Ardan berkacak pinggang melihat siapa yang datang. Siapa? Tentu saja Andra.
"Wes! Wes!" ledek Andra yang bahkan baru saja turun dari mobil. Ia hendak menemui Dina disela-sela pekerjaan. Berhubung sedang meeting di sekitar toko rotinya jadi ia sekalian mampir. Toh meeting-nya sudah selesai dan ia malas jika harus kembali ke kantor meski ada banyak pekerjaan. Tapi pekerjaan itu bisa ia selesai kan nanti. "Mana si Dina?"
Ardan mendengus mendengarnya. Ia mengacungkan tangan, menyuruh Andra duduk di kursi, tepat di hadapannya.
"Lo serius gak ada hubungan apapun sama Pras?"
Mendengar itu, Andra malah tertawa. Tapi Ardan malah menatap sangat serius. Baginya ini adalah persoalan yang sangat penting. Ia tak mau saudara kembar sablengnya terluka lagi karena Pras.
"Sejelek-jeleknya Pras masih tetap sahabat gue. Tapi udah gak ada hubungan lagi sama Dina. Semua udah punya urusannya masing-masing."
Ardan menarik nafas dalam mendneganrya. Ia tau. Tapi ia tetap perlu waspada kan? Tak semata-mata percaya begitu saja dengan Andra meski selama beberapa minggu ke belakang, Andra bisa dipercaya. Toh ia juga sudah lama mengenal Andra. Menurutmu, Andra itu keren kalau urusannya persahabatan. Karena seburuk apapun tingkahnya Pras, Andra itu tetap setia. Meski terkadang sering terkena imbasnya.
"Jadi lo gak usah khawatir."
Ardan berdeham mendengarnya. "Terus ngapain lo terus-terusan ketemu Dina?"
Andra terkekeh. Ia tau kalau suatu saat Ardan pasti akan mendatanginya dan bertanya hal seperti ini. Tapi yang tak ia sangka adalah ia yang malah tak sengaja mendatangi Ardan di sini.
"Lo kenal gue lama, Dan."
Andra hanya bilang begitu dan Ardan langsung paham. "Gue cuma mau ingetin. Kalo gak niat serius, jangan deketin semua cewek."
Andra terkekeh mendengar itu. "Jangan kan semua, satu aja gak punya."
Ya sih. Ardan mengakui persoalan itu. Tapi masalahnya....
"Jangan terlalu ramah sama semua cewek."
"Elo juga heh!" ingatnya yang membuat Ardan mendengus. Ardan sih tak seramah itu. Ia hanya gokil dan memang sableng. Jadi ya cewek-cewek suka karena ia humoris. Suka bukan berarti sebagai bentuk rasa sayang atau cinta. Tapi, kalau gak ada Ardan itu gak lawak, itu istilahnya. Ia kan agen lawak di sekolah juga korban bully-an dari para guru. Coba saja tanya satu angkatannya di SMA, semua anak-anak itu tahu kalau Ardan sering menjadi sasaran empuk para guru untuk diminta maju ke depan. Karena wajah seriusnya kadang terlihat seperti sedang mengantuk.
"Dulu, si Dina beneran dekat sama si Adit?"
Akhirnya Andra menanyakan hal itu. Sejujurnya, ia sangat ingin tahu karena ia ingat sekali kejadian di kantor polisi di mana Adit dan Pras bertengkar. Ia hanya penasaran karena Adit tampak cemburu dengan kehadiran Pras. Padahal setahunya, Adittak dekat dengan Dina tapi dengan Fasha.
"Bukan urusan lo lah," tutur Ardan. Padahal mereka sudah lama mengobrol usai urusan yang nyaris menjadi baku hantam tadi. Ardan tampak mengaduk-aduk jus yang tadi dibuatkan oleh karyawan Dina.
"Gue kan cuma nanya. Bukan berarti mau ikut campur, Dan."
Ardan menghela nafas. Ia tahu sih. Tapi tetap saja, ia agak sensitif jika ada lelaki yang bertanya-tanya tentang urusan asmara Dina. Wajar kan? Ia kan saudara serahimnya. Meski bukan ia yang dilukai, tapi ia juga bisa merasakan sakitnya.
Andra menghela nafas mengingat kejadian itu. Ia sedang menyetir mobil saat ini. Baru saja ia pulang dari toko roti Dina. Ia menunggu hampir sejam tapi Dina tak kunjung datang hingga karyawan Dina bilang untuk pulang saja karena Dina akan lama. Jadi, ia terpaksa pulang. Tadinya, ia baru saja selesai meeting kemudian hendak mampir sebentar di toko rotinya tapi sang empunya tak ada di sana. Tapi sebetulnya ada yang membuatnya lebih sesak ketika ia baru saja menyalakan mesin mobil tadi. Apa yang membuatnya sesak?
Tentu saja perempuan bergamis dengan jilbab panjangnya yang baru saja keluar dari mobil dan masuk ke dalam toko roti milik Dina. Ia sampai meremas setirnya saat tak sengaja melihat wajah perempuan cantik itu. Cantik sekali malah. Sayangnya, tak bisa ia miliki karena takdir?
Aaah, takdir. Ini mengingatkannya pada nasehat-nasehat kebawelan dari Zakiya yang tampak prihatin dengan nasib percintaannya yang mengenaskan. Adiknya itu bilang....
"Itu tandanya Allah sayang sama Abang! Buktinya, Abang tidak dijodohkan dengan perempuan itu karena takutnya, ada mudaratnya. Atau bisa jadi, Abang yang tak bisa membimbingnya. Bisa jadi juga, keluarganya gak cocok sama keluarga kita dan sebagainya, Bang!"
Itu kata-kata Zakiya yang hanya membuatnya menghela nafas hingga saat ini. Baginya, bukannya karena perempuan itu tidak cocok dengannya. Tapi mungkin, terlalu baik untuknya. Itu yang ia rasa. Karena ketika melihatnya berubah sedemikian rupa, Andra sadar betul lelaki seperti apa yang lebih cocok untuk menjadi pendamping hidupnya. Meski kecewa namun ia sadar diri. Barangkali memang tak sesuai dengan kapasitasnya. Tapi satu hal, ia tak pernah menyesal karena pernah mencintai.
@@@
Kening Ardan mengerut begitu turun dari kamarnya. Ia tak melihar kemunculan saudara kembar sablengnya ada di dapur bersama Mamanya sepetti biasa. Lantas Dina ke mana?
"Dina mana, Ma?" tanyanya sambil menarik kursi. Papanya masih di atas dan sedang bersiap-siap. Pagi ini mereka punya acar a penting yang akan dihadiri.
"Udah berangkat dari subuh. Katanya ada pesanan di rumah sakit. Jadi harus ngurusin itu."
Oooh. Ardan mengangguk-angguk. Semua keluarganya memang begitu. Ketika tahu Dina membuka roti, mereka selalu membeli dari sana. Apapun acaranya, roti bermerk Ardan itu menjadi santapan. Bahkan untuk persediaan di rumah, para Tantenya selalu membeli dari toko rotinya. Kadang ia juga yang mengantarnya sesekali ketika Dina tak sempat. Ia tak keberatan melakukannya karena ia juga punya saham kan di sana? Meski sebetulnya, ia mengikhlaskan semua dana yang ia berikan pada Dina. Tapi ia tak memberitahu gadis itu. Baginya, uang itu tak seberapa besar dibandingkan dengan kasih sayang saudara. Bukan kah kasih sayang itu lebih mahal harganya?
Begitu membalik tubuh, Aisha baru sadar kalau anaknya sangat rapi pagi ini. Mana memakai jas pula kan keren. Hal yang membuat Aisha malah terkekeh alih-alih memuji Ardan yang agak-agak ganteng pagi ini.
"Tumben pakek jas segala," celetuk Aisha. Perempuan itu meletakan sepiring nasi goreng di atas meja makan. Kemudian mengisi air putih di dalam setiap gelas.
"Ada acara, Ma," sahut Ardan. Ia sih tak sadar kalau diperhatikan karena sibuk dengan ponselnya. Sementara Papanya baru saja turun dan sarapan pagi ini dimulai. Setengah jam kemudian, Ardan pamit untuk berangkat terlebih dahulu sementara Papanya akan menyusul usai mengantar Mamanya ke rumah sakit.
Ardan menyalakan mesin motornya. Hari ini hari kerja. Jadi ia perlu lebih cepat sampai. Dan lagi, memang ada acara penting yang harus ia hadiri. Begitu keluar dari gerbang, matanya menyipit melihat seseorang berjalan kaki ke arah gerbang. Tidak sendirian. Perempuan berjalan kaki sambil menggendong anak perempuannya. Dari punggungnya saja, Ardan tahu siapa perempuan itu. Ia langsung memperlambat laju motornya tepat di samping perempuan yang sedang berjalan itu.
"Mau nebeng, Tal?" tawarnya.
Tal? Ya, Talitha. Perempuan yang pernah menjadi gebetan Ardan tapi sekarang semua hanya tinggal kenangan. Perempuan itu tersenyum ramah, seperti biasa. Baginyax Ardan memang selalu seperti ini. Selalu baik kepada siapa pun yang dikenal. Mau yang pernah enjadi gebetan atau tidak, Talitha tahu kalau sikap Ardan memang seperti ini sejak dulu.
"Gak usah, Dan. Duluan aja," tolaknya.
Ardan mengangguk lantas pamit berangkat duluan. Basa-basinya setiap bertemu Talitha memang tak sepanjang dulu. Apalagi kan Talitha sudah menikah dan punya anak. Rasanya sudah sangat berbeda. Meski terkadang, Ardan bisa merasa sedih ketika bertemu dengan perempuan itu. Ardan bukannya belum move on, ia hanya sulit melupakan. Apa bedanya?
Begini, belum melupakan bukan berarti masih mencintai. Meski dulu pernah mencintai Talitha, sekarang berbeda. Karena ia sadar betul jika Talitha bukan perempuan lajang yang bisa ia dekati seenaknya. Jadi untuk ini, ia memang benar-benar menyerah. Untuk apa mengejar milik orang lain? Ardan tak mau melakukan itu karena ia paham bahwa apa yang ditanam maka itu lah yang dituai. Makanya sekalipun ia belum bisa melupakan tapi ia sudah tak mencintai Talitha lagi. Buktinya? Hatinya tak sakit sih. Hanya ada perasaan 'nyess' aaja setiap melihat perempuan itu bersama suaminya. Ingat ya, hanya ketika Ardan tak sengaja bertemu dengan Talitha dan suaminya. Kalau hanya bertemu Talitha, perasaannya biasa saja. Ketika ia menawarkan bantuan pada perempuan itu pun, tidak lebih dari sebatas rasa kemanusiaan. Apalagi mereka tinggal di komplek yanh sama. Ya sampai saat ini Ardan tahunya kalau Talitha masih tinggal bersama orangtuanya karena sering bertemu.
Untuk kembali? Itu tidak mungkin. Karena bagi Ardan, ada banyak perempuan lain yang bisa ia cari dan ia jadi kan istri selain Talitha.
@@@
Ardan baru saja turun dari motor. Hari ini, ia sengaja membawa motor karena beberapa hari lalu ia terjebak macet. Dari pada ia terus terlambat, lebih baik cari aman dengan naik motor. Tapi khusus hari ini ia tak ke kantor. Hari ini, justru ia baru saja memarkirkan motornya di gedung kementerian. Soalnya, hari ini pengumuman pemenang desain ibukota baru. Ia sengaja datang karena disuruh Papanya dan sekalian emang pengen bolos kerja. Karena Ardan lagi jenuh bukannya lagi galau. Kalau galau sih gak usah ditanya! Hihihi!
Baru saja berjalan mendekati gedung, ia melihat Ferril turun dari motor abang ojek. Usai melepas helm, Ferril yang menyadari kehadiran Ardan dari kejauhan, bersiul-siul. Ia terkekeh sambil memperbaiki rambutnya dan tak lama Ardan sudah didekatnya.
"Tumben," komentar Ardan karena kedatangannya dengan ojek.
"Macet tadi. Kalo gue paksa naik mobil, bisa diomelin si om!" tuturnya lantas mengikuti Ardan yang sudah berjalan masuk.
Usai registrasi, keduanya segera berjalan masuk ke dalam lift. Ferril menaruh kedua tangan di dalam saku. Matanya melirik kesana-kemari, melihat pegawai negeri sipil yang turut masuk ke dalam lift bersama mereka. Ardan sih cuek-cuek aja. Padahal ia juga melirik. Kali aja kan ada yang ditaksir. Ya gak sih?
Saat pintu lift terbuka di lantai yang menjadi tempat tujuan, keduanya keluar dari lift. Ruangan yang sangat besar tersedia dan telah siap menyambut tamu yang merupakan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Fadli dan Regan juga hadir. Keduanya tentu saja tak sabar dengan pengumuman itu. Regan tentu sangat percaya diri. Ia sudah mempersiapkan dengan sangat-sangat sempurna untuk desain ibu kota baru.
Fasha yang sudah duduk anteng di sebelah ayahnya, melirik ke arah pintu masuk dimana Ardan dan Ferril celingak-celinguk. Gadis itu langsung mengangkat tangan, hal yang membuat Ferril menyadari kehadirannya. Kemudian menarik rambut Ardan, lebih tepatnya menjambak, untuk mengajaknya berjalan menuju Fasha. Ardan pasrah saja padahal ia sudah susah payah mengatur rambutnya. Yeah, walau tadi rusak juga gegara helm.
Lima menit kemudian Husein yang menjadi kepala proyek desain ini muncul dengan langkah-langkah yang sangat cepat. Karena suasana ruangan yang cukup penuh, membuatnya agak khawatir kalau acaranya sudah dimulai. Syukurnya, saat ia tiba tepat di sebelah Regan, pembawa acara baru mengecek microfon dan akan memulai acara.
@@@