KAMPUNGAN BANGET

1068 Kata
Sejak semalam Galih sudah berpikir mungkin sebaiknya dia tidak cari kerja lagi, tapi dia buka kursus menjadi kameraman handal tapi sekarang menjadi kameramen itu hal yang mudah semua orang punya ponsel asal jeprat jepret langsung bisa jadi foto, atau bikin konten iklan hanya dengan hape dan aplikasi saja. Galih tak mengerti lagi apa yang hendak dia lakukan untuk mencari nafkah. Sejak semalam Galih juga sudah berpikir akan menjual apartemennya dan kembali ke rumah orang tuanya. Kalau pun dia diusir dia tidak akan kembali ke apartemen itu. Dia akan cari rumah kost di depan rumah orang tuanya atau dekat-dekat situ dia tidak mau lagi jauh dari orang tua. Taufik melihat Galih memang benar-benar menyesal. ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Sudah lama?” tanya Listy. “Nggak baru saja, kan nggak mungkin boleh masuk kalau masih lama,” ucap Irhan. “Iya sih,” jawab Listy. Mereka memang bertemu sudah di dalam stasiun. Tadi Irhan bilang dia ada di gerai roti di dalam stasiun. Di depannya ada satu buah roti yang masih utuh dan satu cangkir kopi. “Kamu mau ngopi atau mau apa?” tanya Irhan. “Masih keburu nggak?” tanya Listy. “Masih lah. Keretanya masih satu jam lagi kok,” jawab Irhan dengan santai. “Baiklah kalau begitu, aku mau pesan su5u coklat saja,” jawab Listy. “Kamu nggak ngopi ya? atau seperti orang-orang bilang, kalau minum kopi takut nggak bisa tidur?” tanya Irhan. “Aku penggila kopi. Cuma kayaknya barusan pas jalan kearah sini nyium roti coklatnya itu bau banget. Kayaknya enak juga minum su5u coklat panas. Aku enggak anti kopi kok. Tenang saja. Nggak ada tuh istilah aku minum kopi lalu nggak bisa tidur. Minum satu panci kopi pun kalau ngantuk ya ngantuk saja,” balas Ririe. “Aku pikir sama seperti orang-orang, minum kopi sedikit saja langsung bilang aduh aku jadi nggak bisa tidur karena tadi minum kopi. Minumnya kapan nggak bisa tidurnya kapan,” kata Irhan. Dia seorang dokter, pasti paham side efek caffein pada tubuh. “Banyak sih orang yang seperti itu, tapi kalau aku sendiri nggak minum kopi rasanya nggak ada semangat hidup,” jelas Listy. “Kamu nggak bawa apa-apa?” tanya Listy karena dia lihat Irhan hanya bawa sling bag saja. “Enggak. Aku nggak pernah bawa pakaian saat kembali dari Jogja, karena pakaianku sudah ada di sini. Jadi nggak perlu aku bawa-bawa lagi. Bahkan sering kalau ke Jogja aku bawa pakaian. Tapi kalau balik ke Jakarta aku nggak bawa.” “Kadang suka bawa gudeg kalau lagi mau, kadang apa saja tapi nggak pernah pakaian ganti kecuali pakaian yang aku baru beli memang mau dibawa ke Jakarta.” “Aku juga hari ini bawa gudeg banyak banget karena eyang sudah beliin buat mama. Biasalah eyang seperti itu buat menantu kesayangannya. Jadi dia bawain Mama banyak gudeg. Lalu ada sate uritan ada wingko dan kue lainnya. Pokoknya banyak lah ini bawaanku dari eyang.” “Padahal dari Jakarta aku bawa koper kecil karena memang prepare belanjaan bahan atau pernak-pernik biar tak rusak kalau hanya di travelbag, jadi aku taruh koper. Ternyata malah dapat tentengan baru dari eyang seperti ini,” ucap Listy dengan senyum manisnya. “Masih bagus lah cuma disuruh bawa gudeg, temanku dulu kalau pulang ke kampung karena dia pakai mobil bukan naik kereta, tapi pernah juga naik kereta suruh bawa kelapa, suruh bawa beras dan beras ketan, gula merah, pokoknya semua yang ada di kampung. Temanku suka marah-marah dia bilang apa sih kampungan banget, di kota juga banyak seperti itu!” “Untung istrinya orang yang mengerti. Temanku itu dimarahin, kamu harusnya menilai latar belakang orang tuamu memberi, bukan apa yang dia bawakan dan harga beli yang dia bawakan.” “Orang tuamu sengaja menyuruh orang petik kelapa buat kita bawa itu adalah pengorbanan, akhirnya temanku sadar. Kebayang dong suruh bawa kelapa padahal nanti di Jakarta siapa yang mau kupas batok kelapa? Padahal tinggal beli kelapa parut saja kalau butuh parutannya, beres atau malah beli mantan instan kalau butuh santannya. Untungnya istrinya sangat baik. Apa sih yang enggak ada di Jakarta?” “Bahkan istrinya sampai bilang, kamu terima saja semua yang diberikan, bawa saja semua. Kalau nanti kamu nggak suka buang saja di tengah jalan! Tapi jangan pernah menolak apa yang orang tuamu bawakan!” “Istrinya sampai seperti itu. Bisa kebayangkan karena menyakiti orang tua kalau disuruh bawa terus nggak mau. Itu tentu melukai hati mertuanya atau orang tua temanku.” “Akhirnya temanku sadar sih.” “Itulah mengapa eyang selalu membawakan Mama apa pun yang eyang punya. Karena cuma Mama yang menerima semua apa yang eyang berikan!” “Dua menantunya walau tidak lebih hebat dari Mama, walau tidak lebih kaya dari Mama, tapi selalu menolak apa yang telah eyang berikan buat mereka. Sehingga tentu saja eyang jadi tidak suka memberi kepada kedua mantunya itu.” “Lalu ujung-ujungnya Mama dibenci oleh para iparnya, karena dianggap eyang pilih kasih. Padahal eyang pilih kasih ada sebabnya.” “Orang selalu seperti itu. Mereka tak peduli penyebabnya tapi selalu memaknai akibatnya saja.” ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Terima kasih ya, sudah menjadi teman ngobrol sepanjang perjalanan,” kata Listy dengan tulus. Semalam mereka mengobrol sampai jam sebelas malam, lalu Irhan menyurh Listy tidur. Listy segera memakai penutup mata dan tidur. Pagi ini mereka berpisah di stasiun Jatinegara. “Kenapa nggak bareng saja sih? Kita kan satu jalur. Nanti setelah kamu turun aku baru ke Cinere,” ucap Irhan. “Ya duluan kamu lah tutunnya, kan Cinere dulu baru Bintaro, bagaimana sih,” ucap Listy. “Enggak lah. Enggak usah nanti jadi mengganggu waktu kerjamu. Ya sudah sampai bertemu kapan-kapan,” kata Listy tanpa berharap akan bertemu dengan lelaki yang enak jadi teman ngobrol itu. Tapi tentu Listy tak ingin lebih. Dia masih teramat sakit dengan kebusukan sosok lelaki walau seharusnya tak bisa men-generalisasi semua lelaki busuk seperti Galih. “Biar aku antar kamu ke taksi saja, kamu nggak bisa pesan taksi online kan di sini. Apa mau pesan taksi online sekarang?” tanya Irhan. “Aku biasanya nyebrang sampai di depan kantor polisi. Kalau di kantor polisi kan aman,” jawab Listy. Karena memang seberang stasiun Jatinegara adalah pos polisi. “Dan di sana juga banyak taksi biasa yang mangkal kok,” kata Listy. “Ya sudah ayo kita ke kantor polisi saja. Nanti kita berpisah di sana,” kata Irhan setuju. Mereka pun sepakat tidak mau saling merepotkan sehingga akan pesan taksi sendiri-sendiri. ≈≈≈≈≈≈≈≈
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN