Kalvin tergugu kala Zayda dengan mudah mengucap ajakan berpacaran kepadanya seolah tanpa berpikir panjang.
Gadis yang unik, sesuai tebakan Kalvin kala bertemu saat pertama kali datang kemari.
Zayda Ilsa Mahajaya. Tidak seperti mahasiswi kebanyakan di kampus bergengsi yang cenderung serius menuntut ilmu gadis itu sangat berbeda dari teman-temannya.
Sejak awal Kalvin mengajar, Zayda terus melakukan pelanggaran-pelanggaran yang tidak biasa Kalvin terima, berkaca dari pengalamannya yang sudah beberapa kali mengajar di kampus lain.
Ini adalah pemberontakan pertama yang Kalvin terima selama menjabat sebagai seorang Dosen. Sukses menarik perhatiannya untuk tau lebih banyak mengenai gadis itu.
"Kamu yakin?" Kalvin menyipitkan mata, sengaja memajukan tubuh tingginya ke depan. "Kamu serius soal ucapanmu tadi?"
Zayda refleks mundur sedikit, tiba-tiba menjadi gugup tanpa alasan. "Yang mana?"
"Perkara ajak saya pacaran." Kalvin membalas tantangan yang sesaat lalu gadis itu berikan.
Hawa sejuk dari terpaan angin di rooftop membuat jantung Zayda berdebar lebih kencang dari biasa. Dilihat dari jarak sedekat ini Kalvin nampak begitu memesona. Segala yang ada padanya bagai lukisan hidup.
Rahangnya yang tegas, sangat pas beradu dengan bibir tipis dan iris mata meneduhkan. Tubuh tinggi semampai, bahu lebar yang terasa nyaman sebagai tempat berpulang, semuanya tanpa cela.
"Tergantung Bapak mau jadi pacar saya dulu apa enggak." Zayda berseru lirih, suaranya sedikit tercekat. "Kalau mau ya saya serius."
Sepertinya gadis berperawakan mungil itu baru menyadari kekacauan apa yang sudah ia perbuat dari tindakan tanpa berpikirnya.
Sesudah ini, tiap bertemu Kalvin dan mengingat kejadian barusan akan terasa sangat memalukan.
Mendengar ucapan Zayda membuat Kalvin tertawa kecil. "Saya kira kamu bakalan maksa sampai saya mau," ujarnya.
Memberi satu sentilan di dahi Zayda tanpa permisi, Kalvin bermonolog kembali. "Kita liat aja nanti, Mungil. Saya pikir-pikir dulu."
Tidak ada tanggapan yang Zayda beri sebab jiwanya seakan ikut melayang bersamaan tawa renyah Kalvin yang berlalu. Pria itu tak tertangkap memberi jawaban, hanya pergi meninggalkan Zayda sendirian.
"Kayanya bener gue harus dateng dan minta diterapi sama tu orang," sesal Zayda, wajahnya sudah pucat pasi.
Bersumpah tidak akan lagi nekat melakukan hal gila seperti tadi.
***
Selepas mengajar, Kalvin datang ikut berkumpul dalam satu pesta kecil yang temannya buat.
"Untuk merayakan suksesnya penelitian yang dilakukan oleh Dokter cantik kita, Qirani." Aba-aba dari pemandu pesta, pria berlesung pipi yang sudah lebih dulu mengangkat gelasnya. "Cheers!"
Sementara wanita yang mendapat pujian dan tepuk tangan gemuruh dari teman itu hanya membalas dengan senyuman lembut, wajah khas keibuan yang menenangkan.
"Selamat, Qiran," bisik kawan sejawat yang duduk tepat di sebelah dokter cantik itu. "You are great as always."
Qirani menunduk malu menyembunyikan pipinya yang merona. "Terima kasih, Mas Kalvin."
"Kali ini mau hadiah apa?" tanya Kalvin. "Gua kasih apapun yang lo mau."
Qirani menggeleng, menolak halus tawaran dari sahabatnya itu. "Pesta seperti ini sudah cukup buatku, Mas. It was good to see you."
Menyadari ada yang salah dari kalimat yang baru ia katakan, Qirani buru-buru mengoreksi. "Maksudku senang bisa kumpul sama kalian seperti ini. Aku bahagia."
Qirani, Kahfi, dan Kalvin. Ketiganya sudah bersahabat sejak lama. Reuni singkat seperti ini sudah seringkali dilakukan bila ada pencapaian khusus yang salah satu dari mereka peroleh.
Untuk kali ini berkaitan dengan suksesnya penelitan Qirani, seorang dokter cantik spesialis anak, satu-satunya wanita diantara dua pria seniornya.
"Yakin enggak mau kado lain?" Kalvin memastikan.
"Yes."
Pria berlesung pipi itu menyerah, membalas dengan mengusap lembut puncak kepala Qirani. Sesuatu yang tanpa diketahui memporak-porandakan pertahanan yang sudah dibangun sejak lama oleh wanita bermata hanzel tersebut.
"By the way, kata Kahfi kamu juga nerbitin buku, ya?" Qirani mengusir rasa gugup dengan memberi Kalvin pertanyaan sederhana.
Belum dijawab Kalvin, Dokter Kahfi, sahabat keduanya yang diawal memandu pesta lebih dulu menyahut. "Bukan cuma terbitin buku, Ran. Kalvin sekarang jadi dosen muda idola di kampusnya."
"Bohong! Jangan percaya, Qiran." Kalvin menyanggah hipotesis itu.
"Rumornya dia baru diajak pacaran sama mahasiswinya sendiri!" bisik Dokter dengan wajah mirip keturunan Arab itu pada Qirani, memicu keributan.
Wanita yang selalu jadi penenang diantara dua pria itu hanya membalas dengan menatap sayu wajah Kalvin yang kesal di sebelahnya.
"Ini mulut ember banget sih lo dari dulu!" cecar Kalvin. "Ngawur banget!"
Penyesalan terbesar yang tidak pernah dijadikan pembelajaran oleh Kalvin adalah masih juga salah menjadikan Kahfi sebagai teman curhat setelah bertahun-tahun paham betul watak dari sang sahabat.
Kahfi acuh, mengabaikan tatapan maut Kalvin padanya. "Gue cuma menyampaikan sesuatu yang harusnya Qirani juga tau. Lagian ini kabar baik, Vin. Ya nggak, Ran?"
"Kahfi benar, Mas." Qirani yang sedari tadi diam ikut bicara. "Aku juga mau tau. Who is that lucky girl?"
"Just a student." Kalvin menjawab dingin.
"Jadi gimana dia bisa nembak lo?" desak Kahfi, masih penasaran. "Gua penasaran gimana dia bisa ajak seorang Kalvin Dirgantara pacaran."
Kalvin menghela napas. "Something that shouldn't be responded. Cuma iseng doang, Kahfi. Udahlah."
"Iseng anak zaman sekarang boleh juga. Ajak dosen pacaran," sindir Kahfi, tatap-tatapan dengan Qirani yang hanya tertawa kecil.
"Ya dosennya cakep?" balas Kalvin, percaya diri. "Emang elo?!"
Meski masih banyak pertanyaan yang dimiliki, Kahfi mengurungkan niat untuk mengulik lebih dalam sebab ada panggilan operasi dadakan. Pria itu hanya meninggalkan kode kepada Kalvin agar bersiap di pesta berikutnya.
"Rumah sakit gimana, Qiran? Aman?" tanya Kalvin, memecah hening sebab hanya tinggal mereka berdua.
Qirani membalas sekadarnya, mengiyakan dengan menganggukkan kepala. "Kamu sendiri?"
"Very good. Fakta kalau orang-orang mulai aware mengenai mental health buat rumah sakit gak pernah sepi," ungkap Kalvin, sekaligus bercerita mengenai kesibukan hariannya.
"Kata Kahfi kamu lebih sering ada di kampus. Pasienmu gimana, Mas?" Qirani menanggapi.
"Aku hanya ... bekerja lebih keras." Kalvin sedikit menyombong, tertawa akan pujian yang diberinya pada dirinya sendiri. "Dibantu Papa juga, kok. Amanlah sejauh ini."
"Aku baru sadar udah lama gak temu sama papa Karel dan mama Via beberapa bulan terakhir. Dhyana juga. Gimana kabar mereka?" tanya wanita berkulit putih itu.
Kalvin tersenyum hangat. Qirani dan kepeduliannya pada orang-orang terdekatnya selalu membuatnya merasa kagum.
"Papa dan Mama sehat. Masih semesra biasa tiap kumpul. Kalau Dhayana sekarang lagi exited sama kesibukan perkuliahan. Kerjaannya ngeluh tapi dikerjain," terang Kalvin bercerita.
"Kamu banget tuh!" ejek Qirani, tertawa sembari terus menatap lurus ke arah Kalvin di hadapannya. "Remember masa-masa kuliah dulu."
Kalvin sepakat, ikut cekikikan mengenang momen mereka. "Makanya seorang Kalvin Dirgantara butuh Qirani Mahajaya di sisinya. Yang as always punya positif vibes, dan paling pengertian."
Qirani tertegun akan ucapan itu. Sesuatu terasa menikamnya, namun sukar sekali ia akui dan utarakan.
Hal yang melulu ia pilih simpan dalam diam seolah tak pernah memiliki momen yang pas untuk tersampaikan. Semesta bekerja untuk membersamai rahasia akan perasaannya. Patah hati yang tak berkesudahan.
"Oh iya, Mas. Kalau boleh tau, siapa nama gadis yang tiba-tiba mengajakmu pacaran itu?" Qirani berceletuk asal.
Kalvin menatap wanita di sampingnya tanpa kecurigaan apapun. "Zayda Ilsa Mahajaya. Kenapa, Ran?"