Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Alan. Akhirnya hari ini datang juga! Hatiku berdebar kencang saat mendengar Mas Alan berucap sumpah akad sampai dua kali. Entah apa yang dipikirkannya karena pada saat berucap sumpah pertama kali, dia berhenti saat hendak menyebut namaku sebagai pengantinnya. Tapi aku bersyukur setelah diberi jeda beberapa saat, akhirnya Mas Alan berhasil mengucap namaku dengan benar. Papa yang bertindak sebagai wali nikahku, juga terlihat tegang. Akhirnya setelah terdengar ucap sah dari penghulu, kami semua bisa menarik nafas lega.
Sebelum acara pesta, kami melakukan sesi foto pengantin dan keluarga. Berkali-kali pengarah gaya dari studio foto, mengingatkan Mas Alan untuk tersenyum. Wajahnya tegang dan tampak tidak nyaman hingga menjadi bahan guyonan bagi keluarga untuk menggodanya.
“Duuuh si pengantin laki tegang banget sih, sampai lupa senyum? Tegangnya ntar malam aja keleeeuuss pas duaan doang.” Tentu saja guyonan ini disambut riuh rendah oleh keluarga besar kami berdua.
“Iyaa bener, tuh lihat aja si pengantin cewek pipinya ampe merah gituuu…” Sambut yang lain.
Tapi kami abaikan semua godaan receh saudara agar sesi foto bisa segera selesai.
“Nah sekarang foto berhadapan ya. Si Mas-nya meluk pinggang istrinya terus tatap-tatapan yang mesra gituuu yaa. Kurang maju wooy kurang dekaaat… Masih shy shy cat ya mentang-mentang pengantin baru nih. Kaya gini looh caranya…” Si pengarah gaya kemudian mendekati kami, memberi contoh pose yang dia inginkan.
Dia meletakkan tangan kekar Mas Alan ke pinggangku, kemudian tanganku dibawa ke lengan Mas Alan. Posisi kami sungguh intim, membuatku kembali tersipu. Tapi karena terlalu grogi, aku sampai tidak melihat ke wajah Mas Alan yang tegang, tampak tidak nyaman, tidak menikmati hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan kami.
“Nah seperti ini ya. Saling menatap, jangan berkedip. Tahan, tahan. Yaaak senyuuuum, yuhuu senyum.” Teriak si pengarah gaya.
Fotografer memotret kami dengan posisi yang sama ini berkali-kali, untuk mengambil gambar terbaik. Ya Tuhan…, sudah pegal ini. Pantas saja jadi model itu bayarannya besar, mungkin karena ini. Harus tahan di posisi yang sama hingga bermenit-menit.
“Nah, sekarang kita ambil pose yang berbeda ya. Ini Si Mbaknya kaya ngeliat ke arah depan tapi agak miring ke kanan bawah sekitar 30 derajat yaa. Terus Si Mas pengantinnya ngeliat ke belakang tubuh Si Mbaknya. Paham yaa…” Celoteh si pengarah gaya lagi.
Aku coba mencerna apa kata si pengarah gaya yang kemayu ini. Sebentar, kenapa pula ada 30 derajat sih?
“Gak gituuu mbak, itu terlalu ke atas. Kaya gini loooh…” Mungkin karena sebal dengan posisiku yang tidak sesuai keinginannya, akhirnya dia kembali maju bahkan sekarang kedua tangannya menangkup wajahku dan dia posisikan ke arah 30 derajat itu - menurutnya tentu saja.
“Nah giniii loh. Si Masnya lihat ke belakang Si Mbaknya tepat dari atas pundak yaa, jangan terlalu ke atas.”
Baiklah, untung saja pernikahan hanya sekali seumur hidup. Ini saja sudah membuatku pegal karena dari tadi berdiri, belum lagi sebentar lagi resepsi selama dua jam menyalami tamu. Membayangkannya saja membuatku meringis.
“Nah sudah selesai untuk sesi foto berdua, sekarang sesi foto dengan keluarga ya. Woy Mas, udah gak usah ngeliat terus ke belakangnya Si Mbak deh, udah selesai tauuuk. Emang ada apaan sih, ada makhluk dari dunia lain ya?” Kata si pengarah gaya karena posisi Mas Alan yang tetap sama. Tubuhnya kaku dan pandangan matanya tetap ke arah belakangku.
Aku penasaran, ingin tahu apa yang dilihat oleh Mas Alan hingga dia terpaku seperti itu. Semoga saja dia tidak melihat makhluk astral di sini. Hiiiy…. aku kan penakut, bisa gemetar ketakutan aku.
Tapi, bukanlah makhluk astral yang aku lihat, melainkan seorang perempuan yang memakai kebaya seragam pihak pengantin lelaki. Perempuan itu…. Khamila. Wajahnya pucat, tatapan matanya terfokus pada Mas Alan. Keduanya saling bertatapan. Mas Alan juga menatap ke arah Khamila dengan sendu, seperti tatapan penuh permohonan maaf. Memangnya Mas Alan melakukan kesalahan apa ya?
Seharusnya aku merasa curiga tapi naifnya aku yang dibutakan oleh cinta, aku tidak berpikir yang macam-macam pada mereka berdua.
***
Acara resepsi ini sangat ramai, megah dan mewah. Mama menggelontorkan uang dengan jumlah yang cukup besar untuk pernikahan ini. Mungkin juga karena ini acara pesta yang diselenggarakan pertama kali oleh keluarga Prabawati Adiwangsa dan juga Adikusumo. Banyak sekali yang hadir, dari keluarga, teman, sahabat, terutama relasi bisnis. Dari panggung ini aku bisa melihat tamu yang hadir tertawa gembira mengikuti rasa bahagiaku di hari ini.
Ralat, tidak semua yang ada di ballroom megah ini. Karena dari panggung aku melihat Mas Reino berbicara dengan seorang lelaki yang tampak asing bagiku dan pembicaraan mereka sepertinya penting. Lelaki itu memberikan amplop coklat, mungkin berisi lembaran foto karena aku lihat Mas Reino mengeluarkan apa yang ada di amplop itu. Berkali-kali Mas Reino menarik nafas panjang, menyugar kasar rambutnya, kemudian melihat ke arah kami di panggung. Sungguh aku jadi penasaran kabar apa yang dibawa lelaki itu.
Tapi ini hariku, pestaku! Aku hanya akan menikah sekali seumur hidup. Tentu saja hari ini akan aku nikmati. Aku menebar senyum hangat dan bahagia kepada para tamu yang hadir, tapi aku menyadari Mas Alan bahkan tidak tersenyum sama sekali dari tadi. Seperti ada sesuatu yang sangat besar yang dia pikirkan. Nampaknya dia tidak bahagia dengan pernikahan ini.
Aku melirik ke arah kananku, saat itu pandangan mata Mas Alan terpaku pada satu arah. Aku berusaha ikuti pandangan matanya. Ternyata Mas Alan fokus melihat ke arah Khamila yang sedang berbicara dengan Mas Reino. Mas Reino tampak membuang amplop coklat itu di depan meja yang ada Khamila. Mendadak Mas Alan berdiri dan berniat meninggalkan panggung tapi dicegah oleh mama yang duduk tepat di sebelahnya.
Aku mendengar mama berbisik tapi dengan nada sangat tegas, “Tetap berada di sini karena ini pernikahanmu dengan putriku. Jangan membuat malu! Apa yang terjadi di sana, bisa kita cari tahu nanti.”
Tentu saja aku kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi. Tapi kemudian aku lihat Mas Reino melihat ke arah kami lagi, kemudian menarik paksa tangan Khamila agar mengikutinya. Khamila sempat melihat ke arah kami dengan wajah panik, sebelum akhirnya pasrah mengikuti langkah kaki tergesa Mas Reino. Aku melihat ke samping, wajah Mas Alan tampak gelap, murka. Sepertinya dia sangat marah saat melihat Khamila ditarik paksa mengikuti Mas Reino. Tangannya terkepal, sampai aku bisa melihat jelas uratnya.
“Tetap di sini, abaikan apa yang terjadi di bawah situ. Toh, nanti kita bisa cari tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena aku tahu Reino tidak mungkin menyakiti seorang perempuan, sejahat apapun perempuan itu.” Kembali mama berbisik tapi dengan senyum yang tercetak di wajahnya. Mamaku memang hebat dalam menyembunyikan apa yang dirasakan.
Wajahku pucat. Aku kesal! Aku kesal pada Mas Reino yang telah mengacaukan pestaku ini! Kenapa sih dia tega melakukan ini padaku? Ini kan hari bahagiaku dan cuma satu hari saja, satu kali seumur hidupku!
Kami berenam yang ada di panggung, coba memasang kepura-puraan. Senyum pura-pura yang kami berikan pada tamu yang menyalami, wajah bahagia yang sangat kami paksakan saat fotografer mengabadikan momen kami bersama saudara, kerabat atau relasi lainnya. Padahal tadi tidak seperti ini. Sebelum kejadian Mas Reino menarik paksa Khamila, kami semua bahagia. Bahkan papa dan mama bisa mengobrol layaknya orang tua normal pada umumnya.
Tapiii… sebentar, dari sejak kami berdua ada di panggung ini, Mas Alan tidak pernah tersenyum! Aaah sedari tadi aku tahu itu, tapi aku coba abai, sekarang aku baru menyadari ada yang dia sembunyikan dariku. Apa yang terjadi sesungguhnya? Ada apa ini? Apakah semua tahu sesuatu yang aku tidak tahu?
Bukankah ini seharusnya menjadi hari bahagia bagiku dan Mas Alan? Kenapa menjadi runyam seperti ini? Sebenarnya, ada hubungan apa antara Mas Alan dan Khamila hingga membuat Mas Reino naik pitam seperti itu? Apakah mereka mempunyai hubungan spesial? Lebih dari sekedar saudara jauh? Lebih dari sekedar teman atau sahabat? Apakah mereka...?
Terlalu banyak pertanyaan apakah mereka yang ada di otakku, membuatku ingin segera menyudahi pesta resepsi ini. Aku akan memaksa Mas Reino untuk bercerita yang sejujurnya. Mungkin saja akan pahit, tapi aku harus bersiap apapun itu.
***
Kepahitan adalah teman dekat Reina saat menjadi istri Alan. Kira-kira apa yang terjadi berikutnya ya? Ada yang bisa menebak ada apa antara Alan dan Khamila?