Ini adalah hari terakhir bagi Ara untuk mengerjakan pesanan dari Andreas. Selama lima hari ini, Ara sangat lah sibuk, super super sibuk hingga tak punya waktu untuk sekedar bertengkar dengan Andreas. Ketika semua pesanan sudah jadi, ia langsung tepar tertidur. Dan sudah lima hari dia tidak mengaktifkan kembali ponselnya.
Ia memang melayani satu orang saja, tapi yang ia kerjakan itu satu toko dan ukuran satu toko Bella tidaklah main-main. Higon memborongnya dalam jumlah yang banyak. Terlebih, ini adalah kesempatan bagi Bella untuk meraup banyak untung dari Higon sebagai pengusaha kaya dan setiap harinya ia menyetok banyak sekali bunga, berdatangan silih berganti memasuki toko bunganya. Mau komplain atau sekedar memberikan saran, Ara segan karena dia hanyalah seorang florist, bukan pemiliknya. Namun, pada akhirnya akan membuatnya kelelahan tiada tara meski dibantu sekalipun oleh Bella. Seharian penuh berdiri, tangannya tak henti-henti merangkai bunga, kemudian setelah semuanya jadi, dimasukkan ke mobil untuk diantar ke alamat yang Higon inginkan. Sempat, pernah suatu waktu Ara menawarkan agar bunga itu tidak dirangkai, namun langsung di kirim, tapi pembeli tetaplah menjadi raja. Higon mengatakan kalau bunga itu harus tetap dirangkai oleh tangannya sendiri. Ara tidak punya pilihan lain selain menyetok banyak kesabaran, di samping ia menyetok banyak bunga.
Hanya saja ada yang sedikit perbedaan dimana Higon selalu ada di toko bunga itu. SEHARIAN!, bahkan sampai malam harinya ia tak meninggalkan toko bunga Bella. Seakan-akan toko itu sudah menjadi rumahnya. Ia tak santai begitu saja, ia juga membantu Ara sekaligus belajar cara merangkai bunga dari perempuan itu meski akan sangat sulit baginya. Seakan menjadikannya sebuah kesempatan untuk semakin mendekati Ara, Andreas tak suka dengan kehadiran Higon. Beberapa kali menganggu pria itu, tapi ia selalu gagal.
Poor you, Andreas!
Kini, Ara sedang mengajarkan Higon cara merangkai bunga. Ini sudah hari ketiga, tapi Higon tak bisa-bisa. Ia hanya melihat, namun enggan untuk mencoba. Itu artinya PERCUMA SAJA!.
"Sebenarnya saya cukup penasaran, apakah saya bisa menanyakan satu hal ini?" Tanya Ara, masih dengan nada suara yang formal. Ia tidak mengatakan aku-kamu pada Higon, meski mereka sudah dibilang 'sedikit dekat'. Ia menjaga ke-profesionalitasnya di hadapan pria ini.
"Jujur saja, aku sebenarnya tidak tau mau menaruhnya dimana. Aku tidak mungkin akan memenuhi rumahku dengan bunga-bunga, sedangkan aku sendiri tidak punya orang yang bisa membersihkannya. Kadang, aku membawanya ke kantorku dan memberikannya kepada semua karyawan ku, kadang pula ke rumah sakit dan memberikan satu bouquet bunga ini kepada para pasien supaya mereka tetap semangat. Tenang saja, aku bisa memastikan semua bunga yang kamu rangkai tidak akan sia-sia. Karena apa? Terlalu sayang untuk di sia-siakan!" Jawab Higon.
"Tapi, bagi satu pria, aku sangat mungkin untuk di sia-siakan." Batin Ara dan tersenyum, menertawakan dirinya sendiri, hanya sebentar saja.
Ara menatap Higon sebentar, lalu kembali fokus pada rangkaian bunganya. Ia baru saja menyelesaikan setengahnya. Sebenarnya, Ara sangat kelelahan saat ini. Pinggangnya sakit, kakinya kram berdiri terus, tapi ia tak boleh mengeluh begitu saja. Bella tak bisa membantunya karena pagi ini ia diantar oleh Andreas untuk pergi check-up.
"Anda tidak perlu berjanji seperti itu. Itu adalah hak Anda. Mau diperlakukan bagaimana pun, bukan menjadi urusan saya. Tugas saya hanya merangkai mereka, dan ketika itu sudah diserahkan ke tangan Anda, lakukan sesuka Anda. Tapi, alangkah baiknya jangan di sia-siakan begitu saja. Satu tangkai bunga pun akan sangat berharga bagi mereka yang membutuhkannya dan menyukainya." Ujar Ara.
"Hmm... Bunga apa yang paling Anda sukai?" Tanya Ara kembali.
Higon berpikir, kemudian dia melepas karangan bunga yang tak pernah jadi itu sampai setengah hari ini. Ia sulit mengerti dalam bidang ini, namun Ara tetap sabar mengajarinya. Ya mungkin sekali atau dua kali Ara mendumel sendiri dalam batinnya, namun ia tetap tersenyum dan sabar dalam menghadapi pria ini, membuat Higon semakin salah paham dengan sikapnya.
Higon beranjak menuju kumpulan bunga mawar, mengambil satu tangkai yang berwarna merah dan hendak kembali menghampiri Ara yang masih fokus dengan pekerjaannya. Ara tak menyadari bagaimana Higon menatapnya sekarang dari kejauhan. Sebelum benar-benar sampai di dekat Ara, Higon mengeluarkan ponselnya dan memotret Ara dari samping. Karena jujur saja, seperti kata orang-orang, aura perempuan akan semakin keluar dan terlihat beberapa seperti shining, shimmering, splendid kalau mereka sedang hamil. Tapi, tidak selamanya akan seperti itu.
Higon melihat kembali beberapa foto hasil jepretannya dan tanpa berpikir panjang menjadikannya sebagai wallpaper ponselnya. Hmm, ada apa gerangan pada pria yang satu ini?.
Dia sudah jatuh cinta pada Ara!. Nanti kita cerita tentang bagaimana itu bermula, ya?!.
Higon memberikan setangkai bunga mawar merah itu pada Ara sambil berkata, "ini untukmu. Ini adalah bunga yang paling aku sukai dan kini aku berikan padamu." Ucapnya dengan raut wajah yang begitu ceria.
Ara melihat bunga mawar itu, hanya tersenyum namun menggeleng. Ia menolak bunga pemberian dari Higon dengan telak. Hal itu membuat Higon penasaran dan sedikit kecewa, namun tetap bertanya, "memangnya kenapa? Kamu tidak suka bunga mawar merah, ya?. Aku pikir semua perempuan suka ini. Atau kamu suka bunga Li--"
"Saya suka bunga mawar ini, tapi saya tidak menerima arti dari bunga itu dari Anda. Sebelumnya, terimakasih." Ujar Ara menyeka ucapan Higon.
"Lalu bunga yang harus aku berikan padamu, bunga jenis apa?" Tanya Higon, terlalu memaksakan diri dengan bertanya langsung pada orang yang akan dia berikan bunga itu.
Ara melihat ke kanan-kiri, melihat letak bunga yang sekarang ada di dalam pikirannya. Setelah menemukan letak bunga itu, ia menunjuknya seraya berkata, "Anda bisa memberikan saya bunga mawar yang berwarna kuning atau orange itu. Itu lebih baik untuk saya terima dari Anda." Jawab Ara seadanya. Ia tak berbohong ataupun membual.
Kini, Ara yang di Australia, tidak lagi Ara yang ada di Jakarta. Di sini, ia paham bagaimana susahnya menjalani hidup, meski ia diberikan fasilitas penuh oleh Bella layaknya keluarga, tapi di jauh dari keluarganya yang sebenarnya demi sebuah nama besar keluarganya yang harus ia jaga kesuciannya. Sedangkan kalau di Jakarta, ia menjadi anak yang paling manja untuk kedua orangtuanya dan kakaknya, sekaligus menjadi adik menyebalkan untuk Edward.
Higon paham dan mengerti dengan posisi yang Ara sudah tunjukkan padanya. Dengan cepat mengambil bunga mawar yang berwarna orange, dan dengan cepat pula membawakannya untuk Ara. "Ini, ambilah. Tapi, apa beda dari mawar merah dengan mawar orange ini apa ya selain dari segi warna?" Tanya Higon dengan polos. Ia mungkin pintar dalam bisnis, tapi baru dalam hal per-BUNGA-an. Ya, namanya juga hidup.
Ara menerima bunga mawar orange itu dan tangan terbuka dan menatap Higon. "Maaf kalau arti dari bunga itu membuat Anda menjadi tidak nyaman, dan maaf pula telah menolak pemberian Anda sebelumnya." Ujar Ara tidak enak hati pada Higon.
"Jadi, bunga mawar yang berwarna merah ini melambangkan cinta abadi, sedangkan untuk yang berwarna orange ini lebih ke persahabatan atau pertemanan. Dengan menerima ini, saya harap kita bisa tetap menjadi teman meski Anda sudah tak lagi membeli bunga di toko bunga kami." Lanjut Ara lagi.
Higon terdiam. Ia menatap bunga mawar yang berwarna orange dan merah itu bergantian dengan sorot mata yang nanar. Ia sedikit kecewa setelah mengetahui arti bunga itu. Secara tidak langsung, ia ditolak telak oleh Ara, dan hanya diterima dari segi pertemanan saja. Tapi, tidak lama dari itu ia tersenyum dan memberikan tangannya.
"Kalau begitu, mari berteman. Panggil aku dengan namaku, dan jangan menggunakan kata 'saya' ataupun 'Anda' lagi. Bagaimana?" Tawar Higon.
Ara melihat tangan Higon yang mengudara, menyambutnya seraya berkata, "Iya. Mari berteman. Tapi, sepertinya saya akan butuh waktu tidak tidak lagi menggunakan kata saya-Anda. Tolong di maklumi." Pinta Ara. Padahal biasanya ketika di Jakarta, ia mudah sekali menggunakan kata aku-kamu, bahkan lo-gue.
"Tidak masalah." Ujar Higon, tetap memberikan senyum terbaiknya.
Sabar ya, Higon. Kehadiranmu baru lima hari, pantas dikalahkan dengan pria yang sudah dikenal Ara bertahun-tahun. Kamu harus banyak bersabar lagi, dan tentu saja menyetok banyak kesabaran. Kalau perlu lebih banyak dari bunga yang kamu pesan lima hari ini.
***
Sedangkan di sisi lain, ada pasangan suami-istri yang sedang berbahagia karena kabar kehamilan. Bukankah semua pasangan akan sangat senang ketika mendapati kabar yang seperti ini?. Ini seperti jalan menuju kesempurnaan keluarga yang sebentar lagi tercapai.
Ken selalu memanjakan Kasandra, melakukan apapun yang perempuan itu pinta darinya. Kalau dia tidak melakukannya, maka mungkin saja nantinya anaknya akan ileran atau ngeces. Sebuah mitos yang sangat melegenda, tapi keduanya percaya dengan hal itu.
Seharusnya sekarang Ken sudah ada di tempat pemotretan untuk projek film terbarunya, tapi Kasandra tidak membiarkan Ken untuk pergi dengan alasan kalau ia sedang mengalami morning sickness dan tidak mau ditinggal olehnya. Entah bagaimana caranya untuk melakukan sebuah drama muntah ataupun mual hingga Ken percaya dengannya, tapi semuanya tetaplah kebohongan besar.
Dan kini, keduanya sedang bersantai-santai ria didepan televisi, saling peluk satu sama lain, memberikan kehangatan satu sama lain pula di depan benda persegi panjang itu. Seharusnya, mereka akan pergi honeymoon. Tapi, karena Kasandra sedang 'hamil', maka hal itu tidak bisa dilanjutkan. Terpaksa, berdiam di rumah lebih baik.
"Sayang, aku lapar." Rengek Kasandra seperti anak kecil. Hal itu membuat Ken gemas dengannya.
"Sebentar. Aku pesankan makanan dulu." Ucap Ken. Dia mengambil ponselnya dan mulai memesan makanan siap antar. Namun, tangannya langsung ditarik oleh Kasandra, menunjukan kemanjaannya.
"Kamu yang buatkan aku, gak boleh pesan makanan." Ucap Kasandra dengan nada yang manja.
"T-tapi kan aku tidak bisa masak, sayang. Nanti makanannya tidak enak. Bukannya membuatmu kenyang, malah membuatmu sakit nantinya. Aku gak mau ah, lebih baik pesan saja." Tolak Ken. Dia hendak mengambil ponselnya lagi, tapi Kasandra sudah dengan cepat membuangnya. Untung saja jatuhnya tidak ke lantai keramik itu, melainkan ke karpet bulu yang ada di bawah mereka.
Kasandra terlihat sedih. Matanya berlinangan air mata. Melihat wajah istrinya yang demikian, pada akhirnya Ken mengangguk pasrah. Ia tak punya opsi lain.
"Oke, aku akan melakukannya. Tapi, jangan salahkan aku kalau nanti hasilnya tidak se-enak dengan makanan yang ada di restaurant." Ujar Ken.
"Iya!" Kata Kasandra, memberikan semangat pada Ken dengan kepalan tangannya. Sebelum beranjak, Ken mengecup kening istrinya singkat.
Ken beranjak pergi ke dapur. Sebenarnya, letak dapurnya di rumah ini tidak jauh dari tempatnya bersantai tadi. Itu terletak tepat di depannya. Tidak memiliki sekat tembok, sehingga kini Kasandra bisa melihat Ken dengan begitu mudahnya.
Mungkin kalau Ken tidak di suruh memasak oleh Kasandra, selamanya dapur itu tidak akan berfungsi. Meski Kasandra menjadi seorang istri, ia tak pernah memasak. Setiap hari memesan makanan, atau paling tidak keluar untuk makan bersama. Begitu terus setiap harinya.
Iya, dia tidak bisa memasak. Baginya, memasak hanya akan merusak cat kukunya yang sangat cantik, yang sudah ia pelihara dan mengeluarkan banyak uang untuk mempercantiknya. Dengan memasak akan membuatnya terluka, membuat tangannya menjadi kasar, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Dia sangat beruntung memiliki suami seperti Ken yang tidak memaksanya menjadi seorang perempuan yang istriable.
Ada yang mau gak jadi istri Ken?. Hehe...
Baru saja Ken hendak membuka kulkas, terdengar suara ketukan pintu. Ia mengurungkan niatnya, dan beranjak ke pintu itu untuk melihat siapa sebenarnya yang bertamu. Kasandra menyusulnya, menggandeng tangannya dengan mesra.
Ceklek.
"Edward? Kenapa kamu kemari?. Kamu bisa menelponku kalau ada kepentingan." Tanya Ken kebingungan dengan kehadiran Edward yang tiba-tiba.
Dengan raut wajah yang khawatir, Edward berkata, "Apakah Ara sudah pernah menelpon atau menghubungi mu?" Tanya Edward. Tangannya bergetar, ketakutan.
Baru saja Ken hendak menjawab, Kasandra menyela, "Untuk apa dia menghubungi suamiku?. Bukan kah dia sedang kuliah di Amerika?" Tanya Kasandra, terselip nada sinis di dalamnya.
"Sayang, kamu masuk aja dulu ke dalam. Aku mau bicara dengan Edward. Sebentar saja, tak sampai satu jam." Ujar Ken, menyuruh Kasandra untuk masuk dan tidak menganggu keduanya.
"Please." Ujar Ken lagi.
Dengan sebal, Kasandra menuruti permintaan suaminya. Dia meninggalkan Ken dan Edward di luar rumah.
"Pernahkah dia menghubungimu lagi?" Tanya Edward.
Ken menggeleng, "dia tidak pernah menghubungiku lagi, Ed. Dia sendiri yang bilang kalau dia memblokir kontak ku. Memangnya kenapa?" Tanya Ken.
"Aku sudah menghubunginya dari tiga hari yang lalu, tapi tidak dibalas sedikit pun. Dia juga tidak menghubungiku balik, bahkan nomornya tidak aktif. Karena khawatir, aku menyusulnya ke Amerika. Dia tidak ada di sana, bahkan aku bertanya ke pihak kampus. Tapi, namanya tidak ada, dia tidak menjadi mahasiswi di kampus itu. Dan ini aku baru saja kembali dari sana. Aku belum memberitahu mama sama papa. Bagaimana ini, Ken?" Tanya Ed. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, memegang tangan Ken seperti memohon pada pria itu.
Ken kebingungan dengan sikap Edward sekarang. "Kamu pasti tahu apa yang terjadi dengan adikku. Please, Ken, dia lebih mempercayaimu dibandingkan denganku sebagai kakaknya. Kalau kamu tahu sesuatu, katakan padaku. Aku mengkhawatirkannya sekarang ini." Ungkap Edward, bahkan nada suaranya pun juga ikut bergetar.
Ken mulai dilanda kebingungan lagi sekaligus kesal atas perihal ini. "Ada apa dengan gadis itu. Merepotkan saja!" Batin Ken.
"Tapi, aku tidak tahu apapun, Ed!" Ujar Ken.
Seketika, tangan Ed melemah. Ia berbalik, dan beranjak ke mobilnya. Masuk dengan perasaan yang kecewa. Tidak lama, mobilnya meninggalkan pelataran rumah Ken.
"Ck!. Kalau dia sampai berbohong seperti itu, artinya ia benar-benar hamil. Siapa yang menghamilinya? Kenapa dia tidak mau mengakuinya?. Kalau terus seperti ini kan yang susah orangtua dan keluarganya, bukan dia. Untung saja aku tidak langsung percaya dengan ucapannya. Aku hampir terjerumus pada kesalahan yang ia perbuat sendiri dengan pria lain. Dasar gadis labil!" Gumam Ken dan masuk ke dalam rumahnya.
***
Sebagai bentuk rasa terimakasih Bella pada Higon, dia mengundang pria itu untuk ikut makan malam bersama dengannya. Higon sangat senang dan tentu saja menerima tawaran itu.
Andreas dan Higon berebutan duduk di dekat Ara, hingga membuat keributan. Hal itu membuat Bella semakin merasa pusing, hingga akhirnya ia memutuskan kalau Andreas saja yang pindah ke depan televisi. Pria malang itu harus makan malam sendiri, sedangkan yang lainnya makan malam dengan hangat. Dunia memang tidak berpihak pada Andreas, sepertinya.
And again, poor you, Andreas!.
"Makan yang banyak, Ara. Ini juga untuk kandunganmu." Ucap Higon.
"Terimakasih." Jawab Ara.
Waktu berlalu, dan mereka semua sudah selesai makan. Biasanya, setelah selesai makan, Ara sendiri lah yang akan membersihkan semua kekacauan itu. Mulai dari membersihkan meja makan, hingga membersihkan piring yang kotor.
"Ara?"
"Hmm?" Sontak, Ara berbalik ketika mendengar dirinya di sebut. Ia melihat Higon yang mendekatinya.
"Ada apa?" Tanya Ara. Dia sedikit merasa hati-hati dengan pria yang satu ini.
"Kira-kira, kalau aku menikahimu dan siap bertanggung jawab dengan kehamilanmu, apakah kamu mau?" Tanya Higon.
Ara sontak terdiam, namun hanya sebentar. Dia langsung menjawab, "TIDAK!"
"Kenapa?" Tanya Higon spontan.
"Saya tidak mau membuat orang yang tak seharusnya bertanggung jawab, harus menanggungnya. Saya lebih baik melakukanya sendiri, dibandingkan membuat yang lainnya kerepotan. Maaf, sepertinya Anda telah salah paham dengan perlakuan saya selama ini. Saya hanya menganggap Anda sebagai teman, tidak lebih." Ujar Ara, berbalik dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk membersihkan piring.
Higon sudah di tolak telak!. Tidak jauh dari itu, terdengar suara tawa Andreas.