Part 9. His Bad Wishes

1529 Kata
“Hai Na… kaget ya ngeliat aku?” Sapa lelaki itu, cengar cengir.- Ya Tuhan, di mataku masih terbayang dia dengan seragam sekolah kami dulu dengan senyum nakal dan isengnya yang sering menggodaku. “Iya kaget. Kukira kamu penampakan hantunya Abdi Abrian Adhyaksa, bukannya dia sudah mati ya? Gak pernah menghubungiku dari sejak pertemuan terakhir.” Aku melengos kesal. Terdengar suara kikikan dari Mas Reino dan satu lagi lelaki yang tidak kalah tampan dari Mas Reino dan Abdi. Aku memicingkan mata, coba mengingat siapa lelaki ini. “Kan Abs, apa gue bilang. Gue aja ditolak ama Reina, dengan kualitas seperti gue gini loh. Apalagi elu? Mana udah disangka almarhum lagi elu Abs, hantu dong ini berarti hahaha…” “Eh Dante, asem banget sih. Lagian kan elu tahu apa penyebab gue gak bisa balik ke Jakarta.” Aaah ternyata dia Dante. Dante Saksono, lelaki emosian yang nekat menyatakan cinta padaku sampai minta Mas Reino untuk membujukku. Sayangnya, aku illfeel dengannya. Lelaki yang susah mengontrol emosi. Tapi… kenapa tadi Abdi bilang dia gak bisa balik ke Jakarta? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya di Aussie? Jika iya, kenapa tidak ada yang memberitahuku? “Hei Na, selamat yaa akhirnya kamu dipinang lelaki lain. Semoga bahagia, karena kalau kamu tidak bahagia dan membutuhkannya, aku akan berikan itu semua. Maaf telat datang, ngejemput nih bocah dulu baru bisa ke sini.” Dante mengulurkan tangannya, memberi ucapan selamat padaku. Mataku memicing tidak suka pada apa yang dikatakannya tapi aku tetap membalas uluran tangannya. Itu artinya dia memberi selamat tapi sekaligus doa jelek pada pernikahanku kan? “Bro… kasih gue waktu berdua Reina dong, ada banyak hal yang ingin gue bicarakan ke dia.” Abdi dengan mode serius yang aku jarang lihat. Biasanya dia iseng, bukan serius seperti ini. Setelah hanya tinggal kami berdua, Abdi duduk di hadapanku, ada meja bulat kecil yang memisahkan kami berdua. Untuk beberapa saat, kami hanya bisa bertatapan, tanpa ada kata terucap. Kenangan masa lalu saat kami masih SMU, saat Abdi berucap janji akan menjadikanku sebagai istrinya, tiba-tiba hadir. Rasa rindu tiba-tiba menyeruak, meminta perhatian dariku. Tapi… semua sudah terlambat. Aku telah menjadi istri lelaki lain dan aku mencintai Mas Alan. “Reina… maaf banget aku baru bisa muncul lagi setelah sekian lama.” Abdi yang pertama kali memecah kesunyian dengan permintaan maafnya. Aku tidak merespon, tidak juga menjawab. Hanya menatap matanya tajam, mungkin juga sinis. “Na, jangan diam aja dong. Euum aku boleh merokok ya? Berada di dekatmu bikin aku grogi. Melihatmu secantik ini, begitu dekat, membuatku ingin memelukmu Na. Andai saja tidak ada meja bulat pemisah ini, mungkin kamu sudah ada dalam dekapanku.” Tanpa menunggu persetujuanku, Abdi menyulut rokok. “Kamu yang berjanji, kamu juga yang mengingkari Abs. Kamu menghilang selama ini, tidak ada kabar sama sekali.” Akhirnya aku bersuara, mengeluarkan kekesalanku pada Abdi. “Kaya lagu dangdut deh Na, kau yang berjanji kau yang mengakhiri. Huuhft…. maaf ya Na, sekali lagi maaf. Tapi aku memang tidak bisa kembali ke Jakarta karena aku melakukan kesalahan sungguh besar. Karena aku….” Abdi tidak melanjutkan kalimatnya, hal itu membuatku fokus ke arahnya, aku penasaran, dia melakukan kesalahan apa. Abdi bukanlah tipe bad boy, dia cenderung anak manis yang menjadi idaman semua ibu untuk dijadikan menantu. “Karena….? Karena apa?” Alisku naik, menunggu kalimat selanjutnya. Abdi menghisap rokoknya dalam-dalam, dikeluarkan dan membentuk beberapa donat, lumayan menghiburku. Mata tajamnya melihatku intens tapi penuh rindu. Membuatku grogi. “Karena Na, aku melakukan kesalahan di Aussie dan dipenjara selama beberapa tahun.” Jelasnya, kemudian mematikan puntung rokok dan fokus melihatku saja. “Haaa?? Huwaaattt??? Kamu ngapain sampai dipenjara gitu? Kamu bunuh orang Abs di sono?” Gantian aku yang panik. “Enggak Na, gak mungkin aku membunuh orang. Waktu itu ada aksi demo. Kami melakukan aksi protes global melawan perubahan iklim. Kamu tahu kan, di Australia perubahan iklim merupakan masalah darurat, mengingat bagian tenggara Negeri Kangguru itu telah hancur akibat terjadi ratusan kebakaran hutan yang merusak selama beberapa tahun terakhir.” “Lalu, apa hubungannya dengan kamu dipenjara? Protes atau demontrasi kan suatu hal yang wajar.” Tanyaku, masih belum bisa menemukan benang merah. Abdi kembali menarik nafas, “waktu itu demo berjalan ricuh. Kami bentrok dengan aparat, salah satunya aku yang melawan aparat dan berhasil menjatuhkannya. Sayangnya karena adrenalin meningkat dan darah mudaku, aku tidak menyangka aparat itu terluka parah, beberapa tulang remuk dan dia mengajukan tuntutan padaku. Papa dan mama sudah berusaha untuk membebaskanku tapi yaaa… hanya berhasil mengurangi masa hukumanku menjadi dua tahun lebih dan denda ribuan dollar, setelah itu aku harus melakukan kerja sosial selama tiga tahun.” Abdi meremas tangannya sendiri. "Itu membuatku tidak bisa kembali ke sini, menemuimu Na." Pungkasnya. Matanya terlihat sedih. “Sorry to heard that, tapi kenapa kamu gak bilang padaku? Atau titip pesan ke Mas Reino? Atau siapa kek untuk kasih aku info sepenting ini Abs?” “Aku yang melarang Reino memberitahumu Na. Gimanapun juga, aku harus menyelesaikan hukuman yang dijatuhkan padaku. Ternyata hukuman yang aku terima tidak hanya sebatas penjara fisik, tapi karena kebodohanku aku juga mendapatkan hukuman non fisik." Katanya, tentu saja aku bingung. "Maksudnya apa?" Tanyaku penasaran. "Beberapa bulan lalu Reino menelponku bilang bahwa kamu akan menikah dengan lelaki lain. Berita ini menjadi hukuman yang lebih menyakitkan dibanding secara fisik aku berada di balik jeruji besi.” Jawab Abdi, matanya tepat menghunus ke arah mataku. Hatiku mencelos mendengarnya, “aku sudah berpikir kamu kepincut bule yang cuma pakai bikini di sono. Kamu ganteng, kaya raya, pintar dan yaah punya segala yang diinginkan setiap perempuan.” Jawabku dengan suara bergetar. Mataku memanas. Kenapa di hari pernikahanku ini, aku mendapatkan kabar yang membuat hatiku remuk? “Iya, memang banyak bule cantik berkeliaran di dekatku Na. Jujur aku sempat tergoda setelah Reino memberi tahu bahwa kamu akan menikahi lelaki lain. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur, aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk merubah apa yang telah terjadi. Hari ini kamu sudah resmi menyandang status sebagai Nyonya Reina Alan Sunoto bukan?” Tutur Abdi, suaranya lirih dan bergetar. Mungkin saja dia menyampaikan ini dengan susah payah. “Iya.” Jawabku singkat. Aku menoleh ke arah lain, memutus pandangan mata kami yang terpaut sedari tadi. Keheningan malam ini, semakin menambah suasana sedih bagiku. “Kamu mencintai lelaki itu Na?” Tanya Abdi, menuntut jawaban. “Aku tidak mungkin menerima pinangannya, jika aku tidak mencintai Mas Alan.” Jawabku, tegas. Abdi menarik nafas panjang, bahunya yang tadi tegak menjadi turun, seperti seorang tentara yang kalah perang. “Kalau begitu, sama sekali tidak ada harapan lagi bagiku ya Na?” “Berharap untuk apa, Abs?” Suaraku mulai meninggi, tidak suka. “Siapa tahu ada kesempatan bagiku untuk masih bisa berharap mendapatkanmu dan menjadikanmu sebagai istriku.” Kalimat cukup panjang itu diucapkan dengan nada pelan oleh Abdi, tapi efeknya luar biasa bagiku. Aku marah padanya! Aku yang sedang dalam mode emosi labil, tiba-tiba mendengar harapan yang diucapkan oleh seorang lelaki yang kami dulu pernah dekat. Sebuah harapan tidak baik bagi pernikahanku! Bukan salahku hingga akhirnya aku melabuhkan cinta pada Mas Alan! “Maksudmu apa Abs? Kamu kan tahu, sebuah ucapan adalah doa. Kamu berharap agar aku tidak bahagia dengan pernikahan ini? Kemudian bercerai dari Mas Alan? Jahat kamu Abdi! Kamu yang salah, kamu yang tidak pernah memberiku kabar sama sekali. Sekarang kamu muncul dengan tiba-tiba di hari pernikahanku dan memberiku sebuah doa yang jelek?! Tega kamu Abs! Aku benci kamu! Benciii!!” Teriakku. Aku berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan tergesa. “Reina…, tunggu! Bukan itu maksudku. Reinaaa… hei tunggu, dengar penjelasanku dulu Na!” Aku tahu Abdi mengikutiku, bahkan aku mendengar Mas Reino dan Dante bertanya ada apa, tapi aku tidak peduli. Aku ingin kembali ke kamar secepatnya untuk bisa menumpahkan segala kekesalanku. “Reina… tunggu…” Saat ini kami ada di depan lift, Abdi menarik tanganku, membuat langkah kakiku berbalik ke arahnya. Nampak keterkejutan di wajahnya saat melihat air mata yang sudah meluruh deras di pipiku. Tangan Abdi ingin menghapus air mata itu, tapi aku menghindar. “Na… maaf, jangan menangis dong Na. Bukan itu maksudku, aaaggrh… maaf tadi aku salah omong, salah menyampaikan Na. Please dong jangan menangis.” Kedua tangan Abdi memegang lenganku, saat dia hendak menarikku ke dalam pelukannya, mendadak muncul Mas Alan keluar dari lift. Dia melihat ke arah kami dengan tatapan tidak suka. Matanya terpaku pada tangan Abdi yang masih ada di lenganku. Dia berdehem keras. “Maaf, Anda siapa? Kenapa tangan Anda bisa berada di situ?” Tanya Mas Alan pada Abdi. Aku berusaha meloloskan diri dari tangan Abdi yang masih saja memegang lengan atasku. “Eeeh maaf… Tolong jangan salah paham. Saya yang salah, Reina tidak bersalah apapun. Sekali lagi maaf.” Abdi melepaskan tangannya kemudian mundur beberapa langkah. Aku semakin tersedu, sekarang kami menjadi tontonan orang-orang. Aku sungguh kesal. Dengan menghentak kaki tanda marah, aku menuju lift diikuti Mas Alan. Sebelum pintu lift menutup, aku masih bisa melihat wajah penuh penyesalan Abdi, wajah sangat ingin tahu Mas Reino dan Dante. Abdi mengatupkan tangan di depan dadanya, aku tahu dia sungguh menyesal, hanya saja moodku sedang jelek sekali tadi hingga aku akhirnya menumpahkan kekesalanku pada Abdi. Sejujurnya, ini tidak murni semua kesalahan Abdi, aku juga andil. Maaf Abdi, maaf... ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN