Part 8. A Shoulder to Cry On

1020 Kata
Jelang akhir pesta, aku sudah merasa sangat lelah. Bukan hanya fisik, tapi hatiku. Semua berkata aku sangat cantik dan tampil memukau di hari ini. Semua! Kecuali Mas Alan, lelaki yang sudah sah menjadi suamiku. Dia tidak berkomentar apapun bahkan saat melihatku menjadi ratu sehari, di hari ini. Dia yang berada di sisiku selama beberapa jam terakhir, kami bersanding di pelaminan sebagai raja dan ratu sehari. Sudahlah, aku tidak peduli lagi. Aku cuma bisa berdoa pernikahanku akan bahagia, mampu mengatasi segala kerikil yang ada. Pesta sudah usai. Aku lelah dan muak, tapi tidak mampu berbuat apapun, karena aku belum tahu apa yang telah terjadi. Kami berenam, yang tadi ada di panggung, ditambah Mas Reino, sedang berusaha menikmati makan malam ini. Tidak ada yang berbicara. Semua makan dalam diam. Aku melihat ke arah Mas Reino dengan benci dan sungguh merasa sangat kesal. Jika bisa, aku ingin memiting lehernya sekarang juga! “Kami kembali ke kamar dulu ya Nak Reina. Mari bu, pak, kami duluan ke kamar.” Pamit mertuaku, Mama Rina dan Papa Sunoto kepada kami. Mama mengangguk dan memberikan senyum kecil, sedangkan papa berdiri dan sempat mengobrol sebentar dengan papa mertuaku. Kemudian papa pamit pulang, kami tidak ada yang mengantarnya. Oiya, papa datang sendiri ke resepsi ini, tidak bersama istri muda barunya. Resepsi ini dilakukan di sebuah hotel mewah di daerah Jakarta Selatan. Mama memang tidak main-main dengan keinginannya ini, membuat sebuah pesta mewah bagiku. Tapi untuk apa diadakan sebuah pesta mewah, penuh kemegahan, jika senyu kebahagiaan yang kami tampilkan hanyalah kepalsuan? Berhubung sudah sepi, hanya ada beberapa orang dari pihak keluarga kami yang juga sedang asyik makan serta staf hotel yang sudah mulai beberes, ini saat yang tepat untuk aku bertanya pada Mas Reino. Aku sungguh tidak bisa menahan lagi rasa emosi sekaligus ingin tahuku. “Mas! Tadi apa-apaan sih? Kenapa Mas Reino tega menghancurkan pesta pernikahanku ini sih? Salahku apa coba?” Tanyaku dengan nada bergetar karena menahan emosi. Mas Reino melihat ke arah mama, seperti minta pendapat. Mama diam saja, tidak memberikan reaksi, sepertinya mama menyerahkan keputusan - apapun itu - pada Mas Reino. Mas Reino menggaruk kepalanya, tanda kebingungan, tapi kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Dia memberikan ponsel pintarnya padaku agar aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri. “Na, maaf banget, bukan maksudku merusak hari bahagiamu. Tapi karena mama juga tidak melarangku untuk memberi tahu apa yang terjadi sebenarnya antara suamimu dan Khamila, jadi kupikir mama setuju jika aku memberi tahumu akan hal ini.” Prakata yang diucapkan Mas Reino aku abaikan karena mataku memanas melihat ke ponsel. Ada beberapa foto yang tertangkap candid Mas Alan dan Khamila yang sedang berpelukan. Tanganku gemetar menggulir galeri foto, mencoba kuat dan tegar untuk tetap nekat melihat foto-foto itu. Salah satu foto itu untuk aku lihat lebih dekat, lebih jelas, terlihat senyum bahagia pada Mas Alan dan Khamila, mereka berpegangan tangan dengan erat, mata keduanya bertemu dan tampak serasi. Pantas saja Khamila dan Mas Alan bertingkah aneh hari ini. “Mas, apa artinya ini?” Aku menuntut penjelasan. “Kamu sudah dewasa Na, pasti kamu sudah paham apa arti foto ini. Seperti yang aku pernah bilang dulu bahwa mereka berdua mempunyai hubungan spesial kan? Iya, Si Alan yang s****n itu punya satu mantan pacar, Khamila! Mereka putus beberapa hari setelah Om Sunoto, papanya Si Alan itu memberi ultimatum bahwa Alan harus menikahimu karena kalian sudah dijodohkan dari dulu. Sebuah perjodohan t***l dengan alasan yang tidak masuk akal!” “Reino! Tidak usah dilanjutkan! Cukup Reina tahu kalau antara Alan dan Khamila pernah ada hubungan kekasih. Reina, sekarang kamu sudah resmi menyandang status sebagai Nyonya Reina Alan Sunoto. Kamu yang secara sah menurut agama dan negara sebagai istrinya. Buktikan bahwa kamu bisa menjadi seorang istri yang baik hingga akhirnya Alan akan bertekuk lutut padamu, bukan pada Khamila atau perempuan lain. Surgamu sekarang ada pada suamimu, bukan pada mama lagi. Patuhi suamimu, selama dia tidak menyuruhmu untuk syirik. Mama dan Reino hanya bisa menjagamu dari kejauhan. Sekarang, kembalilah ke kamar, istirahat. Besok siang kalian akan berangkat berbulan madu kan? Mama ke kamar dulu ya, gerah, mau mandi.” Mama mencium pipiku, menepuk pundakku seperti ingin memberi kekuatan kemudian melangkah pergi keluar ballroom. Walau aku tahu pasti, mama gusar dengan foto tadi. Tinggal aku dan Mas Reino di meja makan ini. “Na, aku mau ke taman samping di sebelah ballroom ini, mau ikut? Daripada bengong di sini.” Aku mengikuti langkah Mas Reino, kami berdua duduk di bangku taman hotel ini. Hotel ini mempunyai taman yang luas di sisi samping kiri ballroom dengan pohon besar di tengah taman yang menjadi pusat perhatian dan juga water fountain yang semakin cantik dengan lampu kuning temaram. Sebenarnya, aku merasa miris. Di hari pernikahanku, masih memakai baju pengantin yang simpel dan modern, malah menghabiskan malam di taman dengan kakak, bukan dengan suami. Mas Alan tidak kembali ke ballroom setelah tadi bilang akan mengantar Mama Rina dan Papa Sunoto. Mataku terasa panas, mungkin saja sudah ada kolam air mata yang aku yakin akan segera jebol jika aku semakin berpikir yang tidak-tidak pada Mas Alan dan Khamila. Kesunyian kami terpecah oleh dering suara ponsel Mas Reino. “Hallo… hei bro, gue ama Reina di taman samping ballroom. Lu ke sini, ntar makan di resto hotel ini aja. Lagian undangan jam berapa, datang jam berapa.” Aku menoleh ke arah Mas Reino yang menjawab panggilan telepon entah dari siapa. Terdengar derap langkah kaki, tidak hanya milik satu orang tapi aku yakin ada beberapa orang yang menuju ke arah kami. Tapi aku tidak peduli. Aku menatap ke langit, coba mengagumi indahnya langit malam ini yang gelap tanpa bintang. Mungkin saja mendung hingga menutupi kerlap kerlip gemintang yang biasanya menambah cantiknya malam. “Lihat apa sih Na? Lagi mendung emang sih, mungkin bentar lagi akan turun hujan. Jangan sampai kamu, The Beauty Bride, juga sedang mendung saat ini, terus bentar lagi nangis. Aku tidak bisa memberikan a shoulder to you to cry on karena kamu sudah resmi menjadi milik lelaki lain.” Sebuah suara lelaki, samar terdengar. Suara ini??? Suara bocah tengil yang lama sekali tidak kudengar! Aku menoleh dan seketika mataku membola saat melihat lelaki ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN