MBABAT ALAS

1077 Kata
“Wah ini kalau nggak berpikir tentang konsep yang kamu mau, kayaknya dijual juga susah di tanah seperti ini. Apa istilah yang tepat ya? Dibilang berbukit-bukit juga nggak, tapi bagaimana ya?” kata Irhan melihat tanah milik Anto. “Itulah seninya. Maka aku ambil lokasi yang ini. Tadinya sih aku biarin saja Listy mau pilih yang mana saja. Kali saja dia punya konsep lain. Tapi karena dia konsepnya untuk keluarga tentu anak-anak jadi susah kalau mau main lari-larian dengan lokasi seperti ini.” “Tapi aku bisa ngebayangin ini bakal cantik banget Mas,” kata Listy sambilmemandang berkeliling dan membayangkan disitu sudah ada bangunan cafénya. “Aku bisa ngebayangin pasti keren nih, bangunannya yang artistik.” “Sudah ada kok yang punya, tapi enggak persis seperti bayanganku sih. Nanti aku kasih lihat tapi agak ke dalam dari sini. Setidaknya ini lebih depan, jadi orang mungkin bisa ke tempat aku dulu,” kata Anto. “Tapi kan nanti di sini ada kantorku juga, jadi mungkin klien juga aku persilakan makan di belakang. Jadi sengaja aku ajak ngobrol mereka di café.” “Ruang kantorku hanya buat transaksi, tapi kalau untuk ngobrol detail desain dan segala macamnya aku ajak mereka di resto saja. Terus aku kasih free enggak apa-apa. Yang penting nanti berikutnya mereka jadi tahu dan langganan makan di caféku.” “Wah konsep yang bagus. Berarti nanti pelanggan butik ku juga aku ajak ngobrol di cafe juga ya. Kali saja mereka mau bawa anak-anak atau cucu atau siapanya nanti di kesempatan berikutnya. “Ya pokoknya seperti itulah. Tapi kalau untuk gambar desain dan segala macamnya pastikan kamu butuh ruang tersendiri. Nggak mungkin ngobrol di luar,” ucap Anto. “Iya pokoknya nanti aku bikinlah satu meja khusus buat aku ngejamu tamu di café. Jadi meja itu nggak disewakan atau nggak boleh dipakai oleh orang lain. Nanti di sana ada satu lemari kecil berisi peralatan tulis atau gambar dan kertas kosong. Jadi aku nggak perlu bolak-balik ambil peralatan tulis.” “Pokoknya seperti itu deh Mas. Nanti aku bikin satu meja yang khusus punya aku di pojokan.” “Wah kalian ini otaknya beneran otak bisnis ya. Aku kagum sama kalian,” puji Irhan tulus. “Eh sebelum ditikung sama Mas Anto, nanti Mas Irhan jadi penyanyi café-ku ya. Entah seminggu dua kali atau seminggu tiga kali kalau sudah stay di Jogja. Katanya mas Irhan kan mau stay di Jogja.” “Wani piro?” kata Irhan. “Apa dia penyanyi?” tanya Anto. Dia tak tahu kalau Irhan memang suka menyanyi. “Belum jadi penyanyi profesional sih, tapi suka saja nyanyi. Aku bisa main drum, bisa main organ, dan gitar,” kata Irhan. “Wow, kalau begitu bagaimana hari lainnya nongkrongnya di café aku?” “Nggak. Nggak bisa. Hari lainnya aku harus free. Bisa ngelayap ke mana pun. Nggak kerja karena walau bagaimanapun nyanyi itu karena sudah kontrak pasti harus pergi dihitung kerja kan?” “Bukan soal duitnya tapi waktunya. Aku harus komit dengan waktunya. Jadi aku sanggup di dua hari saja satu minggu. Nantinya dilihat jadwal hari padatku di klinik. Aku akan praktik di klinik itu pagi saja.” “Sore nanti mungkin dua rekanku yang aku persilakan mereka praktik di situ sore. Jadi dari pagi sampai sore klinik aku akan buka terus.” “Di sana juga sudah mulai ada kamar untuk rawat. Jadi aku mulai bikin sebenarnya itu rumah sakit tapi masih skala kecil lah. Ada tiga ruang rawat. Sudah aku cari referensi untuk rekrut enam perawat dulu untuk tahap awal.” “Semoga maju klinikmu,” kata Anto. “Aaamiiiin. Aku sih optimis maju. Aku kan buka di daerah pelosok, bukan di tengah kota. Itu bukan di tempat ramai. Aku nggak targetkan mereka bayar mahal, tapi aku lihat masyarakat sekitar banyak ke dokter umum atau lebih banyak ke puskesmas sih. Puskesmas kan gratis. Jadi aku akan memasang tarif untuk dokter spesialis dengan tarif dokter umum. Itu saja sih. Aku nggak muluk-muluk.” “Kalau kamu kasih tarif seperti itu, lalu nanti gaji karyawan bagaimana? Apa kamu nggak tekor?” kata Listy. “Untuk tahap awal jujur saja semua pendapatan itu cuma buat operasional, termasuk gaji karyawan. Aku nggak dapat apa pun. Itu akan berlangsung satu tahun.” “Aku hitung seperti itu. Untuk tahun-tahun berikutnya semakin berkembangnya ruang rawat tentu nanti akan ada profit masuk. Baru di situ ada income untuk aku.” “Kalau BEP, masih sangat jauh. Sangat jauh. Tapi ya enggak apa-apa lah. Aku nggak berpikir langsung cari keuntungan sih. Yang penting aku punya nama dulu di situ.” “Kepercayaan orang di situ tuh masih sulit, terlebih mereka terbiasa yang gratis di puskesmas. Dokter spesialis itu akan sulit karena mereka lebih percaya konsultasi ke bidan saja. Apa pun penyakitnya bahkan untuk anak dan laki-laki mereka akan periksa ke bidan. Atau Pak mantri, enggak perlu ke dokter apalagi dokter spesialis.” “Iya benar. Aku juga merasakan. Itu kenapa aku kemarin survey tiga hari, karena mereka terbiasa dengan barang jenis sini, kalau aku kasih barang jenis Bintaro tentu akan terlalu tinggi dan jomplang.” “Jadi aku memang harus cari materi sesuai dengan lokasi daerah tempat aku akan buka nanti.” “Nah seperti itu yang aku pikirkan. Jadi kalau aku cari keuntungan langsung itu tidak akan ada,” jelas Irhan. “Lalu maaf. Kalau kamu nggak mau jawab nggak apa-apa. Untuk hidupmu sehari-hari bagaimana?” “Benar kalau kamu sekarang belum ada istri, tapi misalnya ada istri lalu bagaimana nafkah untuknya?” “Untuk satu tahun ke depan ini aku masih cukup dengan tabunganku saja. Tapi untuk berikutnya kan sudah ada sedikit demi sedikit uang masuk. Aku tentu nggak mau punya istri yang materialistis.” “Istriku harus tahu walaupun aku pemilik rumah sakit kecil itu atau poliklinik atau apalah namanya nanti, tetap aku itu masih incomeless. Dia harus tahu itu.” “Jangan berpikir, wah ini dokter punya poliklinik pasti tajir melintir. Berarti dia cuma mau sama hartaku. Nggak seperti itu. Aku selalu biasakan kejujuran walaupun itu menyakitkan.” “Mau aku begini kalau enggak mau ya monggo. Tinggalkan saja. Aku enggak nyari orang yang mengharuskan aku berbuat di luar keyakinanku.” “Aku yakin kalau klinik ini akan semakin besar, tapi tidak dalam jangka waktu cepat atau instan. Jadi kalau mau ya ayo kita mbabat alas bareng-bareng.” Mbabat alas maksudnya membuka hutan untuk bercocok tanam, Namanya membuka hutan kan tidak langsung menghasilkan. Membersihkan semua pohon dulu, menanam, merawat baru panen. Jadi prosesnya sangat lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN