, episode pertama Dina membawakan acara religi muslim di Eropa tayang juga. Setelah dua bulan ini gadis itu tak kunjung pulang karena harus syuting. Yeah, ada perjalanan panjang selama setahun ini hingga Dina sampai dititik ini. Dititik yang tak pernah ia sangka bahkan tak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi seperti ini.
Berawal dari menjadi brand model baju Tiara yang semakin dikenal, dilanjutkan dengan brand-brand lain yang datang silih berganti menawari. Awalnya, ia hanya ingin membantu Tiara karena dipaksa sepupunya itu. Eh, malah berakhir berkarir. Walau sempat kesulitan bernegosiasi dengan papanya tapi berkat bujukan mamanya, akhirnya diizinkan. Yang tentu saja ada persyaratan. Dina tak boleh mengambil banyak pekerjaan yang menyita waktu. Sebelum ditawari menjadi pembawa acara religi ini, ia sempat ditawari casting untuk film Islami tapi ditolaknya. Ia merasa tak bisa akting dan tentu saja papanya tak akan mengijinkan untuk menjadi artis sinetron. Papanya memikirkan banyak hal termasuk tentang bagaimana akting itu dilakukan yang tentu melibatkan banyak pemain yang tidak hanya perempuan. Ia berpikir kelak anaknya akan menikah dengan seorang lelaki. Dan apakah lelaki itu akan bisa menerima profesinya?
Lalu apa kabar toko rotinya? Masih ada dan terurus dengan sangat baik. Bahkan Ardan membuka beberapa cabang di Bandung, Surabaya, Malang dan Solo. Dina hanya mengurusnya sesekali. Tetapi Ardan memantaunya secara penuh. Karena sesuai kesepakatan, Dina memberikan sebagian usahanya pada Ardan. Alasannya karena saat membangun, Ardan juga memberikan modalnya. Jadi sudah sepantasnya Ardan juga mendapat bagian.
Sementara di Istanbul sana, Dina baru saja menyelesaikan tahajudnya. Kini sedang berdoa, meminta kepada Allah untuk kehidupan yang lebih baik. Meski belum berani meminta pendamping hidup lantaran ia berpikir dan merasa masih belum cukup puas dengan waktu yang ia habiskan dengan kesendiriannya bersama Allah. Sebelum nanti, bertiga dengannya dan Allah diantaranya.
"Dina kapan pulang, Pa?"
"Minggu depan sepertinya."
"Lama banget," keluh Ardan yang disambut tawa Aisha.
"Dekat digangguin, jauh dikangenin," tutur Aisha.
Yeah, namanya juga saudara. Apalagi ia dan Dina kan selalu bersama. Tak pernah jauh satu sama lain. Jadi aneh saja rasanya rumahnya sesepi ini dua bulan ini. Berasa anak tunggal.
@@@
Aaaaaaa curaaaaaang ???
Komentar pertama datang dari Farras usai ia meng-upload foto Blue Mosque di belakangnya. Sepupunya itu sejak awal ingin menemaninya syuting tapi tentu saja tak kan diijinkan suaminya. Apalagi Dina syuting bukan dua-tiga hari tapi dua bulan. Kini, Dina sudah bertolak ke bandara menuju tempat terakhir yang akan ia kunjungi. Bukan untuk syuting tentu saja karena syutingnya sudah selesai di Turki. Kini ia berangkat sendirian, diluar dari izin papanya karena tentu saja tak akan diberikan izin jika Wira tahu. Jadi, ia terpaksa pergi diam-diam.
Oleeeh-oleeeh jangan lupaaa
Biasa, itu Tiara. Sepupunya yang satu itu selalu minta dibelikan oleh-oleh berupa tempelan kulkas di setiap negara yang dikunjungi Dina. Alasannya, biar jadi doa. Biar ia juga punya waktu suatu saat nanti untuk datang kesana bersama suami dan anaknya. Eaaaak!
Din, jangan lupa pesanan guee
Itu Fasha. Yah, sepupunya itu. Mereka sangat-sangat akrab dan dekat sekarang. Kalau sedang tak ada kerjaan, Fasha akan datang menjemput Dina untuk mengajaknya jalan-jalan. Lebih tepatnya, Dina yang mengarahkan tempat tujuan mereka karena Fasha yang gila kerja itu tak tahu apa-apa tentang tempat tongkrongan anak jaman sekarang. Selain itu, Fasha sudah mulai berbicara banyak hal kecuali tentang satu hal yang sangat dihindari Dina. Fasha tak akan membicarakan itu karena ia memahami Dina. Selain itu, apa ada yang berbeda dari Fasha? Sejauh ini, tidak ada. Gadis itu hanya lebih terbuka pada Dina. Bahkan sering curhat pada Rain dan perlahan mulai sering berbicara tentang isi hatinya pada ibunya. Ah, mungkin itu perubahan pesat ya? Tapi ya begitu lah hidup. Seiring ujian yang terus menimpa dan permasalahan yang selalu ada, dapat membuat seseorang berubah.
Kaaak, titip bule satu dibungkus yaaak!
Itu Rain. Komentar ngaconya itu membuat Dina terkekeh. Kini gadis itu menghela nafas. Ia hanya membaca semua komentar itu tanpa membalasnya. Kemudian menyimpan ponselnya di dalam saku, menatap ke arah luar dimana pesawat satu per satu datang tak terparkir termasuk pesawat yang akan dinaikinya. Panggilan boarding membuatnya beranjak dari bangku sambil menenteng tasnya.
Sampai jumpa lagi, Turki, ucapnya dalam hati. Ia tentu tak akan melupakan kenangan yang terekam disini. Meski hanya tiga hari. Ia sangat menyukai Turki.
@@@
Di belahan bumi lain, seorang lelaki menatap apa yang baru saja di upload Dina itu dengan senyuman dan helaan nafas. Rasanya lama sekali ia tak melihat senyuman gadis itu. Yah, lama sekali. Mungkin karena ia yang baru punya keberanian untuk membuka kembali akun instagramnya yang sempat hilang seperti pemiliknya. Pergi jauh, memulai kehidupan baru dan kisah cinta yang baru.
Di Asia Timur, lelaki lain tersenyum lantas mengirim pesan pada si gadis yang ia lihat postingannya. Mengatakan agar gadis itu hati-hati di negara orang karena banyak penculikan, katanya. Padahal ia hanya ingin menghibur diri saja. Kadang masih agak senewen kalau melihat satu perempuan yang mengomentari postingan Dina. Hanya membuka luka lama saja.
Di Jakarta, ada seorang lelaki yang hanya tersenyum tulus. Hanya kebetulan membuka akunnya saja dan langsung muncul postingan Dina. Ia hanya tersenyum kemudian menyimpan ponselnya kembali. Ia sudah berdamai dengan masa lalu bersama gadis itu. Meski akhirnya kecewa, ia terus belajar menerima. Yah, jika memang bukan akhir yang ia inginkan, bukan kan sebuah penerimaan terhadap kenyataan lebih baik?
@@@