Bab 1. Modal Nekat Demi Idola
Arabela Grizelle atau sering dipanggil Ara, gadis dengan tubuh kecil mungil, alis tipis dengan mata yang memikat, bola mata hitam berpadu dengan bulu mata lentik ya, hidung tipis mancung dan dihias dengan bibir merah jambu, berjalan mengikuti seorang pria dengan tubuh atletis yang setiap langkahnya mengeluarkan sumpah serapahnya untuk Ara.
Pria itu adalah kakaknya. Berbeda 6 tahun dengan sang kakak, tak urung membuat pesonanya luntur seketika. Bahkan, ketika ia menyusuri lorong kampus ini pun, banyak perempuan yang menatapnya kagum. Ia begitu terkenal di kampus ini, kebetulan ia juga seorang alumni.
Dengan rambut lurus warna hitam legam yang di kuncir kuda, Ara seperti anak kecil mengikuti sang kakak. Ia tak mengindahkan setiap sumpah serapah sang kakak, malah ia membalasnya namun tak bersuara. Berulang kali ini terjadi sampai-sampai sang kakak malu untuk datang kesekian kalinya dengan alasan yang tetap sama.
"Berulang kali kakak bilang, kalau mereka tak suka denganmu, jangan dipancing lagi. Masa iya selang dua minggu kakak datang kesini seperti langgan*n aja. Kakak gak habis pikir sama kamu, kenapa sih kamu gak mau nurut sama kakak?. Untungnya aku yang dipanggil ke kampus, bukan mama sama papa. Kalau sampai mereka yang kesini, kamu bisa gak dikasi uang jajan satu tahun lho, Ara!."
"Pokoknya ini terakhir kali. Kalau dua Minggu lagi kamu melakukan hal yang sama, kakak akan memohon sama mama dan papa agar nama kamu di coret dari keluarga. Memalukan nama keluarga aja!"
Begitulah kata demi kata yang terlontar dari sang kakak yang tak bisa menahan amarahnya, sekaligus kebingungannya terhadap kelakuan sang adik. Dengan kesal, ia membuka pintu untuk Ara, namun gadis itu malah berpaling ke pintu mobil dari sisi yang berbeda.
"Ara! Kakak sudah buka ini untukmu. Balik!" Kesal sang kakak. Habis marah-marah penuh emosi, berapi-api, tapi sang adik malah tak mengindahkan setiap ucapannya.
Ara memeletkan lidahnya. "Kak Ed, calm down!. Nanti cepet tua lho kalau marah-marah terus kayak gitu. Coba kakak kayak kak Ken. Sabar, gak pernah marah, ganteng pula!. Lah, kakak? Udah tua, suka marah-marah, gak punya pasangan, di tinggal nikah!. Hahaha, kasihan banget sih nasib kakak." Ejek Ara, masuk ke dalam mobil.
Ed, atau Edward Freddy tidak percaya dengan apa yang dikatakan adiknya. Saking tidak percayanya, cukup lama terdiam membatu memikirkan kebenaran yang dikatakan Ara. Masalah tua? Ia tidak tua-tua amat. Ia baru saja menginjak kepala tiga, akan tetapi dia mapan, mengelola perusahaan sang papa. Emosian? Itu semua terjadi karena sang adik yang tak pernah membuatnya tenang sedikit saja. Ia tidak hanya emosian di kampus saja karena dipanggil, tapi juga di rumah. Ara selalu mancingnya untuk bertengkar, bahkan disaat-saat ia fokus untuk bekerja.
Masalah pasangan? Edward sedikit jera dengan apa yang ia dapati. Dua tahun yang lalu, ia mengajak pacarnya untuk menikah, di tolak telak. Ke-esokan harinya, dia mendapat kabar kalau pacarnya itu sudah lamaran dengan pria lain. Naasnya lagi, pria itu saingan beratnya di dunia kerja. Kecewa dengan hal itu membuat Edward tidak lagi menjadikan pasangan sebagai prioritas, terlebih adiknya yang nakal ini membuatnya pusing untuk sekedar mencari pacar.
"Kak Ed! Masuk lah. Kita mau pulang, kan? Atau aku yang bawa mobil kakak? Nanti kakak naik taksi aja." Tanya Ara dari dalam mobil.
Mencoba sabar, Ed menghela nafas kasar. Ia memang tak habis pikir dengan kelakuan sang adik yang nakalnya tak terhingga. Namun, ia tak akan habis pikir lagi kalau bagaimana pun dia marah pada Ara, dia akan tetap peduli.
"Kakak mau ke kantor sebentar buat ambil laporan. Kalau kamu mau, kamu bisa naik taksi nanti di depan kantor." Kata Ed, memasang sabuk pengaman. Ia mulai menghidupkan mesin mobil, melihat dari kaca spion belakang agar tidak terjadi tabrakan nantinya.
"Oh tentu tidak!. Aku akan tetap ikut sama kakak, ngusilin kakak, buat kakak emosian tiap detik sampai semua pori-pori wajah kakak melebar, keluar jerawat yang banyak sampai jadi jelek. Nah, baru setelah itu Ara berhenti ngusilin kakak." Ucap Ara dengan sangat lancar.
"Terserah mu, dek. Apalah daya kakak yang selalu minum obat penurun tensi karena kamu. Tiap kali ke kampus tekanan darah kakak selalu tinggi, gimana jadinya kalau mama sama papa yang dipanggil?" Jawab Ed sangat santai. Ini bukanlah hal yang baru bagi Ed. Kata Ara yang sebelumnya sudah sangat sering dikatakan oleh Ara, sampai rasanya ia hapal betul dengan kata per kata kalimat itu.
"Nanti Ara minta pihak kampus buat sedia-in obat penurun tensi buat kakak. Khusus untuk kakak, Ara siapin satu box deh!. Biar gak bosan ke kampus jemput Ara kalau lagi ada masalah, hehe..."
Ed geleng-geleng kepala dengan tingkah laku sang adik. Di tengah emosinya yang tak terhingga ini, oleh orang yang sama ia bisa tersenyum geli. Amarah yang tadi dirasakannya, seakan sudah menguap ke permukaan dengan begitu saja.
"Memangnya kali ini masalahmu apalagi, dek?. Tidak mungkin masalah Ken lagi, kan?"
Mendengar nama Ken di sebut, mata Ara sontak membulat. Senyumnya merekah sempurna. Ia langsung melepaskan tas dan melempar ponselnya. Modal nekad, ia beralih ke kursi depan dari celah di tengah.
"Ada apa sih? Hati-hati!" Ujar Ed khawatir dengan adiknya yang kelewatan aktif.
"Kakak kok bisa tahu kalau kali ini masalahnya karena kak Ken lagi?" Tanya Ara dengan sorot mata yang berbinar. Ia menunggu jawaban kakaknya, sedangkan Ed sudah jengah. Sebenarnya, ia sudah muak mendengar nama Ken disebut oleh adiknya. Sahabatnya itu membuat adiknya berubah menjadi gadis gila.
Ed tidak menjawab. Dia mengabaikan tatapan adiknya. Sengaja memutar musik dengan volume yang cukup tinggi agar sang adik lupa, nyatanya itu percuma saja. Ara langsung menghentikan alunan musik itu.
"Jadi ini beneran karena Ken lagi? Si aktor itu?" Tanya Ed dengan nada sewot. Dengan nada yang kurang bersahabat seperti itu, ia mendapatkan pukulan manja dari Ara, tepat di bagian bisepnya.
"Meski dia aktor dan kakak adalah bosnya, tapi kakak juga jangan lupa kalau dia itu sahabat kakak. Kakak juga gak akan sukses seperti sekarang tanpa dirinya. Dasar gak tau diri!" Kesal Ara.
"Lagian, kamu sih kekanakan banget. Kamu itu udah gak kecil lagi, Ara. Kamu udah kuliah, gak pantas berantem dengan temanmu hanya karena Ken. Toh kalian juga belum tentu bisa mendapatkannya. Orang dia punya pacar, kok!"
Mendengar itu, Ara syok. Ia tidak tahu dan sangat tidak terima kalau Ken, aktor tampan favoritnya sudah punya pacar. Bagi mereka sesama penggemar Ken, pria itu adalah milik bersama. Bukan milik satu perempuan yang beruntung, namun membuat perempuan lainnya merasa buntung.
"Darimana kakak tahu? Setahu kami para KMners, dia belum punya pacar. Kak Ken itu milik kami bersama!" Ara begitu tak terima dengan apa yang dikatakan oleh sang kakak.
Ed hanya mengangkat bahunya. Ia tak perduli dengan argumen Ara tentang Ken ataupun dengan para penggemarnya itu. Meski bagaimana pun panjang dan lebar Ed menjelaskannya nanti, ujung-ujungnya adiknya ini tidak akan menerima apa yang dia katakan.
"Kakak ada bukti?" Tanya Ara lagi. Dia begitu penasaran, sekaligus merasa kecewa. Dengan cepat Ed mengangguk. "Kamu lihat saja nanti di kantor. Di jam makan siang seperti ini, dia sering makan siang dengan pacarnya. Tapi kamu jangan macam-macam, ini rahasia perusahaan. Jangan sampai hal ini bocor ke publik."
"Enak saja. Sekalinya milik bersama, harus milik bersama. Tapi, kalau bisa jadi milik Ara seorang, deh. Tuhan, kak Ken untuk Ara aja, ya? Jangan untuk penggemar yang lain." Pinta Ara pada Tuhan, melangitkan doa dengan tingkat keseriusan yang tinggi.
"Oke." Ujar Ara berbohong.
Setelah ini, Ara selalu saja diam. Ia memikirkan tentang bagaimana rupa pacar idolanya. Apakah lebih cantik darinya? Lebih imut darinya? Lebih baik darinya?. Sepanjang perjalanan, ia selalu gelisah memikirkan hal itu.
Tak mau pusing sendiri, Ara mengambil ponselnya yang tadi dibuangnya di kursi penumpang. Langsung membuka grup khusus penggemar Ken. Mengetikkan sesuatu yang seharusnya hanya dia yang mengetahuinya.
~•~
PENGUMUMAN!
INI URGENT PAKE BANGET!
Sedetik yang lalu gue baru dapat informasi dari internal. Katanya, si ganteng bak dewa, idola kita, sudah punya PACAR!. Sekarang gue lagi otw ke TKP, mau liat secantik apa sih pacarnya.
Intinya kita gak boleh kalah. Kita harus bersatu demi kepemilikan bersama. Kalian harus dukung dan doa-in gue. Semoga ini hoax.
Salam sayang,
Istri Halunya Babang Ken
~•~
Ara mengirimkan pesan cinta itu ke grup dengan anggota ratusan ribu. Seketika pesan yang tadi dikirimnya mendapatkan banyak respon. Banyak yang membalas tidak terima, mengirim emotikon sedih, bahkan sampai mengirimkan emotikon pisau. Tidak hanya disitu saja, seketika akunnya kebanjiran. Tidak hanya satu atau dua saja yang mengirim pesan padanya, tapi banyak sampai dia sendiri bingung mau menjawabnya dari mana.
Saking banyaknya, ia menjadi emosi. Tangannya lelah mengetik, membalas pesan satu per satu. Alhasil, ia kembali memberikan pengumuman di grup.
~•~
DEAR KAWAN SEPERJUANGAN GUE,
STOP KIRIM DM KE GUE LAGI YA...
GUE SEDANG OTW KE TKP
KALAU KALIAN TETAP MENGIRIMKAN DM KE GUE, TERPAKSA GUE GAK JADI KE SANA. KALAU GUE GAK KE SANA, KALIAN MATI PENASARAN, KAN?. JADI, STOP YA...
SEKIAN,
SALAM SAYANG,
ISTRI HALUNYA BABANG KEN
~•~
Ara mengirimkan itu benar-benar dengan huruf kapital semua. dan ada satu hal yang paling tidak bisa dia lupakan adalah di akhir setiap pesan yang ia kirim, selalu memberikan jejak 'Istri Halunya Babang Ken'. Hanya dia yang melakukan hal itu, bahkan semua ponselnya sudah penuh dengan foto-foto dari aktor itu.
Tidak lama, akhirnya mobil Ed sampai di depan kantor perusahaannya yang bergerak di bidang entertainment. Berkat Ed, setelah ia mengelola perusahaan papanya, perusahaannya berhasil nangkring di posisi kedua, karena posisi pertama ditempati oleh suami dari mantan pacarnya. Hal itu membuatnya semakin semangat untuk merebut posisi teratas.
"Kak, cepetan. Jangan kayak siput!" Teriak Ara, menunggu sang kakak di depan pintu lobi. Sebenarnya ia bisa saja langsung masuk, namun tak elok sekali rasanya kalau berjalan sendirian.
"Sebentar!" Teriak Ed. Ia menekan tombol dari kunci mobilnya, dan berlari menghampiri sang adik dengan cepat.
"Lambat banget!" Kesal Ara ketika Ed sudah di dekatnya. Ia seberani itu untuk membentak kakaknya sendiri.
Sudah merasa biasa, Ed mengabaikannya. Ia tak mau ambil pusing yang pada akhirnya nanti akan membuatnya kalah juga. Apalagi kalau orangtuanya tahu, sudah pasti adiknya yang di dukung meski sebesar apapun itu salahnya pada sang kakak.
"Kak, kak Ken mana?" Tanya Ara, matanya bergerak lincah mencari keberadaan idolanya. Ia seperti anak hilang, mencari keberadaan orangtunya yang entah berada di belahan dunia mana.
Ed menarik tangan adiknya menuju lift. "Nanti kakak kasih tahu. Sekarang ikut kakak ke atas dulu cari berkasnya. Masalah Ken itu sangat gampang!"
Ara menoyor kepala sang kakak. Untungnya pria itu tidak terjedot ketika hendak masuk ke dalam lift. "Dasar si Ed! Gue tendang baru tau rasa Lo!. Udah tahu lagi penasaran pake banget, malah dibilang nanti-nanti. Pantas aja di tinggal nikah." Kesal Ara.
"Tuhan, sabarkan aku dalam menghadapi adik kurang ajar seperti Ara. Sumpah, aku juga ingin memukulnya, tapi aku gak mau ditendang dari nama keluarga. Beri aku petunjuk, Tuhan." Ujar Ed, dalam hatinya. Ia berusaha sabar untuk melawan sang adik.
Pintu lift sudah terbuka. Keduanya sampai di lantai tempat ruangan Ed berada. "Ayo! Cuman sebentar. Habis itu kakak kasih tahu dimana Ken." Ajak Ed. Ia memegang tangan adiknya, yang mana langsung ditarik kembali oleh sang adik.
Ed menatap Ara kebingungan, tidak habis pikir dengan adiknya ini. "Kenapa?" Tanya Ed, masih mencoba bersabar. Hari ini saja, sudah berapa banyak kali ia mengelus d**a, mencoba untuk bersabar dengan kelakuan sang adik.
"Ara mau disini aja. Biar gak lelah jalan ke ruangan kakak. Ujung-ujungnya nanti balik lagi kesini, kan?. Menghemat tenaga." Ucap Ara kelewatan santai.
Ed sudah membuang kesabarannya. Ia benar-benar meninggalkan adiknya. Saat ia sampai di depan pintu ruang kerjanya, ia berbalik dan melihat sang adik yang juga sedang menatapnya. "Gak masuk?" Tanya Ed memastikan.
Ara menggeleng. Ia memeletkan lidat pada Ed dan melengos begitu saja. The real Tom and Jerry ada pada kedua adik-kakak ini.
"Ken ada di dalam, bego!" Teriak Ed. Sontak, Ara membulatkan mata, berlari menuju ruangan Ed.
Terlambat. Ed lebih dulu menutupnya, menguncinya dari dalam. Ia mengabaikan teriakan adiknya dari luar. Ketukan pintu yang sangat tidak sabar itu terdengar dengan sangat jelas, namun tak mampu membuat Ed membukakan pintu untuk sang adik.
"Kasihan dia, Ed. Bukakan saja untuknya," pinta seorang pria yang satu ruangan dengan Ed.
Ed menoleh ke arah pria tamban blasteran itu. Jujur saja, ketampanan Ed kalah dibandingkan dengan pria itu. Maka tak heran kalau dia memiliki banyak penggemar, terutama di kalangan perempuan.
Iya, dia lah Ken. Kenneth Malvin, seorang aktor yang sedang naik daun akhir-akhir setelah membintangi salah satu film layar lebar. Memiliki paras bak dewa, blasteran Indonesia-Jerman, punya tubuh yang terawat, dan poin utamanya dia juga bisa bernyanyi di samping menjadi seorang aktor. Maka tak heran kalau banyak perempuan yang akan meleleh ketika berada di dekatnya.
Di sampingnya, ada perempuan cantik keturunan Indonesia-Belanda. Ia adalah Kasandra Lamia, artis yang berada di bawah agensi Ed juga. Lain halnya dengan Ken yang fokus di bidang tarik suara dan akting, Kasandra atau yang sering dipanggil Aca ini menggeluti bidang permodelan. Punya tubuh yang bagus, adalah syarat utama masuk ke bidang itu. Maka jangan ragukan lagi bagaimana cantik dan sempurnanya seorang Kasandra Lamia.
"Sudah menunggu lama?" Tanya Ed, menghampiri keduanya. Ia duduk di depan Aca dan Ken.
"Sekitar tiga puluh menit yang lalu." Jawab Ken setelah melihat jam tangannya.
"Maaf telah membuat kalian menunggu lama. Kalau begitu mari kita mulai membicarakan kontraknya."
Baru saja Ed membuka pembicaraan dengan Ken dan Aca, suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini lebih buruk dari sebelumnya.
"Kak Ed! Buka!"
"Abaikan saja. Ayo kita mulai." Ujar Ed. Aca mengangguk setuju, namun berbeda dengan Ken yang memilih untuk memulai semuanya dengan suasana yang tenang. Dia membukakan pintu untuk Ara.
"Ed, woy!" Ucap Ara, membuang kesopanan yang ia miliki. Baru saja hendak mengetuk pintu lagi, pintu sudah dibuka oleh Ken, membuat Ara seketika terdiam dalam kekaguman menatap wajah Ken.
"Kak Ken..." Gumam Ara. Ia menunduk malu, pipinya sudah memanas tidak karuan. Sangat berbeda ketika di depan sang kakak dengan saat berada di depan Ken.
"Masuklah. Jangan buat keributan." Ucap Ken.
Ara mengangguk patuh. Ia masuk, langkahnya sangat lambat. Ia duduk di dekat Ed. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia melihat Aca yang sedang menatapnya dengan senyuman indah.
"Kasandra?"
Ara hampir saja berteriak. Sontak, dia menutup mulutnya. Berbisik pada sang kakak, "jangan bilang kalau Kasandra ini yang jadi pacar kak Ken?" Tanya Ara, berbisik.
Ed mengangguk.
"Mampus. Lawan gue berat banget. Kalem, elegan, cantik, anggun lagi. Lah gue? Tadi udah bar-bar gitu. Semoga kak Ken pura-pura budeg dengar gue teriak kayak tadi." Batin Ara. Ia tersenyum pada Aca, kemudian mengutuk dirinya sendiri.
***
Ara cemburu melihat sikap romantis Ken pada Aca. Dia hanya bisa berharap, halu di setiap detik nafasnya, berharap bisa memiliki Ken dan menjadikan pria itu sebagai pendampingnya. Namun kini, di depannya, ada satu perempuan beruntung yang sudah mendapatkan itu semua.
Apalagi ketika Ken hendak menyuapi Aca, ia malah ikut mangap. Berharap kalau makanan itu masuk ke mulutnya, yang mana dengan keadaan Ken lah yang menyuapinya.
"Apes banget gue. Pengen pulang... Gak tahan sakit hati!" Jeritnya dalam hati.
"Oke. Aku setuju." Ujar Ken. Ia menandatangani kontrak, yang kemudian setelahnya diberikan kepada Aca untuk ditandatangani juga.
"O iya, Ed. Aku bisa gak minta libur dua hari ke depan. Aku mau quality time dengan Aca sebelum acara ini dilanjutkan."
"Quality time? Dengan Ken. Tuhan, gue menginginkan hal ini sejak lama, tapi kenapa malah Kasandra yang mendapatkannya?. Gue kurang apa coba?. Pokoknya, kak Ed gak boleh mengizinkan mereka atau nanti gue nangis darah di dalam kamar. Gak mau tau. Pokoknya jangan!" Batin Ara, dimana hanya dia dan Tuhan yang tahu tentang keresahan hatinya saat ini.
"Boleh. Manajer kalian juga mengatakan kalau selama seminggu ke depan kosong. Enjoy ya! Aku senang lihat kalian bersama seperti ini." Ujar Ed, sangat berlawanan dengan apa yang diminta oleh Ara dalam hatinya.
Ara kesal. "Kakak be*o. Sukanya liat adiknya nangis kejer!. Sumpah, sampai di rumah nanti gue bongkar aib Lo yang suka pake boxer pink. Awas aja!" Cerca Ara untuk Ed dalam hati.
Ara selalu menatap kakaknya, dengan sorot mata yang tajam. Begitu juga dengan pria itu yang sudah merasa tak enak hati. Ia tak berani menoleh ke arah sang adik, atau nanti dia bisa menyesal dengan sendirinya.
"Memangnya kita mau kemana, Vin?" Tanya Aca.
"Vin? Hih, jelek banget nama panggilan sayangnya. Panggilan Ken, cakep kemana-mana!" Ujar Ara, dalam hati. Meski begitu, ia menunggu Ken untuk menjawab pertanyaan dari Aca.
"Ke Bali, gimana? Dua hari stay disana. Dekat pantai. Jalan-jalan sepuasnya. Menurutmu gimana, Ca?" Tanya Ken, tersenyum penuh manis pada Aca.
"Boleh." Jawab Aca.
"Pokoknya gue harus ikut. Gue gak mau tau. Gue harus satu pesawat, satu jalur, bahkan kalau bisa satu penginapan sama mereka. Apapun yang terjadi, intinya gue harus ikut. Titik!" Ujar Ara dalam hatinya. Sudah siap menyusun berbagai rencana untuk menghalangi keromantisan pasangan di depannya ini.
"Bagus juga tuh. Kalau gitu, aku tanggung tiket kalian. Ini bonus dari aku pribadi." Ujar Ed, kembali bertolak belakang dengan sang adik. Ed seperti sangat mendukung hubungan antara Ken dan Aca.
Mendengar hal itu, Ara kembali murka dengan sang kakak. Kali ini sudah tak bisa ditolerir lagi. Ia sudah sangat yakin kalau nanti malam dia harus mengumbar aib kakaknya yang pakai boxer warna pink.
"Mampus Lo sama gue nanti, kak. Malu sampai ke ubun-ubun Lo nanti!." Kata Ara, dalam hatinya.
***
Setelah mandi dan sudah siap tidur, Ara kembali teringat dengan rencananya tadi siang. Dia menunda untuk berbaring di ranjangnya, melainkan berjalan menuju kamar orangtuanya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar mama dan papanya.
Ia hanya melihat papanya saja yang ada di kasur, memainkan ponselnya. "Pa!" Panggil Ara, masuk ke dalam.
Ia langsung naik ke atas ranjang, memeluk sang papa dengan erat. Layaknya anak kecil, Ara memasang wajah cemberut, menatap papanya dengan puppy eyes.
"Ada apa, dek? Mau apa?" Tanya papanya langsung, mengerti dengan gelagat sang anak.
"Gini, pa. Kan ada temen Ara yang ulang tahun. Ara di undang, cuman ulang tahunnya di Bali. Ara boleh gak ke Bali untuk hadir di ulang tahunnya teman Ara?" Tangannya, sudah sangat jelas itu adalah kebohongan.
"Kapan ulangtahunnya?" Tanya sang papa. Ia melepas ponselnya dan kini fokus pada anak perempuan satu-satunya.
"Besok. Acaranya besok siang, jadi Ara harus berangkat pagi-pagi banget. Boleh kan, pa?" Jawabnya. Semakin meyakinkan sang papa, Ara semakin memanyunkan bibirnya.
"Adek ada uang jajan, gak?" Tanya sang papa.
Ara mengangguk.
"Yaudah, adek boleh ke sana. Tapi ingat, adek jangan lama-lama disana. Nanti mama, papa, sama kakak kangen adek. Oke?"
"Siap!"
***
Jam 4, Ara sudah bangun. Dia menyiapkan koper dan baju-baju yang akan dia butuhkan saat di sana nanti. Meski dengan modal kebohongan, ia tetap memantapkan niatnya untuk pergi kesana.
"Pokoknya kak Ken milik kita bersama. Kalau bisa, milik Ara seorang!" Gumamnya.
Ia sudah siap dengan semuanya. Tinggal berangkat dari rumah menuju bandara, tanpa sepengetahuan sang kakak.