Dosen Gila!

1012 Kata
Fina mengamati Zayda, teman sebangkunya yang sedari tadi terus menatap ke arah pintu masuk. Gadis berambut panjang itu nampak gelisah. Fina sangat hapal dengan kebiasaan teman unik satu ini. Bila jam mata kuliah sudah hampir dimulai, Zayda akan bersiap-siap menjemput mimpinya dengan tertidur pulas. Hari ini Zayda nampak tidak tertarik dengan rutinitasnya. Gadis itu masih terus celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. "Nunggu siapa, Za?" tanya Fina. Zayda lama tak menjawab, berusaha menenangkan diri dengan menghela napas panjang. Sesuatu membebaninya, tetapi Fina tidak tahu apa itu. "Menurut lo pak Kalvin masuk, nggak?" Zayda tiba-tiba berceletuk asal, memecah hening. Pertanyaan itu membuat kening Fina bertaut. "Tumben banget lo tanya tentang pak Kalvin. Kenapa, Za?" "Jawab aja, jangan balik tanya!" gerutu Zayda, memotong rasa keingintahuan temannya. "Masuk apa nggak?" "Mana gue tau!" "Ya lo biasanya yang paling update soal info ginian!" Zayda gemas. Jika tidak dibutuhkan Fina suka sekali memberi kabar, saat butuh gadis itu malah berlagak tak tahu. Fina mengangkat bahu, mengabaikan kegelisahan Zayda dengan lanjut bermain ponsel. "Lo tanya sendiri aja coba sama orangnya." "Gila lo?!" Zayda nyolot. "Yakali!" "Kenapa deh? Lo sensitif banget kalau bawa-bawa soal pak Kalvin. Perkara kemarin?" Fina yang kepo maksimal mencecar Zayda dengan rentetan pertanyaan. Menurut Fina yang sudah khatam dengan prilaku teman sebangkunya ini tiap berurusan dengan Dosen tidak ada yang sanggup membuat seorang Zayda ketar-ketir. Jelas sikapnya terlihat sangat tak biasa bagi Fina. "Gimana gue bisa tenang, Fin. Lo denger sendiri gue dilarang ikut kelas sama tu orang gara-gara ketahuan tidur!" eluh Zayda, wajahnya terlihat frustasi. Fina mengangguk paham. "Kalau dipikir-pikir salah lo juga sih, Za." Mendengar itu Zayda hendak menyanggah tak terima. Sebelum Fina dengan cepat melempar kode agar memberinya waktu menjelaskan alasan berkata demikian. "Pak Kalvin itu gak pernah berurusan sama mahasiswa selain sama lo, karena dia bukan tipekal dosen killer yang rese, Zay. Kesalahan kecil gak pernah diseriusin sama dia. Kalau lo udah ditandain, artinya lo yang memang keterlaluan," lanjut Fina. Zayda melotot kesal. "Gue lagi?! Lo akhir-akhir ini kenapa belain Dosen gila itu mulu sih, Fin?" Fina mendesah berat, sulit baginya menyadarkan gadis keras kepala seperti Zayda. "Tuhkan, marah-marah mulu sih lo!" Fina mencoba tetap sabar. "Gue tuh bukan belain pak Kalvin, Zayda. Gue cuma mau lo sadar dan selesaiin masalah ini baik-baik. Gak ada salahnya lo minta maaf, janji gak mengulangi lagi, dan semuanya clear." Nasihat Fina. Percakapan keduanya terpaksa dipotong oleh pemberitahuan mengenai panggilan untuk Zayda agar menemui sosok yang sedari tadi menganggu pikiran gadis itu. "Temuin pak Kalvin?" Zayda memekik histeris, sampai berdiri dari kursi saking kagetnya. "Buat apa?" "Mana gue tau?" ujar Bian, teman sekelas Zayda. "Pak Kalvin cuma bilang kelas free dan lo diminta temuin dia sekarang." Dengan langkah berat akhirnya Zayda memutuskan untuk pergi, menemui Kalvin yang dicapnya sebagai dosen rese abad ini. Setelah dipikir-pikir ia memang tidak bisa selamanya menghindar dan berpura-pura tak tahu mengenai yang sudah terjadi. Perihal ajakan berpacaran juga salah satunya. "Zayda?" panggil Kalvin, mendengar pintu ruangannya terbuka. Yang disebut namanya masih tak bicara, membungkam mulut rapat-rapat. Hal ini membuat Kalvin yang tidak direspon itu menghentikan aktivitas bekerjanya. "Tumben sekali. Biasanya kamu selalu mangkir dari panggilan saya," sindir Kalvin, melipat tangannya di atas meja. Sorot mata pria berkemeja hitam polos itu tegas seperti biasa. Mendominansi percakapan dengan lawan bicara. Zayda siaga, ia berusaha meminimalisir kesalahan tambahan yang dapat membahayakannya. "Bapak ada perlu sama saya?" "Menurut kamu?" tanya balik Kalvin. "Yang ada perlu itu saya atau kamu?" Zayda tidak pernah berpikir kalau Kalvin akan bicara dengan nada sedingin itu padanya. Membuat apa yang disampaikan Fina tiba-tiba terlintas di kepala. Apa memang sebaiknya Zayda meminta maaf dan mengakui kesalahan yang sudah ia perbuat? Ini sungguh membuatnya dilema! "Maaf, Pak." Zayda menyerah, menurutnya dipandangi begitu intens oleh Kalvin seperti ini membuat jiwanya tertekan. Kalvin merespon dengan tenang. "Maaf untuk apa, Zayda?" uliknya. Suhu ruangan itu perlahan mencair. Meski suara bariton Kalvin masih terdengar bak mengintrogasi, setidaknya sudah sedikit melembut dari yang tadi. "Entah. Intinya maaf untuk semuanya, Pak." Zayda berbisik lirih. Meski terdengar tak serius, Zayda sebetulnya berusaha tulus dan bersungguh-sungguh. Hanya saja, karena tak terbiasa mengutarakan kata maaf, hal ini sangat canggung dan baru baginya. "If you say sorry to someone, katakan alasannya. Kasih kejelasan dari penyesalanmu, ucapan maaf ini untuk apa." Kalvin menuntun Zayda dengan lembut. Zayda menurut. Awalnya ia bingung memulai darimana. Beruntunglah Kalvin tidak menghakimi dan memberinya kesempatan menjelaskan apa yang hendak ia sampaikan. "Saya menyesal karena tidur di kelas saat jam bapak berlangsung." Zayda berujar pelan, tenggorokannya terasa serak. "Tolong jangan hukum saya, Pak. Saya tidak mau mengulang mata pelajaran Bapak." Kalvin tidak bisa menahan tawanya lagi. Ditengah suasana yang tegang itu, Kalvin mendadak cekikikan. Zayda jelas saja terkejut dan sama sekali tidak memahami maksud dari tindakan sang dosen. Awalnya ia mengira ada ucapannya yang salah, atau Kalvin memang sengaja mengerjainya Tapi jika memang Kalvin berniat mengejeknya, kenapa ia sangat tega? Padahal Zayda sudah bersusah payah menyiapkan diri. "Maaf," ucap Kalvin, mengakhiri kesenangannya. "Maaf, saya bukan bermaksud mau menertawai kamu." "Terus?" Zayda tersulut emosi. "Bapak harus kasih alasan kenapa ketawa padahal saya susah payah loh merangkai kata-kata kaya tadi." "Masasih?" olok Kalvin. "Harusnya enggak susah payah kalau kamu serius ikut kelas saya. Komunikasi semacam itu sudah sangat sering saya ajarkan." Kalvin sangat pandai dalam menyerang musuhnya dengan kata-kata. Zayda memilih menutup mulut daripada kemarahannya lepas tanpa terkendali dan memicu masalah lainnya. "Jadi, kamu minta maaf karena kamu merasa bersalah tidur di kelas?" ulang Kalvin, memastikan sekali lagi. Zayda hanya mengangguk kecil. "Ya kalau ada salah yang lain-lain saya juga sekalian minta maaf, Pak." Kalvin memutar pena dan menatap lama ke arah muridnya tersebut. Wajah frustasi Zayda dan keluguannya nampak sangat menggemaskan. Menepis pikirannya, Kalvin membuang muka. "Okay, akan saya maafkan. Tapi ada syaratnya. Bagaimana kalau kita buat kesepakatan terlebih dulu?" tawar Kalvin, mencetuskan sebuah ide. Rahang Zayda refleks jatuh, ia tidak percaya kalau meminta maaf dan berdamai dengan Kalvin akan sesulit ini. "Kesepakatan, Pak?" Zayda sedikit memekik. "Kok pake syarat segala, sih?" Kalvin mengangkat bahu. "Ya itusih terserah dikamu. Mau saya maafkan apa enggak?" "Ya, tapi—" "Kamu keberatan?" potong Kalvin. "Kalau gitu gak lulus mata kuliah saya. Beres, 'kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN