Happy Reading.
Pagi itu, suasana di kantor terlihat seperti biasa. Matahari pagi menyinari gedung tinggi tempat Yolla bekerja, memberi kesan hangat di tengah hiruk-pikuk kesibukan kota. Langit biru terlihat cerah, namun perasaan Yolla justru mendung. Setelah malam yang panjang, dia mencoba untuk melanjutkan hidupnya seperti biasa—atau setidaknya berpura-pura bahwa semua baik-baik saja.
Yolla masuk ke kantor dengan langkah pelan, sedikit mengatur napas sebelum dia menyapa rekan-rekannya. Lantai kantor yang modern dan minimalis terlihat rapi seperti biasanya. Suara telepon, ketikan komputer, dan obrolan ringan para staf menjadi latar belakang yang menenangkan, walau tak banyak membantu meredakan gemuruh di dalam dirinya.
Ketika Yolla tiba di mejanya, Richard sudah berada di ruang kerjanya. Dari balik pintu kaca besar yang memisahkan mereka, Yolla bisa melihat Richard duduk dengan tenang di balik meja kayu mahogani besar, wajahnya fokus pada laptop yang terletak di hadapannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa apa yang terjadi semalam mengganggu dirinya.
“Pagi, Yolla,” sapaan Richard terdengar ketika dia membuka pintu kantornya sebentar, seolah semuanya berjalan seperti biasa. Tatapan matanya tenang, seakan-akan tidak ada yang berbeda.
“Pagi, Pak Richard,” balas Yolla dengan suara yang sama tenangnya, berusaha keras untuk menyembunyikan segala emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Dia terbiasa memanggilnya dengan sapaan formal di kantor. Ini adalah cara mereka menjaga profesionalisme, menjaga jarak, setidaknya di depan orang lain.
Hari itu berlalu dengan cepat. Mereka bekerja berdampingan seperti biasa. Yolla, sebagai sekretaris Richard, menangani berbagai urusan perusahaan—membalas email, menjadwalkan rapat, dan menyiapkan laporan. Selama beberapa jam, Yolla tenggelam dalam pekerjaannya. Tidak ada percakapan pribadi, tidak ada momen canggung. Segalanya tampak seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.
Namun, setiap kali Yolla melirik ke arah Richard, dia tidak bisa menahan perasaan asing di dadanya. Seseorang yang pernah begitu dekat, kini terasa jauh. Kembalinya Ishika telah mengubah segalanya. Dan yang paling menyakitkan bagi Yolla, Richard tampak baik-baik saja.
Saat jarum jam bergerak mendekati pukul dua siang, pintu lift terbuka, suara ketukan sepatu hils menggema di lorong membuat Claudia menatap ke arah tersebut dan di sana berdirilah Ishika. Wanita itu tampak anggun seperti biasanya, dengan rambut hitam lurus tergerai di atas bahu dan senyum hangat yang menghiasi wajahnya. Gaun sederhana yang ia kenakan justru semakin memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Meskipun Yolla jelas tahu gaun yang terlihat sederhana itu bernilai jutaan.
Richard pernah membelikan beberapa pakaian branded dan juga tas yang bernilai ratusan juta.
"Yolla!" sapanya sambil berjalan mendekat dengan langkah ringan. "Kamu kelihatan cantik sekali hari ini."
Yolla mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. Ada sesuatu yang tidak nyaman dalam pujian itu, seolah-olah Ishika mengatakannya tanpa benar-benar bermaksud baik. Mungkin itu hanya perasaannya saja, tetapi Yolla tahu Ishika cukup cerdik dalam setiap ucapannya. Dia selalu menampilkan diri sebagai sosok yang sempurna di depan orang lain.
"Terima kasih, Bu," jawab Yolla, berusaha sopan.
Ishika tertawa pelan sebelum duduk di pinggir meja Yolla.
"Aku sering bertanya-tanya, Yolla, dengan penampilanmu yang menarik, apakah kamu sudah punya pacar?"
Pertanyaan itu membuat Yolla terdiam sesaat. Ia tidak menyangka Ishika akan menyinggung hal pribadi seperti itu di tengah lingkungan kerja. Apalagi, Richard ada di dalam ruangan kaca itu, mungkin mengamati, meski sibuk dengan pekerjaannya.
"Belum," jawab Yolla pendek, matanya menatap layar komputer, mencoba terlihat santai meskipun dalam hati dia mulai merasa tidak nyaman.
"Belum? Wah, sayang sekali. Kalau begitu, bagaimana kalau aku mencarikan pacar untukmu? Aku punya beberapa teman yang mungkin cocok."
Yolla menahan napas sejenak sebelum menjawab.
"Terima kasih, tapi saya tidak tertarik sekarang."
Ishika tersenyum tipis, matanya menatap Yolla dengan pandangan yang sulit ditebak.
"Baiklah, kalau begitu. Tapi kalau kamu berubah pikiran, beritahu aku saja ya?"
"Ya, tentu. Terima kasih," jawab Yolla singkat, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Dia berharap Ishika segera meninggalkannya. Kehadirannya di sana membuat Yolla merasa seolah-olah seluruh ruang kerja mengunci dan semakin menyempit.
Tiba-tiba intercom Yolla berbunyi dan itu dari Richard yang memintanya masuk ke dalam ruangan.
"Maaf, Bu Ishika. Saya dipanggil Pak Richard, permisi." Yolla segera bangkit dan berjalan masuk ke dalam ruangan Richard.
Ishika mengamati dari luar, dinding kaca itu biasanya tertutup oleh tirai tebal, tetapi kali ini Ishika melihat tirai itu berbuka lebar. Dari tempatnya duduk di atas meja kerja Yolla, Ishika bisa melihat dengan jelas meja kerja Richard.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Ishika memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan Richard tanpa mengetuk pintu karena pria itu sudah tahu keberadaannya di dalam.
"Richard, aku sudah selesai dengan urusanku. Apakah kita bisa pergi sekarang?" Ishika bertanya sambil berjalan mendekati neja kerja Richard, suaranya terdengar manja namun tetap formal.
"Sebentar lagi," jawab Richard sambil menatap layar laptopnya tanpa terlalu banyak menoleh.
Yolla memaksa dirinya untuk tetap fokus pada laporan yang sedang diselesaikannya. Dia tidak ingin terlihat terpengaruh oleh kehadiran Ishika, tetapi kenyataannya, dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai menumpuk di dalam dadanya.
"Ini pak, laporannya sudah selesai, sudah saya kirim melalui file, kalau sudah tidak ada urusan lagi, saya permisi!" Yolla langsung undur diri dan keluar dari ruangan itu. Dia tidak mau melihatnya kedua sejoli itu memamerkannya kemesraan padanya.
***
Sore itu, setelah jam kerja usai, Yolla membereskan meja kerjanya dengan tenang. Setiap benda yang ia rapikan terasa lebih berat dari biasanya, seakan-akan ada beban tak terlihat yang menahan tangannya. Biasanya, pada jam seperti ini, Richard akan menawarkan tumpangan padanya. Mereka memang tinggal di apartemen yang sama selama beberapa bulan. Namun, setelah kembalinya Ishika, Yolla langsung disuruh pindah ke apartemennya sendiri.
Pikiran tentang bagaimana hubungan mereka telah berubah membuat hati Yolla masih terasa sesak. Ternyata move on itu susah. Dia mencoba mengalihkan fokusnya pada pekerjaan, berharap bisa melupakan perasaan itu, tetapi sulit untuk tidak mengingat kebiasaan-kebiasaan kecil yang pernah mereka lakukan bersama—makan malam setelah lembur, obrolan ringan di mobil, atau bahkan keheningan nyaman saat mereka berada di ruang yang sama, ataupun dengan kehangatan di atas ranjang saat bercinta.
Setelah memastikan semuanya rapi, Yolla mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangan. Dia sudah bersiap untuk mencari taksi, berharap bisa segera sampai di apartemennya dan mengakhiri hari yang melelahkan ini. Mobilnya sedang ada di bengkel karena harus servis. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, pandangannya tertuju pada pintu depan kantor.
Di sana, Richard keluar bersama Ishika. Mereka tampak begitu akrab, berbicara sambil tertawa ringan. Richard tersenyum lebar, sesuatu yang jarang Yolla lihat ketika mereka sedang bersama. Melihat mereka seperti itu, hati Yolla mencelos.
Dia tahu bahwa dia tidak bisa marah atau merasa cemburu. Hubungan antara dirinya dan Richard tidak pernah secara jelas didefinisikan. Meskipun mereka pernah berbagi keintiman, itu semua terjadi di balik layar, di luar pengetahuan orang lain. Dan sekarang, dengan Ishika kembali di sisi Richard, Yolla tahu bahwa dirinya tidak lagi menjadi bagian dari hidup pria itu.
Yolla cepat-cepat mengalihkan pandangannya, menatap trotoar dan jalanan di depannya. Hatinya terasa sakit, tetapi dia mencoba menekannya sekuat tenaga. Ini bukan tempat untuk merasakan hal-hal seperti itu. Dia tidak ingin siapa pun melihatnya rapuh, terutama Richard.
"Huh, pasangan yang jelas sangat serasi," gumam Yolla pelan sambil berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi online pesanannya datang.
Saat dia melihat sebuah mobil taksi mendekat, Yolla melambaikan tangan dan dengan cepat masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan pulang, dia terus memandang ke luar jendela, mencoba menghilangkan rasa yang bergelut dalam dadanya. Rasa yang sudah terlalu lama ia biarkan ada, rasa yang harus segera ia akhiri.
Di apartemennya malam itu, Yolla duduk di tepi ranjang, memandangi bayangan dirinya di cermin. Rasa kosong menyelimuti, tetapi di tengah semua itu, dia merasa terhibur dengan temannya yang tiba-tiba mengirimkan pesan.
Binar : Lu tau nggak, pak Jovan jalan sama bu Yulia.
Yolla tersenyum dan membalasnya.
Yolla : Bu Yulia udah lama suka sama pak Jovan. Sepertinya dia sudah bisa mendapatkan hati pak Jovan.
Binar : Padahal setahu gue pak Jovan itu suka sama lu, tapi lu nya yang nggak peka, apalagi selama ini lu sibuk sama pak Richard terus.
Yolla menahan napas, Jovan memang suka padanya, tetapi dia tidak punya perasaan apa-apa. Nanti kasihan Jovan kalau mereka memiliki hubungan. Cinta sepihak namanya.
Yolla : Pak Jovan perlu dapat yang baik, cinta dan sayang sama dia.
Binar : Jadi lu gak cukup baik?
Yolla : Nggak, gue buruk dan nggak pantes dapat pria seperti pak Jovan.
"Karena aku merasa diriku hanyalah wanita kotor yang tak patut untuk pria sebaik Jovan," batin Yolla.
Malam itu, Yolla memutuskan bahwa hidupnya tidak akan lagi dipenuhi oleh perasaan yang hanya membuatnya terpuruk. Tidak ada yang lebih berharga daripada dirinya sendiri. Dan meskipun sulit, dia tahu bahwa dia harus melangkah keluar dari bayangan masa lalunya bersama Richard dan mulai hidup untuk dirinya sendiri.