Jadi Asdos.

1039 Kata
Jika saja ada pilihan lain, Zayda bukan hanya ingin berteriak keberatan melainkan juga mencabik-cabik wajah Kalvin dan mengutarakan kekesalannya. Bagaimana bisa ada dosen setidakwaras ini? Hilang sudah penilaian bahwa Kalvin adalah sosok yang baik hati. Menurut Zayda pria ini sangat kejam dan suka sekali menyulitkannya tanpa henti. "Tinggal pilih, mau tidak lulus atau mau terima tawaran saya." Kalvin tersenyum penuh arti. "Semua dosen sama aja. Mainnya di nilai mahasiswa!" eluh Zayda, mengkritik pedas tingkah dosen di depannya. Kalvin mengangkat sebelah alis, melipat tangan di d**a. "Justru kamu gak akan temukan dosen semurah hati ini di tempat lain, Zayda." Gadis itu menunduk, menarik napas panjang dan mengepalkan tangan. Meredam emosi sebisanya kemudian baru membalas tantangan Kalvin dengan hati yang lapang. "Jadi apa kesepakatannya, Pak?" tanya gadis berkulit putih itu, to the point. "Yang jelas bukan jadi pacar saya. Gak usah khawatir," sindir Kalvin. Kesalahan yang dilakukan Zayda menjadi makanan empuk untuk terus diejek dan digoda oleh Kalvin. Melihat gadis itu kesal sangat menyenangkan baginya. "Saya harus apa, Pak?" tanya Zayda, masih sabar meladeni kegilaan dosennya. "Kesepakatan apa yang harus saya lakukan demi lulus mata kuliah Bapak?" "Benar-benar tidur pembawa bencana!" gerutu Zayda di dalam hati. "Sengantuk apapun gue, demi apapun gue gak akan mau tidur di kelas lagi!" kapoknya. "Okay, saya serius." Kalvin duduk menegak, menatap lurus Zayda yang ada di hadapannya. "Saya mau kamu bantu saya. Saya butuh seorang asdos ditengah jadwal praktik saya yang mulai padat." "Asdos?!" pekik Zayda, matanya melotot sempurna. Gadis itu sampai bangkit saking terkejutnya. "Asdos, asisten dosen? Ini gak salah?" "Iya, Zayda Ilsa Mahajaya. Saya mau kamu jadi asisten saya." Kalvin mengintrupsi. Masih belum memahami jalan pikir pria berwajah tampan ini, Zayda dibuat terbebani dan stress dengan ide konyol sang dosen. Menjadikannya asisten adalah sebuah kesalahan besar. Bagaimana Zayda dapat menjelaskan hal ini pada Kalvin? Bahwa keputusan yang keliru mengikutsertakannya ke dalam tanggung jawab sebesar ini. "Ada problem, Za?" Kalvin yang nampak tenang menanggapi reaksi berlebihan dari muridnya itu menunggu Zayda menerima informasinya. "Bapak serius? Lagi prank saya apa gimana?" Zayda jelas curiga. Ini bisa saja bentuk ejekan tersirat untuknya. "Masa saya jadi asdos, Pak?" "Lho, memang kenapa? Kamu meragukan pilihan saya?" Kalvin balik bertanya. "Katanya tadi gak keberatan." Gadis yang masih kaget sekaligus gugup ditatap seintens itu buru-buru menjawab. "Bukan meragukan pilihan bapak, sih." Harusnya Zayda merasa bangga. Jelas pasti ada alasan bagi Kalvin menjadikannya kandidat yang dipercayai menerima tanggung jawab ini. "Tapi saya cuma gak mau bapak salah memberi tanggung jawab dan berekspetasi lebih ke saya. Saya takut mengecewakan bapak, apalagi ini amanah. Saya keberatan!" lanjut gadis itu. Sependek pengetahuan Zayda, seorang asisten dosen adalah mereka yang pintar, cerdas, atau paling tidak dinilai mampu dalam bidang mata kuliah tertentu. Sebab bilamana dosen berhalangan hadir dan tidak bisa mengisi kelas, asdoslah yang akan diminta menggantikan keberadaan sang dosen. Asdos adalah bayangan dari dosen itu sendiri. Sedangkan berkaca dari tabiat Zayda yang hari-hari hanya tidur di kelas, ogah-ogahan mengikuti pelajaran, malas, dan lebih sering tidak hadir di kampus akan sangat lucu bila ia menerima beban besar tersebut. "Kamu ini, belum apa-apa sudah bilang keberatan!" geram Kalvin, matanya mendelik tajam. Tetapi bukan yang murka pada Zayda, ia hanya sedikit kesal. "Dijalani dulu. Mana tau kamu bisa kalau belum dijalani," sambungnya. Zayda menggeleng, memijat pilipis. Mengembuskan napas dengan berat. "Pak, ini bukan soal dijalani dulu baru tau. Tapi dari awal bapak keliru kalau mau minta bantuan ke saya." "Jadi sebenarnya kamu mau bantu atau enggak?" kelakar pria berkacamata itu, bersedekap. Zayda mengigit bibir bawahnya, merasa stress. "Mau bantu kalau bisa, Pak. Masalahnya—" "Kalau begitu dengarkan saya," potong Kalvin. "Zayda, saya ini orangnya selektif. Jangan berpikir kalau saya memberikan tawaran ini tanpa pertimbangan ke kamu. Kamu salah." Ucapan sang dosen membuat Zayda membeku. Suara bariton Kalvin sangat keren hingga memusatkan seluruh pokus gadis itu. "Saat saya memutuskan memilih kamu, artinya kamu memang pantas dan mampu untuk tugas semacam ini. Terlepas dari bagaimana caranya saya menilai, kamu hanya perlu tau satu hal," pernyataan itu terjeda sebentar. Kalvin menarik napas, melanjutkan ucapannya. "Diantara banyaknya pilihan yang ada, kamulah orang yang saya pilih, Zayda." imbuhnya. Pria itu sebisa mungkin mempertahankan kontak mata, mengungkap ketulusan dan kesungguhan dari kalimatnya. Zayda merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasa. Padahal tidak ada unsur apapun dari kata-kata Kalvin barusan. Tetapi sanggup membuat Zayda gugup setengah mati. "Saya masih boleh kasih tau jawaban saya gak, Pak?" cicit Zayda, suaranya mendadak berubah pelan. Kalvin tak keberatan, dengan senang hati mempersilahkan Zayda bicara. "Tapi beri saya alasan penolakan yang pas kalau mau menolak." Kritisnya. Zayda buru-buru menggeleng. Sudah tidak ada lagi yang bisa ia bantah dari Kalvin. "Saya masih harus lulus mata kuliah Bapak," katanya lirih. Entah itulah alasannya menerima ide konyol ini atau memang kalimat Kalvin mampu menyentuh hatinya. Zayda juga tak paham. Yang ia tahu ia bersedia mengiyakan. Kalvin tersenyum lewat bibir dan matanya. "Jadi kamu terima tawaran saya?" duganya. Jawaban itu dibenarkan Zayda dengan mengangguk kecil. "Asal tugasnya jangan banyak-banyak, ya, Pak." Kalvin tak mampu menahan tawa, terkekeh mendengar Zayda yang masih sama polosnya. Gadis itu selalu berhasil terlihat menggemaskan di mata Kalvin. "Aman. Saya akan usahakan tetap hadir di kelas jika jadwal praktik saya tidak terlalu padat." Begitulah kesepakatan mereka terbentuk. Kalvin mempersilahkan Zayda melanjutkan kelas. Sebelum pertemuan mereka berakhir, Kalvin lebih dulu menyampaikan tugas pertama Zayda. "Saya tunggu di Hotel Grand malam ini, jam tujuh," katanya. "Jangan terlambat, Zayda. Saya tidak suka orang yang terlambat." Zayda tersentak, tak mampu menyembunyikan mimik wajah shocknya. "Mau ngapain ke hotel, Pak?" tanyanya penuh curiga. Ajakan dadakan itu sangat ambigu bagi gadis berparas cantik ini. Kalvin menyernyitkan kening. "Kenapa saya merasa kamu mendadak jadi waspada? Saya meminta kamu datang untuk mengumpulkan tugas ke saya, Zayda. Tidak lebih." Zayda merasa tertampar mendengar penjelasan Kalvin. Ia buru-buru keluar dari ruangan sang dosen tanpa mengatakan sepatah katapun. Zayda masih bisa mendengar sayup suara tawa Kalvin dari luar. Sungguh memalukan! Sementara di sisi Kalvin, pria itu puas terbahak-bahak sampai menjatuhkan pundaknya ke belakang. "Gadis unik," bisik Kalvin. Wajahnya masih berbinar bahagia. "Kenapa sangat menyenangkan menghabiskan waktu dengan Zayda, ya?" Pria berkulit tan itu memegang d**a, merasakan debaran aneh di sana. "Enggak, Vin. Gak mungkin secepat ini, 'kan?" tanyanya, bermonolog kepada diri sendiri. "Apa saya suka dia, ya?" tebaknya, mengartikan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN