Happy Reading.
Richard tersenyum tipis saat Ishika memeluknya.
"Aku kangen banget, sayang," ujar Ishika menempelkan tubuhnya pada Richard. Menghidu aroma musk parfum pria yang dicintainya itu.
Richard mengangkat tangannya dan mengelus rambut Ishika. "Capek?" Ishika mengangguk.
"He'em!"
"Ayok ke mobil, kasian kamu pasti capek perjalanan udara," ujar Richard melepaskan pelukan Ishika dan menggandengnya menuju mobilnya yang sudah disiapkan.
Keduanya masuk ke dalam mobil dan Richard langsung menyuruh Toni–sanf sopir untuk melajukannya ke sebuah restoran.
"Kita makan siang dulu, ya?"
"Kamu belum makan siang, beb? Ini udah jam setengah dua loh?" Ishika melihat jam tangan Richard menunjukkan pukul 13. 25 dalam angka digital.
"Belum, dari kantor aku langsung ke sini jemput kamu," jawab Richard.
Ishika merasa terharu dan langsung memeluk pria tersebut. "Aahh, makasih sayang. Aku makin cinta sama kamu!" Ishika mencium pipi Richard dan kemudian bersandar pada bahunya.
Sepanjang perjalanan hanya Ishika yang mendominasi pembicaraan, dia berceloteh menceritakan kegiatannya di luar negeri. Sedangan Richard hanya menanggapi seadanya. Ada sesuatu yang terasa kurang, entah itu apa. Hatinya terasa biasa saja saat bertemu kembali dengan kekasihnya ini, tidak ada antusiasnya sama sekali dan rasanya hambar.
Bahkan selama ini Richard tidak merasakan yang namanya rindu pada Ishika, entah kenapa? Richard sendiri tidak tahu. Bukankah seharusnya dia senang karena sang pujaan hati telah kembali? Dulu saat Ishika pertama kali pergi meninggalkannya, rasanya begitu berat, tetapi dengan berjalannya seiring waktu, rasanya jadi semakin terbiasa.
Setelah makan siang, Richard mengantarkan Ishika kembali ke rumahnya, dia di sambut oleh ibunya dan adik perempuannya. Setelah berbahasa-basi sedikit Richard pun berpamitan untuk kembali ke kantor.
***
Richard tidak kembali ke kantor, dia langsung pergi menemui sahabatnya di sebuah cafe. Pria itu sudah meminta pada Yolla agar men-reschedule ulang semua jadwalnya dan dia tidak memiliki jadwal setelah ini yang artinya pekerjaannya bisa dia tunda sampai nanti malam.
"Jadi Ishika kembali? Wanita yang katanya lu cintai itu?"
"Ck, dia memang mau kembali kalau udah dua tahun di sana, itu janjinya, lu juga tahu itu, kan?"
"Ya, ya, gue tahu. Gue kira dia betah di sana karena bule-bule kan lebih menggoda, hahaha!"
"Diam! Mulut lu gue kasih sendal jepitnya pak Soleh biar mingkem!"
"Nggak perlu marah bro, jadi gimana nasib sekretaris lu yang cantik itu?" Richard langsung menoleh menatap pria berwajah oriental itu.
"Alex, gue kasih tau ya? jangan macam-macam sama Yolla. Lu nggak pantes sama dia!"
"Hahaha, nggak usah nge-gas lah Rich! Memangnya siapa yang pantas? Lu nggak mungkin bikin dia jomblo terus!" Richard mengambil rokok yang sejak tadi menganggur di atas meja. Menjimpit sebatang dan menyalakan korek api.
Dengan gerakan singkat, Richard membakar ujungnya dan menghisap perlahan.
"Di tempat gue dilarang pacaran apalagi sekretaris gue!" ujar Richard menghembuskan asap dari bibirnya.
***
Richard memutuskan untuk langsung tidur setelah sampai di apartemen. Dia pulang dari cafenya Alex sudah hampir jam 10 malam dan sejak tadi Richard menonaktifkan ponselnya.
Pagi harinya, pria itu bangun dengan keadaan linglung, meraba sampingnya dan baru sadar jika Yolla sudah pindah dua hari yang lalu. Richard langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Terbiasa dibangunkan oleh Yolla membuat Richard jadi bangun kesiangan.
Setelah selesai mandi, pria itu keluar hanya memakai handuk di pinggang dan berjalan ke arah lemari.
Richard berdiri di depan kaca sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia menatap bayangannya di cermin, mencoba memahami perasaan yang aneh mulai merambat dalam dadanya. Perasaan kosong dan hampa.
Richard membuka lemari, mencari kemeja yang biasa disiapkan Yolla setiap pagi. Namun, lemari itu kosong. Tak ada pakaian yang tertata rapi, tak ada celana yang tergantung di tempat biasa. Dia memandangi lemari itu sejenak, merasakan hampa yang lebih besar dari yang dia duga.
“Yolla?” Dia memanggil, meski tahu tak akan ada jawaban. Dia melangkah ke luar kamar, melihat bahwa tempat tidur masih berantakan, tidak ada tanda-tanda Yolla. Meja di dapur yang biasanya sudah tersaji sarapan kini kosong. Kemeja putih yang biasanya tersetrika dan digantung di pintu lemari kini tak ada. Dua hari ini Richard masih seperti ini, seolah masih mengharapkan kehadiran Yolla.
Richard mendesah panjang.
"Ya, ini yang kau mau, bukan?" bisiknya pada diri sendiri. Dia ingat betul bagaimana dia dengan mudahnya meminta Yolla untuk segera pindah. Setelah sepuluh bulan bersama, Richard merasa hubungan mereka sudah berjalan terlalu jauh. Terlalu dalam dan dia benci itu. Benci ketika hal-hal menjadi terlalu rumit, ketika kedekatan fisik berubah menjadi ikatan emosional.
Namun, sekarang, ketika Yolla benar-benar pergi tanpa pamit, tanpa meninggalkan jejak, ada perasaan aneh yang membelit hatinya. Dia berjalan ke ruang tamu, menatap sofa di mana mereka biasanya duduk bersama menonton film atau sekadar mengobrol ringan. Semuanya terasa berbeda tanpa kehadirannya.
Dengan setengah hati, Richard kembali ke lemari, berusaha memilih pakaian kerja untuk dirinya sendiri. Namun, tangannya terasa canggung saat mengambil kemeja yang terlipat setengah rapi, tidak seperti biasanya. Dia bahkan harus mencari dasi sendiri—sesuatu yang selama ini selalu Yolla siapkan tanpa diminta. Sepuluh bulan penuh kemudahan kini berubah menjadi kekacauan kecil yang membuatnya frustrasi.
Sambil mengenakan pakaian seadanya, Richard termenung sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin. Apakah ia benar-benar menginginkan ini? Kehilangan Yolla—atau lebih tepatnya, kehilangan rutinitas yang mereka bangun selama hampir satu tahun ini?
***
Sementara itu, Yolla memacu mobilnya melalui jalanan pagi yang mulai ramai. Suasana kota yang hingar bingar di luar jendela mobil tak bisa menenggelamkan keruwetan dalam pikirannya.
Dia tahu kenapa semua jadi ruwet seperti ini. Pikirannya sejak kemarin tidak bisa lepas dari bayang-bayang Richard dan Ishika. Ia tak bisa terus-terusan berada dalam keterpurukan hati seperti ini. Richard sudah jelas mengatakan bahwa mereka hanya sekadar teman ranjang. Dia tak bisa berharap lebih, sekarang Ishika kembali dan dia dibuang begitu saja.
Mobil berhenti di depan gedung kantornya. Yolla menatap bayangan gedung pencakar langit di kaca mobilnya.
"Aku butuh perubahan," katanya lagi pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan bahwa keputusan yang ia buat adalah yang terbaik. Meski, di dalam hatinya, perasaan kosong itu masih mengintai, menunggu saat untuk muncul kembali.
Ia berjalan masuk ke lobi gedung kantornya, menyapa beberapa rekan kerja yang sudah lebih dulu tiba. Senyum kecil yang ia paksakan tak mampu menutupi kegelisahan yang masih menghantuinya. Saat tiba di mejanya, Yolla langsung menyalakan komputer dan mulai bekerja, membenamkan dirinya dalam rutinitas yang penuh dengan tenggat waktu dan tugas-tugas administratif yang tak pernah berakhir.
Di apartemennya, Richard sudah siap berangkat kerja. Kemeja yang ia kenakan terasa aneh, terlalu longgar di bagian bahu dan terlalu ketat di pinggang. Richard menggerutu saat mencoba memperbaiki dasinya yang tak sesuai, merasa sangat tidak nyaman dengan ketidakrapian ini. Sepertinya dia harus memanggil Art kembali.
Dia berjalan menuju pintu, menatap apartemennya sekali lagi sebelum keluar. Rasanya ada yang hilang—bukan hanya Yolla, tetapi juga sesuatu yang lebih dari sekadar kehadirannya. Sebuah kehangatan, sebuah rutinitas yang tanpa sadar telah ia nikmati selama ini.
Richard mengunci pintu dan melangkah pergi, mencoba memfokuskan pikirannya pada pekerjaan di kantor. Namun, bayang-bayang Yolla, yang dulu hanya dianggapnya sekadar teman ranjang, tak bisa lepas begitu saja dari pikirannya. Mungkin ini bukan sekadar soal fisik. Mungkin, pikirnya, ia telah membuat kesalahan, akan tetapi hubungannya dengan Ishika tidak bisa dia lepas begitu saja.
"Halo, kamu sudah di kantor? Hemm, belikan aku sarapan karena aku bangun kesiangan."
Bersambung.