Bab 9. Siapa perempuan itu?

1254 Kata
Happy Reading Richard duduk di ujung tempat tidur, kedua matanya terpaku pada layar ponselnya. Jari-jarinya menggenggam erat perangkat itu, keputusan yang baru saja dia buat akan menguap bersama angin malam yang bertiup lembut dari jendela yang terbuka. Cahaya redup dari lampu kamar membuat bayangan tangannya terpantul samar di layar ponsel, menampilkan ruang chat yang telah lama tidak diisinya dengan pesan. Sebenarnya tidak begitu lama, sekitar seminggu yang lalu pesan terakhir itu tertera. Nama Yolla terpampang di sana, tidak ada pesan baru, hanya percakapan lama yang sudah berulang kali dibaca—menyisakan rindu yang menggantung di dadanya. Dalam ponsel satunya, ponselnya untuk bisnis ada beberapa panggilan dari wanita itu dan tentu saja di sana hanya mengatakan soal pekerjaan saja. Dia tahu ini tidak bisa dilanjutkan. Keputusan telah diambil sejak Ishika kembali. Hubungan antara dirinya dan Yolla harus dihentikan, secepat mungkin, sebelum segala sesuatunya semakin rumit. Richard tidak ingin ada skandal yang mengancam kariernya atau masa depannya. Terlebih lagi, dia tidak ingin melukai Ishika lebih dalam. Sudah cukup dia berbohong. Ishika baru saja kembali beberapa hari yang lalu, dan entah bagaimana, Richard merasakan perubahan sikapnya. Ada yang berbeda dari cara Ishika memandangnya—seolah perempuan itu menyimpan keraguan, curiga terhadap sesuatu. Apakah mungkin Ishika sudah mulai mencium adanya kedekatan antara dirinya dan Yolla? Mungkinkah dia sudah memasang mata-mata untuk mengawasinya selama ini? Pintu kamar mandi terbuka perlahan, dan suara langkah kaki Ishika terdengar mendekat. Richard dengan cepat meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur dan mendongak. Ishika muncul dari balik pintu dengan hanya mengenakan handuk putih yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih basah, air menetes pelan dari ujung helai-helai rambut hitamnya yang panjang, mengalir di sepanjang punggung dan bahunya. Wajahnya bersinar segar, namun ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuat Richard merasa tegang. Ishika menyeringai tipis, melangkah lebih dekat ke arahnya. "Kamu terlihat lelah." Suaranya lembut, serak, menggoda. Tangannya yang ramping terulur menyentuh pipi Richard, jemarinya bermain di sana sebelum bibirnya yang lembut menyusuri bibir Richard, memberikan ciuman singkat yang terasa hangat. "Rindu kamu," bisik Ishika di telinganya, napasnya membelai kulit leher Richard. Richard tetap diam. Biasanya, ciuman dari Ishika membuatnya terbakar, membuat darahnya bergejolak. Namun, malam ini, dia merasakan kehampaan yang aneh, seperti ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya. Bukan karena Ishika tidak menarik—wanita di depannya tetaplah memukau, seperti pertama kali mereka bertemu. Tapi ada perasaan yang tidak bisa dia abaikan. Saat Ishika melepaskan handuk yang membalut tubuhnya, memperlihatkan setiap lekukan yang biasanya membuatnya tergila-gila, Richard justru tidak merasakan ketertarikan itu lagi. "Rich ...." Lagi, Ishika menyentuh d**a bidangnya dan memberikan elusan. Biasanya dengan begini Richard pasti akan langsung menerkamnya karena titik sensitif Richard ada di sana, apalagi dengan tubuh polosnya yang terpampang indah di depan mata. Namun .... "Apa yang salah?" tanya Ishika, suaranya berubah sedikit kecewa ketika dia menyadari bahwa Richard tidak memberikan respons seperti yang diharapkannya. "Aku ... aku hanya lelah," Richard berbohong, meskipun kata-katanya terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri, dia sebenarnya tidak begitu lelah. "Hari ini benar-benar melelahkan, Ishika. Banyak pekerjaan yang harus selesai tepat waktu." Ishika menyipitkan matanya, melangkah mundur, memungut kembali handuknya lalu melilitkan kembali di tubuhnya dengan gerakan yang kasar. "Lelah? Apa itu alasanmu?" Dia menatap Richard dengan tajam, lalu berjalan ke arah meja rias, membelakangi Richard saat dia mulai menyisir rambutnya. "Sejak kapan kamu jadi tidak tertarik padaku, Richard?" Suara Ishika terdengar lebih keras sekarang. "Kita tidak pernah bertemu selama dua tahun dan sekarang, ketika aku mencoba mendekatkan diri ... kamu malah menjauh." Richard berdiri, mencoba mendekati Ishika, namun dia tahu bahwa situasinya sudah hampir tak terkendali. "Aku benar-benar hanya lelah, Ishika. Ini bukan soal kamu." Ishika berbalik, matanya berkilat dengan amarah yang sudah lama dipendam. "Bukan soal aku? Oh, aku tahu ini bukan soal aku. Karena aku tahu kamu pasti punya seseorang di luar sana." Dia melangkah maju, wajahnya berhadapan langsung dengan Richard. "Siapa dia, Richard? Siapa perempuan itu?" Richard mengerutkan kening, mencoba tetap tenang meskipun jantungnya mulai berdetak lebih cepat. "Kamu salah paham, tidak ada siapa-siapa. Aku hanya sedang tidak ingin—" "Jangan bohongi aku!" Ishika memotongnya dengan keras. "Aku sudah merasakannya. Kamu mulai berubah. Kamu selalu punya alasan untuk tidak menjawab teleponku, atau ketika aku ingin video call, kamu selalu bilang sedang sibuk. Lalu ketika aku pulang, kamu lebih sering diam. Aku tahu ada yang tidak beres." Richard menghela napas berat. Setiap kata yang keluar dari mulut Ishika bagaikan pisau yang menghujam ke dalam hatinya. Dia ingin membela diri, tetapi setiap kali mencoba, perasaan bersalah dan kenangan tentang Yolla membuat lidahnya kelu. Yolla, nama itu kembali mengisi pikirannya, dan meskipun dia tahu hubungan mereka sudah berakhir, ada kerinduan yang menyelusup di sudut hatinya. Kenapa Yolla terus saja mengisi pikiranku? batinnya. "Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku pikirkan tentangmu, Richard," ujar Ishika dengan suara yang lebih rendah. "Kamu berubah. Dan aku tahu perubahan itu bukan karena pekerjaan atau kesibukanmu. Kamu berubah karena ada orang lain. Jangan berpura-pura seolah-olah aku ini bodoh." "Ishika ...." Richard mencoba meraih tangan Ishika, namun wanita itu menepisnya dengan keras. "Jangan sentuh aku! Selama ini kamu mengira aku tidak tahu apa-apa, ya? Aku tahu ada sesuatu antara kamu dan seorang perempuan. Dan aku tidak bodoh. Kamu mungkin bisa menyembunyikannya untuk sementara, tapi ingat, Richard, aku tidak akan membiarkan diriku dihancurkan begitu saja." Richard mendekat, mencoba meredakan situasi. "Aku tidak tahu dari mana kamu mendapatkan ide pemikiran itu, tapi aku serius, aku hanya lelah. Kita bisa membicarakan ini lain kali. Sekarang, aku benar-benar butuh istirahat." Ishika memelototinya dengan pandangan yang penuh amarah, lalu mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan diri untuk tidak meledak lebih parah lagi. "Istirahat? Benar-benar? Itu saja alasanmu?" Richard mengalihkan pandangannya. Dia tahu Ishika tidak akan mempercayainya, kepekaan wanita itu sungguh luar biasa. Inilah yang Richard takutkan kalau dia sampai tidak menghentikan hubungannya dengan Yolla, Richard tidak mau Ishika menggunakan kekuasaannya untuk menyakiti wanita itu. "Aku tidak ingin berdebat sekarang, Ishika. Kita bisa menyelesaikan ini nanti." "Tidak, Richard. Kita harus menyelesaikannya sekarang," desis Ishika, semakin mendekat. "Aku sudah cukup sabar, cukup berusaha berpikir positif. Tapi sekarang, aku sudah lelah. Aku ingin tahu, apakah kamu selama ini tidur dengan wanita lain? Apakah kamu punya seseorang yang melayani kamu saat aku tidak ada?" Richard menahan napas, rasa bersalah menghantamnya seperti gelombang. "Aku ... aku tidak melakukan apa yang kamu pikirkan. Aku hanya lelah dengan semua ini. Hubungan kita ... mungkin memang sudah berubah." "Berubah?" Ishika menatapnya dengan tatapan terluka. "Berubah? Ya, berubah karena kamu punya perempuan lain yang kamu inginkan. Kamu tidak perlu bilang, Richard, aku bisa melihatnya dari caramu menjauh." "Sudahlah, kita sedang melalui masa yang sulit. Aku butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri." Mata Ishika menyipit, sorotnya penuh kemarahan dan luka yang bercampur menjadi satu. Dia berdiri di sana, dalam diam, sebelum akhirnya mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Richard tahu bahwa Ishika sudah merencanakan sesuatu dalam pikirannya, sesuatu yang tidak akan dia sukai. "Aku akan memastikan kamu benar-benar berpisah dengan siapa pun perempuan itu," gumam Ishika pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Kamu pikir kamu bisa bermain di belakangku? Kita lihat saja." Richard terkejut dengan perubahan nada Ishika, namun dia tahu apa yang terjadi sekarang tidak bisa dibalik. Ada sesuatu yang telah pecah di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki begitu saja. Dan sementara bayangan Yolla terus menghantui pikirannya, dia menyadari satu hal yang pasti: ini semua sudah terlalu jauh. Ishika, masih dengan amarah yang membara di dalam dadanya, berbalik, meninggalkan Richard di dalam kamar dengan pikiran yang kacau. Richard hanya bisa menatap kosong ke luar jendela, sadar bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN