“Tidak pernah ada yang namanya benar-benar kebetulan.”
*
Dewa menghantam tinjunya ke samsak gantung. Berkali-kali, melepaskan kegusaran yang sejak tadi memenuhi rongga dadanya. Seakan tidak cukup keringat yang sudah membasahi bajunya, Dewa masih menambah sesi latihannya menjadi satu jam lagi.
Seumur-umur baru kali ini rasanya kepala Dewa dipenuhi oleh bayangan bibir dari seorang perempuan. Bukan karena ini pengalaman pertama baginya. Dewa pernah berciuman, bahkan sampai ke tahap yang belum boleh ia lakukan sebenarnya sudah pernah ia kerjakan. Hanya saja belum pernah ada yang membuatnya sampai panas dingin seperti ini.
Setelah mengayunkan kepalan tangannya sekali lagi, Dewa melepaskan sarung tangannya dan duduk di sofa panjang yang tersedia di dalam ruangan gym di rumah Gio. Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan mengheningkan cipta.
“Gue kira elo nggak bakalan inget untuk berhenti,” ujar Gio yang duduk di samping Dewa. Pria itu baru pulang kerja beberapa saat yang lalu dan langsung masuk ke ruangan ini memperhatikan Dewa yang tidak memiliki belas kasihan terhadap samsak tinju miliknya.
Dewa menatap Gio, abang sepupunya yang saat ini sudah menggulung kemeja kerjanya hingga ke siku.
“Kenapa, Lo?” tanya Gio bertepatan dengan suara langkah seseorang terdengar memasuki ruang gym-nya.
Aga berjalan ke arah mereka dengan muka masam. Dewa berkerut, begitu pun Gio. Namun hanya Gio yang peduli pada pria yang kini sudah menghempaskan diri di depan mereka itu.
“Kenapa, Lo?” Gio menanyakan hal yang sama seperti apa yang ia tanyakan ke Dewa sebelumnya.
“Bini gue ilang.”
Gio berdecak. “Denger ya, Manusia Tanah. Tolong kalo kalian ada masalah jangan dateng ke sini,” kata pria itu. “Banyak psikolog di luar sana, jangan jadiin rumah gue tempat kalian menyetor muka masam kayak orang yang nggak pernah dapet org@sme begini.”
Aga langsung menoleh ke arah Dewa. “Kenapa, Lo?” tanyanya.
Dewa menatap lama kepada keduanya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, tapi akhirnya memilih untuk menggeleng.
Dahi Gio berkerut. “Papa elo lagi?”
Dewa menggeleng.
Kini giliran Aga yang ikut mengernyitkan dahi. Sejauh pengetahuannya, tidak ada yang bisa membuat adik dari sahabatnya ini terlihat seperti ini kalau bukan ayahnya sendiri.
“Gue ngerasa aneh setelah nyium cewek,” kata Dewa memilih untuk mengatakannya.
Mereka mengangguk-angguk. Gio kemudian menanggapi dengan perkataan. “Oh, karena ngerasa aneh setelah nyium cew …. Ngerasa apa lo tadi?” tanya Gio. “Aneh?”
Dewa mengangguk.
“Biar gue tebak,” kata Gio. “Ini cewek yang nabrak mobil lo, ya?”
Dewa kembali mengangguk.
“Anjir.” Gio berteriak. “Gercep banget astaga, udah main lo cium aja anak orang.”
“Nggak sengaja,” kata Dewa.
“Nggak sengaja, tapi ngebuat lo panas dingin?” sarkas Aga. “Ckckck.”
“Benih-benih cinta elo baru mau tumbuh, Wa?” Gio menaikkan alisnya naik turun.
Dewa mendengus. “Nggak,” ujarnya tegas.
“Ga, taruhan sama gue,” ajak Gio. Namun belum sempat pria itu melanjutkan ucapannya, seseorang sudah menyela.
“Bang, ada Dewa nggak?” tanya Revo yang langsung berhenti saat matanya menangkap keberadaan Dewa.
“Kebetulan ada elo,” jawab Gio. “Sini, ikut taruhan sama gue.”
“Apa?” tanya Revo, sahabat Dewa.
“Berapa lama waktu tercepat untuk Dewa bisa jatuh cinta sama ini cewek?”
“Hah?” Revo yang baru datang hanya bisa melongo tidak mengerti.
“Satu bulan,” kata Aga.
“Satu minggu.” Gio menyuarakan taruhannya.
“Cewek siapa, Bang?” tanya Revo.
Gio berdecak. “Cewek yang habis nabrak mobilnya Dewa, elo nggak tahu?”
Revo menoleh menatap Dewa, lalu menggeleng. “Kalo yang nabrak dia sampe miniatur resort-nya hancur, gue tahu.”
Gio langsung melihat Dewa. “Gue nggak percaya kebetulan,” katanya. “Ini cewek yang sama, kan?” Matanya menyipit curiga saat menanyakan hal tersebut.
Dewa menghela napasnya. Kemudian mengangguk.
“Sebenarnya Dewa udah dua kali ditabrak sama dia, pertama di kantin. Dia numpahin kuah panas ke badan Dewa,” jelas Revo tanpa diminta. Membuat Dewa mendelik kesal ke arahnya.
“Oke, gue ganti,” kata Aga. “Dia bakalan jatuh cinta dalam waktu satu minggu.”
Lalu mereka membicarakan Dewa, seolah-olah ia tidak ada di sana.
“Cupu banget, Bang. Taruhan kalian,” ujar Revo. “Gue ganti, taruhan seberapa cepet Dewa bisa ngedapetin cewek itu.”
“Lo yang terbaik emang,” kata Gio. “Gue setuju.”
Aga menggeleng. “Gue nggak setuju.”
“Kenapa?” Gio bertanya.
“Karena kalo dikurangin dengan kelakuan Dewa yang kayak set@n, seharusnya dia bisa mendapatkan siapapun yang dia mau.”
Giliran Revo yang menggeleng. “Tapi dari yang gue denger, ini cewek freak.”
“Freak?” tanya Gio dan Aga serempak.
Revo mengangguk. “Banget. Dan nggak pernah mau nerima cowok sebagai pacarnya.”
“Gue setuju.” Gio dan Aga kembali menjawab kompak.
“Kalo gue dapetin dia,” ujar Dewa tiba-tiba. “Apa yang gue dapetin?”
Ketiganya menyeringai.
“Bebas,” jawab Aga.
“God of Architects buat gue,” balas Dewa tegas saat menyebutkan salah satu perusahaan cabang dari AA corp.
“Sure,” balas Aga. “Tapi dalam waktu satu minggu lo udah bisa dapetin dia,” kata Aga lagi.
Gio dan Revo tergelak.
“Nggak masalah,” jawab Dewa sambil berdiri. “Satu minggu bahkan terlalu lama,” ujarnya sombong. Kemudian melangkah keluar dari sana.
“Ke mana, Lo?” tanya Gio.
“Menangin taruhan,” jawab Dewa sebelum benar-benar pergi meninggalkan ketiganya.
*