“Siapa lelaki tadi?” Tanpa basa-basi, Mas Alan langsung bertanya padaku saat kami tiba di kamar pengantin kami.
“Abdi dan Dante. Abdi temanku saat SMA, Dante teman Mas Reino.” Jawabku singkat.
Sebenarnya aku ingin bertanya hubungan antara Mas Alan dan Khamila, tapi ini kan seharusnya menjadi malam pertamaku. Menjadi hari yang seharusnya tidak akan aku lupakan seumur hidup, karena aku akan menyerahkan kesucianku kepada lelaki yang telah resmi menjadi suamiku. Jangan sampai aku mengingat hari ini sebagai hari terburuk dalam hidupku. Apa daya malah seperti ini jadinya. Aku curiga dan cemburu pada Khamila, sedangkan Mas Alan curiga padaku. Hubungan suami istri macam apa ini? Bukannya didasari pada kepercayaan tapi malah kecurigaan!
“Sebagai seorang perempuan yang sudah resmi menjadi istri, seharusnya kamu bisa menempatkan dirimu Reina, tidak asal mau disentuh oleh lelaki lain begitu saja.” Mas Alan berkata dengan nada dingin, sedingin tatapan matanya yang menghunusku. Aku bisa melihat itu dari pantulan cermin di depanku ini.
Aku menghentikan kegiatanku membersihkan riasan di wajah. Kubalikkan tubuhku agar bisa melihat Mas Alan. Ganti kutatap tajam manik matanya, dia menjadi jengah dan berdehem kecil.
“Aku cukup tahu statusku sebagai seorang istri. Aku tidak akan selingkuh dengan lelaki lain, karena cintaku hanya padamu, Mas. Kuharap kamu juga seperti itu, cintamu hanya padaku, walau kita menikah bukan atas dasar cinta tapi aku berharap perasaan itu akan tumbuh pada kita berdua.” Aku berkata panjang lebar, menyuarakan isi hatiku. Sungguh bukan itu yang ingin aku sampaikan, hanya saja lidahku masih kelu untuk bertanya tentang hubungannya dengan Khamila. Ada apa sesungguhnya di antara mereka berdua.
Mas Alan menarik nafas panjang, tidak berkata apapun bahkan untuk merespon apa yang aku sampaikan tadi. Aku tidak bisa menduga apa yang dia pikirkan saat ini. Wajah dan matanya tampak datar, seperti lelaki emotionless.
Tiba-tiba ponsel Mas Alan berbunyi nyaring, dia menjawab panggilan telepon itu, sepertinya dari salah satu kerabat.
“Halo assalamualaikum…”
Aku tidak bisa mendengar apa kata si penelpon, tapi tiba-tiba Mas Alan berdiri dan mengambil jaket serta kunci mobil.
“Baiklah, tunggu di lobi saja aku akan antar.” Kemudian Mas Alan menutup panggilan telepon itu dan memakai jaketnya. Aku berdiri, sebagai istri aku berhak tahu di malam pertama kami ini, suamiku akan pergi ke mana, bersama siapa, mau apa. Boleh kan?
“Mas mau ke mana?” Tanyaku, aku berdiri dengan kedua tangan terbuka lebar, menghalangi pintu kamar honeymoon suite yang luas dan indah ini. Sayangnya, keindahan kamar ini tidak berbanding lurus dengan indahnya hariku sebagai seorang pengantin.
“Mengantar Pakde dan Bude Sukitjo kembali ke hotel.”
Pakde dan Bude Sukitjo? Itukan bapak dan ibu Khamila, artinya, Mas Alan juga akan bertemu dan mengantar Khamila di malam pertama pernikahan kami?
“Berarti ada Khamila juga?” Tanyaku, antara bodoh dan polos.
“Tentu, Pakde dan Bude Sukitjo kan bapak ibu Khamila. Tidak hanya mereka bertiga, tapi juga ada sepupu yang lain kok.” Alis Mas Alan naik, dia mulai mengendus kecurigaanku. Matanya melihatku tidak suka.
“Bagaimana jika aku membuka kamar untuk Pakde dan Bude Sukitjo juga buat kerabat yang lain di hotel ini? Jadi Mas tidak perlu mengantar mereka.” Tawarku, berusaha mempertahankan apa yang telah sah menjadi milikku.
“Tidak perlu, barang-barang mereka semua ada di hotel lain. Lagipula kami tidak sanggup untuk membayar biaya sewa kamar ini.”
“Nanti bill akan sekalian kami yang tanggung, tidak perlu khawatirkan itu.” Tentu saja aku lebih khawatir suamiku bersama perempuan lain ketimbang biaya kamar hotel.
Sayangnya, apa yang aku katakan baru saja itu, menyinggung ego Mas Alan. Dia menyingkirkan tubuhku dengan sedikit kasar.
“Jangan mentang-mentang karena kalian orang kaya terus bisa menyangka semua bisa kalian beli. Kami memang tidak sekaya kalian, tapi kami bukan pengemis! Kami memilih hotel sesuai kemampuan ekonomi kami.”
Kami??
Aku bergeming. Tubuhku tetap berusaha di tempat, menghalangi pintu itu. Wajah Mas Alan memerah, uratnya nampak, sebagai tanda bahwa dia sedang emosi namun coba menahannya. Mungkin karena aku perempuan.
“Minggir, Reina! Aku tidak mau kasar padamu!” Bentaknya.
Lisannya berkata tidak ingin berbuat kasar padaku, tapi nyatanya? Bahkan secara verbal dia malah sudah kasar dengan membentakku.
“Aku menuntut malam pertamaku sebagai istrimu!” Aku tersenyum sumir, dan berkata lirih.
Aku tak peduli lagi dengan menjaga kehormatan. Tapi benar kan? Aku berhak atas malam pertamaku bersama suami yang aku cintai.
“Tingkahmu kenapa seperti perempuan murahan? Jangan khawatir, kamu akan mendapatkan hakmu, jika aku ingin memberikan hakmu! Sekali lagi, minggir! Urusanku sekarang lebih penting dibanding melayani nafsumu!”
Aku memberi senyum perih, samar, kemudian kugeser tubuh menjauh dari pintu kamar. Sebuah senyum kesedihan yang seharusnya nyata terlihat oleh Mas Alan. Tapi dia tidak peduli, dia lewati tubuhku dengan tergesa demi mengantar Khamila dan keluarganya. Mengabaikan aku, istri sahnya, sendirian di kamar pengantin ini.
Hatiku langsung tertoreh luka tak berdarah. Di hari pertama pernikahanku, di malam pertama yang seharusnya menjadi hal yang diidam-idamkan oleh setiap pengantin baru, aku mendapatkan hinaan dari suami yang aku cintai. Melayani nafsuku? Ha.. ha... layaknya aku ini tante-tante girang pemakai jasa gigolo saja. Akan seperti apa kehidupan pernikahanku nantinya?
Apakah akan indah penuh bunga atau malah akan tandus dan gersang bak gurun pasir?
***
Apakah Mas Alan kembali ke kamar setelah mengantar Khamila? Entah, aku tidak tahu jam berapa Mas Alan kembali ke kamar hotel ini. Usai mandi dan ganti baju, kutumpahkan semua unek-unekku di atas sajadah, bercerita pada Sang Maha Pemberi Hidup. Karena aku tidak mungkin bercerita pada mama atau Mas Reino, tidak mungkin menceritakan aib rumah tangga, bahwa suami tercinta, meninggalkanku demi perempuan lain di malam pertama pernikahan kami. Bisa jadi Mas Reino akan menertawakanku karena tidak percaya padanya. Mungkin karena lelah menangis, aku jatuh tertidur tanpa tahu jam berapa Mas Alan berada di peraduan di sebelahku.
Siang ini kami akan berbulan madu. Papa memberi kami hadiah bulan madu untuk menghabiskan waktu selama dua minggu di negara-negara Nordic, negeri-negeri indah bak dongeng di belahan bumi bagian utara. Aku sudah menyusun rencana perjalanan selama seminggu lebih, kususun sendiri, karena kata Mas Alan waktu itu dia menurut saja. Tapi sekarang, aku tidak tahu apakah rencana perjalanan itu masih tetap berlaku? Karena sampai sekarang kami juga belum bertegur sapa.
Huufft… Aku menghela nafas panjang. Mataku bengkak, lingkar hitam mata panda tercetak jelas. Memakai concealer tebal juga tidak cukup untuk menyamarkan ini. Mama dan Mas Reino pasti akan curiga.
“Hati-hati ya nak, semoga pulang bulan bulan madu, kamu bisa langsung hamil.” Pesan Mama Rina padaku. Aku tersipu malu dan miris, bagaimana bisa hamil mah, dicolek aja tidak? Kucium pipi kiri dan kanan Mama Rina. Aku melirik Mas Alan, wajahnya tetap datar, walau ada sebaris senyum yang terbit di bibirnya. Aku tahu, itu adalah sebuah senyum yang dipaksakan, bukan senyum ketulusannya.
“Reina, mama tahu sesuatu yang tidak baik terjadi padamu semalam. Tapi sekarang kamulah yang resmi sebagai Nyonya Reina Alan Sunoto. Pertahankan apa yang telah menjadi hakmu.” Mama berbisik kepadaku, saat kami berpelukan. Mamaku memang hebat! Beliau tidak mau memaksaku untuk bercerita apa yang telah terjadi semalam, walau mama tahu tapi tidak mau ikut campur.
“Iya ma. Doakan pernikahan Reina ya ma. Doa seorang mama adalah doa yang mustajab.” Kupeluk erat mama.
Mas Reino melihatku dengan tatapan penuh penasaran dan ingin tahu, tapi tidak bisa bertanya karena aku dan Mas Alan akan berangkat ke Bandara Internasional Soekarno Hatta.
“Hati-hati ya Na, take care yourself.” Hanya itu yang diucapkan Mas Reino padaku, dan kesalnya lagi, Mas Reino hanya sedetik saja menerima uluran tangan Mas Alan. Seperti Mas Alan virus corona yang sangat menular!
Aku dan Mas Alan melambaikan tangan pada yang melepas kami. Dari pihak keluarga Mas Alan lengkap, ada mama papa dan adiknya. Dari keluargaku juga ada mama, Mas Reino dan papa tanpa istri mudanya. Aku mencari keberadaan Khamila, tapi tidak terlihat. Semoga saja dia dan keluarganya sudah kembali ke kampungnya.
***
Tiba di hotel, kami berdua kelelahan karena waktu tempuh yang hampir satu hari! Penerbangan selama 23 jam dengan sekali transit, tentu saja melelahkan. Apalagi Mas Alan. Mungkin ini perjalanan pertama kali baginya, yang terlama memakai pesawat. Tujuan pertama adalah Islandia. Dari Jakarta, tujuan kami adalah sebuah kota bernama Reykjavík.
Ada banyak sekali spot indah di negeri ini yang bisa kami nikmati. Hari pertama, kami habiskan dengan tidur dan bermalas-malasan di hotel, tubuh kami berdua masih lelah seperti tak bertulang. Karena ini bulan madu, papa memesan hotel yang terbaik agar aku tidak kesusahan di negeri orang. Mungkin juga ini salah satu usaha papa untuk meminta maaf padaku, karena selama ini menelantarkanku sebagai putrinya.
Apakah kami melakukan hal yang dilakukan oleh pasangan pengantin lainnya saat bulan madu? Di hari pertama kami tiba di Islandia, tidak! Seperti yang tadi sudah aku bilang bahwa kami habiskan dengan tidur dan bermalas-malasan saja, recharge energi. Tapi di malam kedua, setelah kami menjelajahi banyaknya spot indah di belahan bumi utara ini, saat malam hari, Mas Alan mendekatiku. Aku memenuhi kewajibanku untuk melayaninya. Aku adalah istri sahnya, sudah jadi kewajibanku untuk memberinya kepuasan jiwa dan raga, melayaninya sepenuh hati.
Jangan harap adegan romantis seperti yang ada di n****+ online, terutama di Innovel, tentang malam pertama yang dilakukan oleh pasangan pengantin baru. Tidak ada! Bahkan tidak ada juga kecupan di kening saat kami selesai melakukan itu, sebagai tanda sayang.
Mas Alan kelelahan setelah melakukan penyatuan ini, bahkan tidurnya juga mendengkur. Kupuaskan dahagaku dengan memandangi wajah tampan suamiku. Aku yang baru pertama kali melakukan ini, beberapa kali meringis merasakan nyeri di pusat tubuhku. Tapi aku nikmati ini, aku akan ikuti saran mama untuk mempertahankan hakku, karena, akulah Nyonya Alan Sunoto! Bukan Khamila atau perempuan lainnya, tapi aku! Ya, aku! Reina Adikusumo adalah pemilik sah Alan Sunoto!