Happy Reading.
"Namamu siapa? Kamu sekertaris Richard?" tanya wanita itu yang tidak lain adalah Ishika.
"Nama saya Yolla, saya sekretaris Pak Richard. Mari silahkan masuk, Bu. Pak Richard sedang menunggu Anda," ujar Yolla setelah mendapatkan persetujuan dari Richard ketika Ishika datang untuk menemuinya.
"Terima kasih, aku masuk dulu," jawab Ishika tersebut manis. Sikapnya juga supel dan ramah.
Yolla duduk kembali di kursinya dan menghela napas. Kemudian menatap pintu berwarna coklat tua itu tertutup rapat, tidak terdengar apa-apa lagi dari luar karena ruangan itu kedap suara. Lagi-lagi Yolla hanya bisa mendesah menahan rasa kecewa dihatinya. Entah kecewa untuk apa, mungkin kecewa pada perasaannya yang masih sama.
Yolla sudah dua kali ini bertemu dengan Ishika, dulu mereka bertemu saat dia baru saja diangkat menjadi sekretaris Richard dan sebelum keberangkatan Ishika ke luar negeri.
Wanita itu sangat pantas untuk menjadi pendamping Richard. Cantik, pintar, orang kaya dari kalangan atas dan yang lebih penting lagi Richard mencintainya.
"Huh, laporanku belum selesai! Aku harus segera menyelesaikannya."
Waktu terus berlalu dan sudah saatnya Yolla pulang, tadi Richard dan Ishika keluar saat makan siang dan tidak kembali. Sekali lagi Yolla menegaskan jika Richard dan Ishika adalah pasangan yang sempurna.
Malam sudah merambat larut ketika Yolla memasuki apartemennya. Suasana begitu asing, meski tempat ini pernah menjadi saksi dari setiap langkah dan jejaknya selama berbulan-bulan. Namun, kini, setiap sudut ruangan terasa dingin dan hampa, seolah apartemen ini sudah lama tak menerima kehadiran siapa pun. Jari-jari Yolla menyentuh tombol lampu di samping pintu. Klik. Lampu menyala, tetapi cahayanya terasa redup, seakan enggan memancar dengan penuh kekuatan.
"Ah, mungkin karena sudah lama tidak dinyalakan," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. Dia baru kembali ke apartemennya ini beberapa hari yang lalu, selama sepuluh bulan memang Yolla jarang sekali pulang ke apartemennya.
Yolla berjalan masuk, meletakkan tasnya di meja makan dan melihat sekeliling. Tumpukan majalah dan buku yang tertinggal di sudut sofa masih ada di sana, persis seperti saat ia pergi beberapa bulan lalu. Saat itu, Richard, pria yang telah mengisi hari-harinya selama setahun terakhir, memintanya pindah. Tanpa penjelasan panjang, hanya sebuah permintaan yang ia turuti dengan setengah hati.
Selama kembali ke apartemennya lagi, Yolla belum sempat membereskannya, dia hanya pergi pagi pulang malam, kemudian tidur jika lelah.
Dia menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan ganjil yang mulai merayap di benaknya. Dengan pelan, Yolla menekan tombol di remote televisi dan suara statis memenuhi ruangan. Beberapa saat kemudian, suara pembawa berita menggema, tetapi tidak cukup untuk membuat suasana lebih hangat.
Klik.
Tiba-tiba, ruangan itu menjadi gelap gulita. Semua lampu mati tanpa peringatan. Yolla terdiam, tubuhnya membeku seketika. Hening. Tak ada suara selain detak jantungnya yang mulai berpacu cepat.
“Tidak … tidak sekarang…” desahnya, suaranya bergetar.
Yolla membenci kegelapan. Ketakutannya pada gelap bukanlah ketakutan biasa—itu adalah trauma masa kecil yang membekas. Dalam situasi seperti ini, dia selalu teringat kembali pada saat ia terkunci di lemari tua di rumah neneknya selama berjam-jam, sendirian, tanpa cahaya. Setiap kali kegelapan datang, rasa takut itu kembali menghantuinya, membuatnya meringkuk tanpa daya.
Dengan tangan gemetar, Yolla merogoh tasnya, mencari-cari ponselnya. Begitu layar ponsel menyala, dia merasa sedikit lega meski cahayanya hanya sekedar memberi pandangan samar pada sekeliling. Tanpa berpikir panjang, dia segera menekan nomor Richard. Ponselnya menyala perlahan, tanda panggilan tersambung, tetapi tidak ada jawaban.
"Richard, angkat ... tolong angkat," bisiknya penuh harap.
Tidak ada respons. Panggilan terus berdering hingga akhirnya otomatis terputus. Yolla mencoba lagi. Kali ini jantungnya berdegup lebih kencang, kecemasan mulai mencengkeram dirinya. Lagi-lagi, panggilan itu tidak dijawab. Yolla menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Ketika semua orang yang diharapkannya datang tidak bisa dihubungi, dunia terasa semakin gelap.
“Richard.” Suaranya terdengar lemah, nyaris seperti ratapan.
Yolla meringkuk di atas sofa, lututnya ditarik hingga ke dadanya. Trauma gelap itu makin terasa, membuatnya sesak. Rasanya seperti kembali menjadi anak kecil yang terkunci di dalam kegelapan tanpa ada yang bisa menolong.
Dia mencoba sekali lagi menghubungi Richard, memohon dalam hati agar kali ini dia menjawab. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya tersambung.
“Halo?” suara seorang perempuan terdengar dari seberang.
Yolla terdiam. Itu bukan suara Richard. Itu suara perempuan yang sangat dikenalnya.
“Ishika?” tanya Yolla, suaranya bergetar. Meski ia sudah menduga, hatinya tetap terasa mencelos saat mendengar nama itu disebutkan di benaknya. Ishika, kekasih Richard sebelum Yolla masuk ke dalam hidup pria itu. Yolla tahu jika malam ini Richard pasti menghabiskan waktu bersama Ishika. Kenapa dia bodoh sekali, tidak seharusnya dia masih mengharapkan Richard.
"Ya, ini aku," jawab Ishika dengan nada datar, hampir tidak peduli. "Ada apa, Yolla?"
Yolla tertegun sesaat. Ishika tahu jika yang menelepon adalah dirinya. Ah, tentu saja tahu, bukankah ada nama si penelepon di layar Richard
"Apa ada kepentingan—"
"Saya perlu bicara dengan Pak Richard. A-ada masalah pekerjaan."
Yolla menutup matanya, menahan segala macam rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Dia tidak tahu harus mencari alasan apa lagi selain pekerjaan.
Ishika menghela napas di ujung sana, seolah panggilan ini hanyalah gangguan kecil di malam yang tenang.
"Richard sedang mandi. Dia baru saja masuk, pasti masih lama. Apa kau ingin aku sampaikan pekerjaan itu?"
Yolla terdiam. Pikirannya kacau, tapi di balik semua itu, ada rasa sadar diri yang pelan-pelan muncul. Dia tidak mungkin berbicara kepada Richard dengan Ishika di sana. Hatinya terasa teriris, tetapi Yolla tahu saat itu adalah waktu yang tepat untuk mundur.
"Tidak ... tidak perlu. Katakan saja saya menelepon karena ada perubahan jadwal, saya akan bicara besok saja."
"Tentu," jawab Ishika singkat, sebelum sambungan telepon itu diputus.
Yolla menatap layar ponselnya yang perlahan kembali gelap. Jarinya gemetar, ia tak tahu apakah harus merasa lega atau semakin hancur. Satu hal yang jelas—Richard tidak lagi ada untuknya, dan Ishika sudah kembali mengisi tempat yang dulu dia duduki.
Ia menutup matanya, berharap tidur bisa membebaskannya dari rasa sakit ini meskipun hanya sejenak. Suara hujan di luar mulai terdengar samar-samar, menjadi latar belakang dari kekosongan yang semakin membesar di dalam dirinya. Kegelapan yang melingkupi ruangan seakan menjadi cerminan dari hatinya saat ini—gelap, sepi, dan penuh ketakutan.
***
Pagi menyambut dengan suara hujan yang masih mengguyur pelan. Yolla terbangun dengan mata yang berat, kepala yang pusing, dan perasaan yang tak lebih baik dari malam sebelumnya. Sinar matahari yang biasanya mengintip dari jendela kini tertutup oleh awan kelabu. Ponselnya bergetar di atas meja, dan sejenak ia merasa harapannya terjawab. Mungkin Richard sudah mengirim pesan, memberikan penjelasan atau paling tidak menunjukkan bahwa ia masih peduli.
Terapi saat Yolla membuka layar ponselnya, tidak ada pesan baru. Tidak satu pun. Hatinya kembali mencelos, bahkan lebih dalam dari malam sebelumnya.
“Aku bukan apa-apa baginya,” gumamnya, setengah menyadari kebenaran dari kalimat itu.
Selama ini, dia menutup mata terhadap kenyataan yang sebenarnya sudah jelas di depan matanya. Richard tidak pernah mencintainya, bukan seperti caranya mencintai Ishika. Yolla hanyalah pelarian, seseorang yang datang di saat Richard merasa sendiri, merasa rapuh. Saat Ishika pergi, Yolla menjadi pengganti, sesuatu yang bersifat sementara. Kini, dengan kembalinya Ishika, posisi Yolla tak lagi dibutuhkan. Dan sekeras apa pun dia berusaha menyangkalnya, kenyataan itu tidak bisa lagi diabaikan.
"Dia membuangku ...." ucapnya lirih, air mata mulai menggenang di sudut matanya.
Sambil terisak pelan, Yolla menyadari betapa bodohnya ia selama ini. Dia telah memberikan segalanya untuk Richard, bahkan rela meninggalkan hidupnya yang stabil demi pria itu. Namun, pada akhirnya, dia hanya berakhir sebagai wanita simpanan—seseorang yang hanya diingat saat Richard membutuhkan kenyamanan sementara. Semua kata-kata manis, perhatian yang begitu tulus, hanyalah ilusi belaka. Tidak ada masa depan bagi mereka. Tidak ada cinta yang sejati.
Dia adalah seseorang yang bisa dibayar ketika tugasnya sudah selesai, tugas untuk memenuhi kebutuhan Richard di ranjang. Dan sekarang, ketika cinta sejati Richard kembali, Yolla pun tersingkir tanpa perlawanan.
Yolla menghapus air matanya dengan cepat, berusaha menata napas. Rasanya seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam, tanpa siapa pun yang bisa menangkapnya. Tetapi di saat yang sama, perasaan itu juga memberinya kesadaran yang pahit.
Dia harus melepaskan, move on dan bangun dari mimpi.
Yolla berdiri dari sofa, tubuhnya masih terasa lelah dan sakit. Namun, di antara semua kekacauan ini, dia tahu satu hal: dia tidak bisa terus hidup seperti ini. Tidak lagi tergantung pada seseorang yang tidak menginginkannya. Hatinya mungkin hancur, tetapi dia masih punya harga diri yang harus dipertahankan.
Dengan langkah pelan, dia menuju jendela dan menatap hujan yang masih turun. Di luar sana, kehidupan terus berjalan. Mungkin ini saatnya dia juga harus mulai berjalan lagi—sendirian. Huh, lelah. Itulah yang Yolla rasakan saat hatinya selalu berujar seperti itu, akan tetapi menjalaninya tetaplah tidak mudah.
"Aku baru tahu kenapa dulu kamu selalu mengatakan tidak boleh ada cinta ketika bersama. Karena perasaan itu benar-benar menyiksa!"
Bersambung.