Part 11. Tahu Batasan

1737 Kata
Ini malam terakhir kami berbulan madu keliling negeri Nordic. Saat ini kami berada di Helsinki, Finlandia. Kukira setelah dua minggu selalu bersama dan kami beberapa kali melakukan penyatuan itu, akhirnya aku akan memenangkan hati Mas Alan. Nyatanya aku salah, salah besar! Saat ini Mas Alan sedang di kamar mandi, mungkin mandi janaba. Kulihat ponselnya bergetar dan nampak panggilan video dari Khamila. Ya Tuhan, bahkan di bulan madu kami pun Khamila tega merusaknya! Apa sih maunya perempuan ini? Emosiku sudah mencapai ubun-ubun, ingin sekali aku meledak dan menyumpahi Khamila, berucap sumpah serapah dan kosa kata kotor yang aku punya. Tapiii, aku harus bisa menekan emosiku. Mama berpesan padaku untuk menjaga nama baik keluarga, tidak hanya Adikusumo tapi Adiwangsa. Sebuah nama yang harus aku jaga baik-baik karena ada darah biru pada nama itu. Breath Reina, breath! Inhale… exhale…. Tarik nafas panjaaang, keluarkan dan ucap istigfar, Reina! Istigfar! Berkali-kali aku memastikan kata istigfar ke otakku agar pikiranku tetap waras. Tapi tetap saja, rasa penasaranku mengalahkan kewarasanku. Tangan gemetarku menggulir layar ponsel Mas Alan ke sisi gambar telepon berwarna hijau, yang artinya aku menerima panggilan video itu. “Halo… assalamualaikum…” Sapaku pelan, dengan nada tercekat. Apa yang kusaksikan di layar video adalah sosok Khamila yang kaget saat melihat akulah yang menerima panggilan video itu, bukan Mas Alan. “Waalaikumusalam. Eeh eeuum, maaf Reina, apakah Mas Alan ada?” Tanyanya. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja ada! Ini kan ponsel Mas Alan, dan dia menelpon suamiku di hari bulan madu kami! “Ada, lagi di kamar mandi. Sedang mandi janaba. Yaah, tahu kan apa yang akan dilakukan oleh seorang muslim setelah melakukan hubungan suami istri, kami harus bersih sebelum sholat.” Jawabku, merasa di atas angin. Aku berkata dengan nada lembut tapi aku yakin apa yang aku katakan tadi cukup menghancurkan hati Khamila. Membayangkan itu, aku tersenyum penuh kemenangan. Seketika wajah Khamila pucat. Aku semakin merasa di atas angin, sehingga kucecar saja dia. “Maaf Mbak, kami sedang berbulan madu. Apakah pantas bagi Mbak Khamila untuk menelpon suami saya, Mas Alan, tanpa tujuan yang jelas?” Tanyaku, menantang. Eeeh tapi aku kan belum tahu untuk tujuan apa Khamila menelpon Mas Alan. “Euum… iya maaf Reina, aku menelpon Mas Alan untuk memberi tahu bahwa bapak sedang sakit.” Jawabnya, terdengar kepanikan, entah panik karena apa. Karena bapaknya sakit atau karena aku yang mengangkat telponnya. Lagipula yang sakit kan bapaknya, bukan papa, kenapa pula Mas Alan sampai harus repot “Bapak? Maksudnya Papa Sunoto sakit? Sakit apa? Tadi aku video call Mama Rina dan ada Papa Sunoto kok, alhamdulilah baik-baik saja.” Kataku dengan nada datar, bibirku mencibir, mungkin saja aku mencemooh rencana busuknya karena menelpon suami orang lain pada saat bulan madu. “Eeh bukan Om Sunoto, tapi bapakku, Pak Sukitjo.” Jawab Khamila, semakin pucat. Aku dengar suaranya bergetar, sedikit ketakutan. “Ooh, kalau sakit mah dibawa ke dokter dong mbak, ke rumah sakit, bukan menelpon Mas Alan. Mas Alan kan bukan dokter, apalagi di saat bulan madu kami.” Kataku semakin jumawa. “Iya… maaf, sekali lagi maaf. Sampaikan salam untuk Mas Alan. Terima kasih. Assalamualaikum.” Khamila mengakhiri panggilan video itu. Aku menghela nafas, seketika tersadar bahwa aku sudah melakukan kesalahan besar. Mas Alan masih ada di kamar mandi, cukup bagiku untuk merangkai kata apa yang akan aku ucapkan padanya sebagai alasan kenapa aku nekat menerima panggilan video dari Khamila padahal itu di ponsel Mas Alan. Tapi, baru juga hendak berpikir, tiba-tiba saja Mas Alan sudah keluar kamar mandi. Hilang sudah konsentrasiku. Jika aku tidak bilang terlebih dulu dan menunggu Mas Alan tahu dari Khamila, mungkin efek buruknya akan lebih besar untukku. Hingga, akhirnya aku memutuskan untuk bercerita terlebih dulu pada Mas Alan. Harapanku, semoga saja kebersamaan kami selama dua minggu ini bisa melembutkan hati Mas Alan. Mas Alan merebahkan tubuhnya di sebelahku, bersandar di headboard dan menggulir ponselnya. Aku harus secepat mungkin memberitahunya sebelum dia bertanya terlebih dulu. “Mas…” Tegurku lembut. Aku menelan ludah, jujur ada rasa takut Mas Alan akan marah. Tapi kalau marah, marah untuk apa? “Heeum…” Jawabnya, tanpa mau melihat ke arahku. Tapi kemudian keningnya berkerut sambil memperhatikan ponselnya. “Euum tadi Khamila telpon, karena Mas Alan sedang di kamar mandi jadi aku yang jawab.” Kalimat itu aku ucapkan dalam satu tarikan nafas. Aku melihat ke arah Mas Alan, takut-takut menunggu reaksinya. Mas Alan merubah posisi duduknya menjadi tegak, wajahnya berubah tegang. Baiklah, sepertinya aku melakukan kesalahan besar. “Maksudmu, kamu menjawab panggilan telepon dari ponselku? Tanpa ijin, Reina?” Suaranya mendadak tinggi. “Maaf… takutnya ada kabar yang penting dari kampung. Lagipula aku kan istrimu, Mas.” Aku beralasan. “Ada kabar penting atau tidak, kamu istriku atau bukan, kamu tidak berhak untuk ikut campur urusanku. Walaupun statusmu adalah istriku bukan berarti bisa seenak hati kamu bisa ikut campur, Reina.” Desisnya, terdengar kesal dan marah. “Tapi bukankah itu wajar Mas? Aku juga mengijinkan Mas untuk menjawab telpon dari ponselku kok.” Jawabku lagi, tapi hal ini belum pernah terjadi sih. Lagipula kenapa aku masih nekat menjawab Mas Alan? Hal ini hanya menambah bara api. Aku memang butuh untuk tahu batasan seperti yang dikatakan Mas Alan. “Terserah, tapi sekali lagi kutekankan, sebaiknya mulai sekarang kamu tahu batasan. Aku tidak suka urusan pribadiku diusik, demikian pula aku tidak akan mengusik urusan pribadimu.” Mas Alan kemudian beranjak dengan kesal, membuka pintu kamar hotel yang ada di lantai tiga ini untuk berada di balkon dan menelpon Khamila. Kenapa aku bisa tahu? Karena aku mendengar sayup-sayup Mas Alan menenangkan Khamila. Inginnya aku menguping, tapi emosiku sudah mencapai ubun-ubun. Aku tidak mau kelepasan lagi. Kukira, selama dua minggu kami bersama, Mas Alan bisa melupakan Khamila. Nyatanya, sama sekali tidak. Rupanya nama Khamila sudah menguasai semua ruang di hati Mas Alan. Tapi, jangan panggil aku Reina Adikusumo jika aku menyerah semudah itu. Aku akan berjuang untuk memenangkan hati Mas Alan karena akulah Nyonya Reina Alan Sunoto! Aku berpura kuat, aku tidak mau terlihat lemah di depan Mas Alan. Tapi tetap saja air mata ini menetes tanpa permisi. Perempuan dan air mata, kenapa juga stok air mataku berlimpah akhir-akhir ini? *** Tiba di Jakarta, Mas Alan langsung memboyongku ke rumah mungil yang sudah dia siapkan. Padahal aku kangen mama, tapi sekarang aku sudah mempunyai seorang imam yang harus aku patuhi. Mama bisa datang ke sini kapan saja atau aku akan datang mengunjungi mama saat Mas Alan bekerja. Bagaimana dengan hubungan kami? Biasa saja. Kami memang tinggal serumah bahkan sekamar. Tapi hubungan kami datar saja. Apalagi Mas Alan lebih sering sampai di rumah setelah Isya. Jika aku ajak makan malam bersama, dia sering menolak dengan alasan sudah makan. Makan malam bersama siapa? Khamila? Teman kantor? Dua minggu sudah kami tinggal bersama di satu atap. Selama dua minggu ini, Mas Alan dua kali tugas luar kota selama beberapa hari. Aku tidak tahu pergi bersama siapa dari kantornya, tapi Mas Alan memberi info ada beberapa karyawan yang juga dinas luar kota. Lusa, Mama Rina dan Papa Sunoto akan datang ke rumah ini dan menginap selama beberapa hari karena ada saudara yang menikah. Kukira ini akan jadi kesempatan bagus untukku mengorek info bagaimana hubungan antara Mas Alan dan Khamila, mumpung Mas Alan tidak di rumah. Aku bisa bertanya kepada Mama Rina atau kepada Rocky, adik iparku yang jauh lebih muda. Siapa tahu dia bisa bekerja sama. “Ocky, boleh minta info tentang Mas Alan dan Khamila?” Tanyaku setelah sebelumnya ngobrol ngalor ngidul coba mengulik Rocky. “Boleh, apa tuh mbak?” Rocky lebih muda dariku dua tahun. Tapi dia tetap memanggilku dengan sebutan mbak sebagai panggilan sopan karena akan dimarah Mama Rina jika nekat memanggilku hanya nama saja. “Euum, aku penasaran dengan hubungan Mas Alan dan Khamila. Cerita dong Ky, ntar aku traktir makan enak deh.” Rayuku. “Ooh, setahuku dulu mereka pacaran, tapi kan karena Mas Alan mau menikah sama Mbak Reina, sama bapak disuruh putus deh. Emang kenapa sih mbak? Lu cemburu ya ama Khamila?” Tanya Rocky malah dia yang penasaran. “Gimana ya Ky, yang jadi istri Mas Alan kan aku, tapi entah kenapa aku ngerasa Mas Alan lebih memperhatikan Khamila daripada aku.” Jawabku. Berbicara dengan Rocky, aku bisa lepas karena dia anak yang ceplas ceplos, tidak ada yang ditutupi. “Gak perlu cemburu sih kalau kata gue. Malah bikin elu sakit ati mbak. Mereka berdua emang deket dari jaman dulu. Bawa santai aja.” Sesantai jawaban bocah ini. “Mana bisa Ky, perempuan mana yang gak was-was kalau gini? Kami menikah kan juga bukan karena cinta, walau aku sayang Mas Alan dan berharap Mas Alan juga mempunyai perasaan yang sama denganku.” Rocky melihatku dengan pandangan mata prihatin. Mendadak dia tidak lagi ceplas ceplos, seperti berpikir apakah benar yang dilakukannya, dengan membocorkan informasi ini padaku. “Mbak, gue asumsiin elu gak tahu ya kalau Khamila sama Mas Alan itu satu kantor walau beda divisi?” Suara pelan Rocky bagaikan petir di siang bolong untukku. “Haa…? Apaaa?? Whaaat?? Sejak kapan?” Tentu saja aku panik mendengar ini. “Belum lama kok, empat bulanan ini. Khamila ditarik ke kantor pusat atas permintaan Mas Alan. Katanya karena berprestasi jadi dapat promosi gitu deh.” Empat bulan lalu? Itu artinya dua bulan setelah tanggal pernikahan kami ditetapkan. Apakah kecurigaan Mas Reino ini benar? Aku yang diam saja, membuat Rocky curiga. “Mbak, gue suka ama elu dan berharap elu bakalan jadi ipar gue terus. Kenapa gak coba tanya mama? Mungkin mama akan kasih info yang lebih lengkap tentang Mas Alan dan Khamila.” Ah ya, aku lupa ada satu lagi sumber info yang harus aku korek. Sebenarnya aku ragu apakah Mama Rina akan berkata yang sebenarnya atau tidak tentang hubungan keduanya. Naluri seorang ibu adalah melindungi anaknya, akan sangat wajar jika Mama Rina berbohong demi Mas Alan. Tapi toh tidak ada salahnya aku coba tanya. Berbekal hal itu, aku nekat bertanya kepada Mama Rina saat kami berada di dapur. Aku yang belum pintar memasak, hanya ikuti saja apa yang diinstruksikan oleh Mama Rina. Aku sedang mencari celah untuk bisa bertanya tanpa membuatnya penasaran. Sayangnya, aku tidak mendapat info lengkap. Mama Rina hanya menjawab seperlunya, tidak ada tambahan info selain mereka memang pernah dekat dari sekolah menengah atas sampai sekarang. Bukan pernah dekat mah, tapi sampai sekarang masih dekat dan ini membuatku gak nyaman. Andai saja aku bisa mengutarakan itu. Tapi tidak perlu menunggu lama, hal ini akan terkuak. Sebuah hal yang membuatku harus semakin berhati-hati mempertahankan Mas Alan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN