"Mampus!. Kak Ed nelpon rajin banget!" Histeris Ara ketika mengaktifkan ponselnya. Ia kembali melihat pesan-pesan yang dikirim oleh Edward, hampir ratusan pesan dengan panggilan yang hampir sama hitungannya.
"Gila!. Pantes ni anak jomblo, posesif banget!" Gerutu Ara tidak habis pikir.
Matanya langsung syok ketika melihat pesan kakaknya yang mengatakan kalau dia sudah ada di Amerika untuk mencarinya. Semakin melotot lagi ketika membaca kalau kakaknya itu tidak mendapatkan namanya di kampus yang sudah ia beritahu sebelumnya. Kakaknya itu hanya belum tahu kalau Ara berbohong padanya dan keluarga.
"Gawat. Kayaknya aku harus hubungi si jomblo akut ini deh... Kalau gak nanti bisa gawat." Ungkap Ara.
Ia langsung menekan tombol panggilan video. Baru saja di deringan pertama, sudah langsung diangkat. Bahkan Ara pun sampai terkejut dengan kegesitan kakaknya yang satu ini.
Ara melambaikan tangan pada kakaknya sambil menyapanya. Dengan senyuman yang begitu merekah, agar tidak ada kecurigaan sedikitpun dari Edward. Bukannya mendapatkan lambaian tangan balik dari kakaknya, ia malah melihat kakaknya yang menangis layaknya anak kecil.
"Woy, kenapa nangis?!. Malu sama umur!" Ejek Ara.
"Kamu dimana dek?. Kakak udah cari kamu di kampus, tapi kamu tidak menjadi mahasiswi di sana. Sebenarnya dimana kamu sekarang? Jangan buat kakak khawatir. Kakak hampir saja gila, tahu gak?!" Ucap Edward, menangis di depan adiknya.
Ara tertawa, tapi dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri. Kini ia harus mencari alasan yang paling masuk akal untuk mengakali kakaknya.
"Ah, iya. Ara lupa kasih tahu kakak kalau Ara tidak diterima di kampus itu. Alhasil, Ara cari kampus lain. Kakak sendiri kan tahu kalau Ara ini gadis yang bodoh. Mau daftar di kampus yang terkenal, mana bisa?. Mimpi masuk sana, tapi gak kejadian, buat apa?. Lebih baik Ara cari kampus lain, kan?" Ujar Ara berbohong.
"Sumpah, kalau sampai kak Ed percaya, aku dah kayak buaya banget. Rayuannya mudah di percaya. Tolong!" Ujar Ara dalam hatinya.
"Iya. Kalau gitu, kamu kasih kakak alamat tempat tinggal kamu yang sekarang. Mungkin setelah teaser film Ken rilis, kakak mau susul kamu ke sana. Kakak mau pastikan kamu baik-baik saja disana." Ujar Edward, menghapus air matanya.
Sontak, Ara langsung menggeleng, menolak permintaan kakaknya. Kalau dia memberi salah satu alamat yang palsu pada kakaknya, bukankah itu hanya akan merugikan saja?. Jangankan ketemu, biaya untuk bolak-balik pun rasanya percuma. Karena apa? KARENA ARA TIDAK DI AMERIKA, MELAINKAN DI AUSTRALIA. ITU DUA BENUA YANG BERBEDA, DAN JARAKNYA PUN YANG BEGITU JAUH!
"Tidak perlu, kak. Ara sudah nyaman di sini. Tempat tinggal Ara baik-baik saja, kok. Ara punya tetangga yang baik hati, teman yang baik juga pada Ara. Kakak tidak perlu khawatir." Ujar Ara, memberikan senyum paksaan pada kakaknya.
"Yaudah, kakak lega mendengarnya. Tapi, kamu beneran nyaman ada di sana, kan?." Tanya Edward sekali lagi.
"Iya. Ara nyaman kok asalkan kakak sering-sering transferin Ara uang, sudah pasti aman sejahtera damai sentosa!" Ungkap Ara dengan begitu semangat, membuat Edward tertawa.
"Untunglah kakak belum kasih tahu mama sama papa. Kakak gak bisa jamin gimana reaksi mereka kalau tahu kamu tidak jadi disana, terlebih kamu tidak mengatakan apapun pada kakak. Mungkin mama dan papa akan menangis histeris di rumah. Kakak hanya tanya Ken, tapi dia bilang tidak tahu. Tumben sekali!" Ujar Edward, sekaligus mengejek adiknya. Karena biasanya Ara akan memberitahu Ken terlebih dahulu dibandingkan dengan kakaknya sendiri. Hal itu terkadang membuat Edward cemburu.
Mendengar nama Ken yang disebut, raut wajah Ara berubah. Ia kecewa setiap kali mendengar nama itu. Membuatnya ingin memutuskan panggilan video ini secepatnya.
"Yaudah, kak. Ara mau istirahat dulu. Di sini udah waktunya tidur, dan kakak juga harus istirahat, kan?. Jaga kesehatan kakak, ya." Ujar Ara mengakhiri percakapan singkat itu. Tanpa menunggu Edward menjawab, ia langsung menutupnya.
Ara menatap ponselnya, tangannya dengan lincah mencari nama Ken yang ada di antara kumpulan kontaknya. Menatap tajam kata 'blokir'. Berpikir, apakah ia harus membuka blokir itu atau tetap melakukannya.
"Sadar, Ara!. Dia itu sudah menikah!" Ujar Ara memperingati dirinya sendiri. Kemudian ia menonaktifkan ponselnya, menaruhnya di bawah bantal.
Membaringkan tubuhnya, dan mencoba untuk tertidur. Cukup lama, aktivitasnya cuma satu. Membolak-balikkan tubuhnya tidak jelas. Ia tidak bisa tertidur dengan cepat, sebelum melakukan satu hal ini.
"Aish! Merepotkan saja pria ini!" Kesal Ara, mengambil bingkai foto itu dibalik bantalnya. Ia menatap foto Ken yang tersenyum begitu manis di foto itu, membuatnya ikut tersenyum. Tangannya meraba wajah Ken seakan-akan ia benar-benar merasa wajah Ken yang asli.
"Sumpah, tergila-gila banget aku sama pria ini. Meski sudah menyakitiku, tapi entah kenapa hariku tidak bisa sempurna kalau tidak memeluk bingkai fotonya. Bagaimana kalau aku sampai memeluk orangnya secara langsung, bisa mati terbengong-bengong dong aku?!. Astaga... Tapi, aku harus berusaha untuk melupakannya, demi si baby." Ujar Ara terheran-heran pada dirinya sendiri. Ia memeluk bingkai foto itu gemas, dan tidak lama dia bisa tertidur.
***
Pagi ini, suatu keanehan terjadi. Baru saja Ara keluar dari kamarnya untuk bergabung sarapan dengan Bella dan Andreas, ia sudah melihat Higon ada di meja makan itu. Langkah Ara terhenti ketika melihat hal itu, terlebih senyuman dua pria itu seakan sedang bertanding sekarang. Iya, Higon dan Andreas sedang berlomba memperlihatkan senyuman siapa yang paling lebar.
"Bella, apa yang sedang terjadi?" Tanya Ara pada Bella, perlahan mendekati meja makan. Dia duduk di dekat Andreas, membuat pria itu seketika bersorak kegirangan.
"Aku menang!. Mana uang taruhan tadi!" Ujar Andreas, menengadahkan tangannya di depan Higon yang terlihat kesal.
Ara masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Dia menatap keduanya dengan keanehan yang hakiki, sekaligus bingung tiada tara. Terlebih, ketika melihat Higon yang mengeluarkan uangnya dari balik jas dan memberikannya kepada Andreas, membuatnya semakin kebingungan.
"Apa yang sedang terjadi dengan dua pria ini, Bella?" Tanya Ara lagi.
"Sulit untukku menjelaskannya, Ara. Tapi intinya, tadi malam Higon menghubungiku kalau dia membeli toko bunga ku dengan harga yang sangat mahal. Aku tidak bisa menolaknya, termasuk dengan dia yang mau tinggal di rumah ini." Jawab Bella santai, menaruh sarapan di atas meja.
"Aku sangat meminta maaf padamu," kata Bella lagi, dengan nada yang menyesal.
Ara tidak bisa mengatakan apapun, kecuali bersabar. Ia menghela nafas kasar, dan memijit kepalanya pening. Hal itu disadari oleh Andreas, dan dengan cepat mengambil alih tangan Ara untuk memijit kepala Ara.
"Pusing, ya?. Pasti si baby sedang lapar. Sarapan dulu, dan... Ini!"
Andreas memberikan uang yang tadi diberikan oleh Higon padanya. Tidak mau menerimanya, Ara kembali memberikan uang itu sembari berkata," aku tidak mau menerima uang dari hasil taruhan kalian. Kalian pikir aku apa?!" Ujar Ara menahan kesal.
Tidak mau menyerah begitu saja, Andreas kembali memberikannya. "Ini uang untukmu. Terserah mau dipakai buat apa. Anggap saja aku sedang memberikan uang belanja untukmu, layaknya pasangan suami-istri beneran!"
Ara melototkan matanya kepada Andreas yang tersenyum tanpa dosa. Kemudian ia melengos dan menatap Bella, "Bella, tidak bisakah aku tinggal di toko bunga saja? Sepertinya aku bisa gila di usiaku yang masih muda ini jika bertemu dengan mereka berdua terus setiap hari di rumah ini." Ujar Ara, dengan tatapan yang memelas. Bahkan suaranya yang terdengar pasrah.
Bella menatap Higon sembari menunjuk pria itu. "Kini, pemiliknya tidak lagi aku, Ara. Pemiliknya sekarang adalah Higon dan kita hanya sebagai pengurusnya saja. Semua keputusan ada di Higon." Jawab Bella, membuat Ara menyerah.
Ara menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya di atas meja. Ia menghentakkan kakinya kesal, sembari menggerutu, "aku mau pulang!. Kakak jemput aku!" Gerutu Ara.
"Tinggal di rumahku saja, Ara. Kalau kamu tinggal di sana, aku juga akan tinggal disana. Intinya, aku harus satu rumah denganmu!" Ujar Higon tiba-tiba.
"Kamu gila!. Kita bukan pasangan suami-isteri!" Bentak Ara langsung meluapkan amarahnya. Andreas yang tak siap mendengarnya pun terkejut bukan main.
"Kita bisa menikah." Ujar Higon dengan santai.
Ara memejamkan matanya menahan kesal, "aku tidak mau menikah denganmu. Sudah berulang kali aku mengatakannya!" Jawab Ara, awalnya dengan nada yang pelan, berubah menjadi keras.
Andreas menenangkan Ara dengan cara menaik-turunkan tangannya di belakang punggung Ara. Ia melakukanya sembari berbisik, "jangan marah. Ibu hamil tidak seharusnya emosi seperti ini. Percaya aku. Aku dokter kandungan." Bisik Higon.
"Kalian tahu ibu hamil tidak boleh stress, tapi kalian sendiri lah yang membuatku seperti ini. Astaga, aku tidak bisa marah lebih dari ini..." Geram Ara.
***
"Bisakah saya mendapatkan kontak Anda?" Tanya salah seorang pembeli yang kini sedang mengobrol dengan Ara.
Mulai dari hari ini, toko bunga Bella yang sudah menjadi milik Higon sudah kembali beroperasi dengan normal, dalam artian semuanya bukan lagi harus dikerjakan untuk Higon seorang diri.
Ara hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Lebih baik Anda simpan kontak dari toko bunga ini, dibandingkan dengan menyimpan kontak saya. Ini bunganya, semoga Anda menyukainya dan m bisa kembali membeli bunga di toko bunga kami." Ujar Ara sopan.
Bunga yang sudah ia rangkai sedemikian rupa cantiknya itu hanya diabaikan begitu saja lantaran Ara menolak permintaan pria itu. Ana masih mencoba untuk tetap sabar, tersenyum, namun perlakuan pria ini sangatlah kasar. Dia menepis bunga itu sambil mengata-ngatai Ara dengan kata yang kasar.
"Dasar perempuan murahan!" Bentaknya.
Ara mematung mendengar itu. Untuk pertama kalinya, Ara mendapatkan perlakuan yang demikian. Ia tak pernah dibentak sebelumnya, membuatnya tidak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini.
"Maaf, sepertinya Anda salah paham." Ujar Ara. Ia menunduk, merasa bersalah, meski dalam hati sangat tidak suka dengan apa yang pria ini lakukan.
"Kalau saya tidak mendapat--"
"Keluar dari toko saya." Ucap Higon dengan nada suara yang dingin, menyela orang itu. Ia datang tepat waktu, setelah sebelumnya mengatakan kalau dia harus mengurus sesuatu di luar. Namun, ketika ia datang, ia melihat Ara yang diperlakukan tidak baik oleh seorang pembeli.
Higon menatap pria itu dengan tatapan yang tajam, pula seakan meremehkan pria itu. Kalau dibanding-bandingkan, tampilan keduanya sangatlah berbeda. Higon yang memakai baju setelan jas lengkap, sedangkan pria itu yang memakai baju santai.
"Oh, jadi Anda pemilik toko bunga murahan ini?. Kalau begitu, katakan pada florist Anda ini untuk jangan terlalu jual mahal. Dia hanya seorang florist, jangan berlagak angkuh dengan tidak mau memberikan kami kontaknya." Ujar pria itu.
Mungkin, Higon terlihat begitu santai, belum meluap-luap. Tapi, di balik itu semua, ada kepalan tangan yang sudah siap berlabuh menyerang pria itu. Ia mencoba menahan, meski akan berakhir sulit.
"Untuk apa dia menghubungi Anda?. Jika tidak terlalu penting, silahkan ambil bunga Anda dan keluar dari toko bunga saya. Kalau Anda tidak punya uang untuk membayarnya, tidak apa. Bawa lah bunga itu, dan jangan kembali lagi!" Ucap Higon.
Pria itu malah tertawa. Ia menepuk bahu Higon, memajukan wajahnya dan berbisik, "tidakkah kamu sadar kalau florist mu ini sangatlah cantik dan memiliki tubuh yang bagus. Lagipula, pembeli adalah raja, maka dia bisa melayani kami termasuk dengan menyerahkan tub--"
Bugh!
Sontak, hal itu memicu keributan di dalam toko bunga ini. Higon melepaskan kekesalannya pada pria ini dengan memukulnya.
"Tolong hentikan mereka!" Teriak Ara, meminta pertolongan yang lain. Bukannya ada yang mau melerai, malah mereka seperti bertaruh dengan meneriaki salah satu nama diantara keduanya, yang menjadi jagoan mereka.
"Sumpah! Bukannya melerai, malah mendukung. Woy! Ini bukan ring tinju!" Teriak Ara dengan bahasa Indonesia, sehingga tidak ada yang mendengarnya.
Higon dan pria itu semakin panas, memukul satu sama lain. Kadang, Higon yang jadi atas dan melepaskan bomerangbya pada pria itu, begitupun sebaliknya ketika pria itu yang menduduki Higon.
Tidak lama dari itu, masuklah Andreas yang memanggil Ara. Dia begitu santai memasuki toko bunga, tanpa langsung histeris ketika melihat ada perseteruan yang terjadi di dalam toko itu. Mendekati Ara dan memberikan ponsel itu dengan santainya.
"Ada yang menelpon. Kamu lupa mengambilnya dari tas ku tadi pagi." Ujar Andreas.
"Andreas, cepat pisahkan mereka!" Ucap Ara. Dia menunjuk dua pria yang kini sedang bergelut.
"Biarkan saja. Mereka sudah dewasa. Lebih baik kamu angkat panggilan dari orang ini. Sepertinya dari kakakmu, dan dia sudah beberapa kali menelponmu tanpa henti. Aku tergesa-gesa berangkat dari klinik ke sini hanya untuk memberimu benda ini. Ambilah!" Kata Andreas dengan santai, terlebih ia memberikan senyuman pada Ara seperti tidak terjadi sesuatu saat ini.
Mendengar apa yang dikatakan Andreas, membuatnya kembali tak habis pikir. Bagaimana mungkin Andreas tidak mau melerai perselisihan hanya karena mereka sudah dewasa, dan dengan santainya seakan tidak pernah terjadi sesuatu yang menegangkan.
Ara hendak memarahi Andreas, namun ketika mendengar kalau kemungkinan yang menelponnya adalah kakaknya, ia mengurungkan hal itu dan mengambil ponselnya paksa. Ia berlari keluar dari toko agar tidak terdengar kerusuhan.
Dan benar, Edward lah yang melakukan panggilan video. Ara sengaja menjauh dari kerusuhan itu dan menelpon kakaknya balik. Percobaan pertama, tidak diangkat. Ara semakin kesal, tapi tak mau menyerah begitu saja. Ia kembali menelpon Edward.
"Kalau sampai sekali lagi gak diangkat, aku blokir kamu, kak!" Gerutu Ara.
Namun, tidak. Pada percobaan selanjutnya, Edward menerimanya. Dia terlihat santai, melambaikan tangan pada Ara yang kini dengan perasaan yang tak menentu.
"Kamu dimana, dek?" Tanya Edward. Ia terlihat sedang bekerja, terbukti dengan setelan jas yang ia pakai.
"Untuk apa kakak nelpon?" Tanya Ara to the point.
"Tidak ada. Kakak cuman mau tahu kabarmu saja. Ah iya, kakak mau mengingatkan kamu untuk memberikanku alamat mu. Kakak mau kesana ketika waktu kakak agak senggang nantinya." Ujar Edward.
"Tidak ada!. Begini ya, kak. Ara lupa mengatakan pada kakak, kalau sekarang Ara tinggal di asrama. Peraturan di kampus Ara yang terbaru, kalau ada yang datang untuk mengunjungi maka Ara harus di DO. Memangnya kakak mau Ara di DO? Gak kan?. Sudahlah, nanti saja kalau Ara wisuda baru Ara pulang. Saat ini, jangan hubungi Ara lagi. Oke?!" Ujar Ara berbohong.
Ini sudah jelas-jelas kebohongan. Tidak mungkin ada peraturan yang demikian selama ini. Hanya Ara saja yang bisa melakukanya, pada kakaknya tentunya!.
Edward terlihat terkejut. "Emangnya ada ya peraturan seperti itu?."
"Ada. Makanya jangan hubungi Ara lagi, kak, kalau aku adikmu ini wisuda dengan cepat." Ujar Ara.
"I love you, kak. Bye!" Lanjut Ara.
Ara memutuskan panggilan itu secara sepihak. Ia kembali berlari menuju toko bunga itu, untuk melerai perdebatan yang sedang terjadi.
"Maafkan Ara, kak. Ara akan kembali dan mengatakan semuanya nanti. Tentu saja ketika Ara siap dengan semuanya, termasuk hati Ara." Batin Ara.
***
LIMA BULAN BERLALU...
"Maafkan aku ya, sayang. Aku gak bisa antar kamu USG seperti biasa. Aku harus pergi ke Australia untuk syuting." Ujar Ken merasa bersalah. Ia memeluk Kasandra di depan banyak kru yang menunggu mereka.
"Iya, tidak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai, kabarin aku ya." Ucap Kasandra.
Ken mengecup Kasandra cukup lama dan memeluk istrinya cukup erat. Setelah itu, ia memutuskan untuk masuk ke bandara. Sambil masuk, tak henti-hentinya Ken melambaikan tangan pada Kasandra.
Hingga benar-benar menghilang, Kasandra berjalan dengan cepat menuju parkiran mobil. Sesampai di dalam mobilnya, ia melepas penjanggal perut yang ia gunakan untuk mengelabui kehamilannya yang palsu.
"Ribet banget setiap saat pakai ini!" Kesal Kasandra.
Ia segera seseorang yang kemarin malam menawarinya sesuatu yang menarik, namun memiliki dampak yang cukup besar pada hubungannya dengan Ken.
"Usia kandungannya sudah berapa bulan?" Tanya Kasandra.
"5 bulan."
"Oke. Deal!"
***
"Selamat sore. Bisakah saya memesan bunga di toko Anda?"
Deg.