WACANA BIKIN KEJUTAN
“Ini satu tiket eksklusif untukmu dan sepuluh ticket VIP ya, kamu bebas ajak siapa saja melihat film perdanamu launching.”
Bagai sinar mentari yang berkilau indah, bola mata hazel milik Listy berbinar terang.
Setelah pergulatan revisi dan berbagai macam rintangan yang ada akhirnya salah satu n****+ karyanya benar-benar diadopsi menjadi sebuah film layar lebar.
Suatu kebanggaan yang besar bagi Listy. Dia tidak menyangka jika di penghujung tahun ini ada berkat yang menyertainya. Ini juga kado terindah menjelang pernikahannya tiga bulan lagi.
Dengan sinar bahagia yang terpatri di wajahnya, Listy berjabat tangan dengan mister Ryuki, lelaki Jepang yanag menjadi perwakilan owner production house yang membuat filmnya.
“Terima kasih banyak atas kerja samanya selama ini mister Ryuki. Saya sungguh bahagia,” tadi Listy telah menandatangi semua adaministrasi juga menerima bukti transfer p********n naskahnya.
Lelaki berusia hampir setengah abad itu balas tersenyum, dia suka akan keramahan Listy yang polos dan tak ingin menarik keuntungan dari hubungan dengan siapa pun.
“Kalau begitu saya pamit, pastikan minggu depan kamu datang bersama orang yang special, karena saya akan membawa anak dan istri saya yang ingin berkenalan denganmu.”
Listy mengangguk antusias, tidak sabar menunggu hari pertunjukan awal yang entah kenapa terasa sangat lama.
Sepeninggal mister Ryuki netra Listy kembali menyorot spanduk besar yang berada di center theater room ini. “MY LOVE FROM AMSTERDAM,” judul film dari novelnya Listy tersenyum bangga.
Kisah cintanya dengan sang kekasih Galihyang dia kembangkan menjadi n****+ mampu menghipnotis atensi banyak orang.
Dan luar biasa lagi ini n****+ romance karyanya dapat disaksikan dalam skala yang luas, bukan hanya dalam n****+ online yang kemudian dicetak tapi juga diangkat menjadi film layar lebar.
Meski nama penulis atau author menggunakan nama ASMARA MANIEZ, dan tak ada yang mengenal sosok Riani Listyowati Prabu Kuncoro, tapi rongga d4da Listy tetap dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Bahkan pada Galih sang calon suami dia tak ceritakan, dia ingin membuat kejutan.
‘Setidaknya tidak ada hasil yang mengkhianati usaha,’ ucap Listy dengan wajah terus penuh senyum.
≈≈≈≈≈≈≈≈
“Aku harus segera ke rumahnya Galih dia pasti sangat bahagia mendengar kabar mengejutkan ini,” Listy membereskan undangan dan dia masukkan di tas.
Hampir 45 menit berlalu sudah, perjalanan dari pusat Kota Jakarta menuju Kelapa Gading terasa berbeda kali ini. Jika biasanya Galih yang mengantar tapi berhubung hati Listy berbunga-bunga maka biarlah dia yang langsung datang ke apartemen sang kekasih.
≈≈≈≈≈≈≈≈
Kepala Listy menengadah, menatap gedung bertingkat 25 ini dengan sedekit kagum.
“Kalau tinggal di apartemen mewah seperti ini, gaji gue cukup nggak ya?” pikir Listy sambil geleng-geleng kepala. Galih seorang fotografter professional terkenal, tentu uang tak masalah. Mamanya seorang pengacara kondang dan sang papa akuntan public. Galih hanya dua bersaudara dengan kak Taufik yang seorang pialang saham.
Tanpa membuang waktu lebih lama Listy mulai melangkahkan kaki memasuki lobby apartemen yang cukup luas dan mewah ini. Karena hafal di luar kepala ayunan langkah Listy tertuju pada lift di ujung ruangan.
≈≈≈≈≈≈≈≈
Memasuki bilik aluminium itu jemari Listy dengan cekatan menekan angka 12 di tombol lift tersebut.
Unit Galih berada di lantai 12 nomor 8. Lantas Listy bersandar di sisi kiri lift menunggu hingga pintu bilik aluminium ini terbuka lebar di tempat yang dia inginkan.
Begitu bunyi klik terdengar Listy langsung melangkah keluar. Arah pandangnya tertuju pada deretan pintu apartemen lantai 12 ini. Dia tuju nomor 8.
“Benar, nomor 8,” lirih suara keluar dari mulutnya, takut kalau salah masuk. Listy tak mau menggunakan privilege sebagai calon nyonya pemilik unit, seperti tamu pada umumnya, dengan etika Listy bergerak cepat untuk menekan bel di sebelah kanan pintu.
Awalnya tak ada sahutan yang dapat didengar. Mencoba tetap berpikir positif Listy kembali menekan bell hingga sebanyak tiga kali.
Namun sayang hening tetap menyelimuti keadaan. Listy yang berada di depan pintu pun hanya bisa mengerutkan dahi dan menajamkan telinga. Bingung sekalian heran.
“Apalagi di kamar mandi ya?” Pikir Listy.
Daripada merepotkan tuan rumah yang Listy perkirakan ada di kamar mandi Listy pun memutuskan untuk menunggu. Saking baiknya Listy bahkan sampai tak sadar jika 10 menit telah berlalu dan selama itu pula pintu masih setia tertutup rapat.
“Eh sudah lama juga ternyata, tapi kok nggak muncul-muncul ya?” ucap Listy memperhatikan jam di ponselnya, tadi sambal menunggu dia melihat media sosial di phonecell miliknya.
“Mungkinkah Galih malah sudah pergi ke Bintaro buat jemput aku seperti biasa?” pikir Listy. Rumah dan butuknya ada di Bintaro, tak jauh jarak rumah dan butik.
Listy menarik napas panjang, kobaran api semangat di hatinya untuk membuat kejutan perlahan luntur.
“Kalau sampai beneran Galih sudah ke rumahku, sia-sia dong aku ke sini,” Listy menatap sayu tiket eksklusif yang sudah tadi berada di tangan kirinya.
“Yaaah, terus ini tiket bagaimana dong?” Listy bersandar pada tembok di sisi pintu coklat, dia sibuk memikirkan bagaimana harus bertindak bila Galih taak ada di tempat. Dia tak mau menghubungi ponsel Galih karena ingin membuat kejutan.
Hingga sebuah ide cemerlang melesat di otak jeniusnya. Senyum manis mengembang sempurna di bibir Listy.
“Great idea! Aku jamin ini akan jadi kejutan terindah buat Galih.
Mengabaikan etika, yang selalu dia terapkan, Listy akhirnya bergerak lincah menekan deretan angka yang dijadikan sebagai password unit apartemen Galih. Dia berhasil membuka pintu apartemen tersebut.
Semangat yang bercampur rasa tidak sabar mendominasi lubuk hati Listy.
“Let’s make a surprise for him!”
≈≈≈≈≈≈≈≈
Kedua kaki Listy perlahan melangkah masuk ke dalam ruangan luas yang didomi-nasi warna marun ini. Sejak awal mengenal Galih, hingga setahun berpacaran Listy hafal betul jika marun adalah warna favorit sang kekasih. Terbukti dari seluruh perabot yang ada di unit apartemen ini tak luput dari nuansa membara itu.
Listy masuk ke ruang tamu dan meja makan menjadi pemandangan pertama.
“Langsung trabas ke kamarnya aja kali ya?”
Lysty tak mau menyia-nyiakan waktu, dia pergi ke pintu berkode marun di sebelah ruang tamu, itu kamar pribadi Galih, karena dua kamar lain warna cream netral untuk tamu yang menginap.
Ditariknya perlahan handle, pintu dengan tangan menggenggam ponsel, akan dia videokan undangan yang akan dia tinggal lalu dia kirim ke ponsel Galih.
Detik berikutnya Listy terkejut mendengar suara-suara dari kamar Galih