PROLOG
Kebetulan adalah nama lain dari pertemuan pertama.
*
"Ewik!!"suara teriakan itu berhasil menghentikan keributan di kelas mahasiswa matematika pagi itu.
Anye, sang pemilik teriakan paling menggelegar seantero fakultas MIPA, sedang berlari kecil ke arah seseorang gadis yang memakai jaket jeans.
"Nama gue Dewi, bukan Ewik." Gadis itu menyahut jengkel.
"Kepanjangan."
"Cuma empat huruf dan itu nggak ada bedanya sama sekali dengan sebutan alay, lo.”
Anye menyengir lebar, namun kemudian ia ingat mengapa tadi ia berteriak.
"Ratu lagi make jaket persis kayak jaket yang lagi lo pake."
Susana kelas yang tadinya sudah akan ribut kembali terdiam. Meskipun tangan mereka sibuk dengan pekerjaan dan beberapa mulut mereka bercengkrama dengan bisikan, namun telinga mereka telah terpsang dengan baik. Berita yang dibawa Anye bukanlah sesuatu yang kecil, bisa jadi kiamat datang lebih awal setelah ini.
Dewi menghembuskan napasnya kasar. "Pinjem gunting sama silet."
Anye membelalakkan matanya seakan tidak percaya dengan apa yang diminta sahabatnya. Seisi kelas turut serta menahan napas, Dewi tidak akan senekat itu, bukan?
Semua orang tahu bahwa Dewi Prasetya adalah manusia keras kepala yang alergi jika dirinya memiliki sesuatu atau hal yang sama dengan orang lain. Apalagi jika seseorang sampai mengikutinya, lalu berakhir dengan ia yang dibandingkan dengan orang tersebut.
"Cepetan, malah bengong." Dewi melambaikan tangannya di depan wajah Anye.
"Lo nggak mungkin ngelakuin itu kan, wik?" Suara Anye terdengar aneh.
"Kenapa nggak?"
"Wik, obesesi lo terlalu gila." Anye menjeda kalimatnya, "Dan terlalu aneh."
Dewi mengerutkan dahinya samar, tapi kemudian dia tergelak saat menyadari apa yang tengah dipikirkan teman satu tempat tidurnya itu.
"Lo mikirin apa sih, nyet?" Bibirya berkedut tanda ia masih belum bisa menghentikan tawanya. Apalagi setelah melihat teman sekelasnya ikut-ikutan menahan napas. "Kalian kenapa mikir keras kayak gitu?" Tanyanya sebelum melanjutkan, "Apa nggak cukup kalkulus doang yang bikin kerutan di jidat lo pada?"
"Terus lo minta gunting sama silet buat apaan?" Anye masih bertanya dengan cemas bercampur bingung.
Dewi tidak menjawab pertanyaan Anye, tangannya bergerak sendiri membuka tas Anye untuk menemukan benda yang dibutuhkannya. Dan tanpa menghiraukan tatapan teman sekelasnya yang masih tertuju padanya, Dewi membuka jaket jeans tersebut dari tubuhnya. Menyisakan tanktop putih yang senada dengan kulitnya. Dewi membentang jaketnya diatas meja yang tersambung langsung dengan kursi kuliahnya, ia menggunting pendek lengan jaketnya hingga benda malang tersebut tidak lagi berlengan. Dirasa kurang memuaskan karyanya, ia menyayat hati-hati ujung dari guntingannya. Membuat benang-benang halus itu terburai dengan cara yang menarik.
"Pak Richard gak dateng, kita free." Suara yang membawa berita dari surga itu membuat kelas matematika 3A bersorak. Adi, sang kosma adalah mahsiswa yang selalu nangkring di depan ruang dosen hanya untuk memastikan ada dosen yang tidak hadir.
Riuh sorak sorai itu perlahan menghilang seiring mahasiswa semester 3 jurusan matematika itu meninggalkan kelasnya. Tidak terkecuali Dewi dan Anye yang langsung menuju kantin fakultas mereka.
*
"Kuah." Dewi merengek saat Anye masih sibuk menyantap bakso dihadapannya.
"Nyet." Dewi menarik mangkok bakso dari hadapan sahabatnya.
"Apa sih, wik?"
"Kuah."
Menarik napas malas, Anye menyalak kesal, "Ya udah tinggal minta sama abangnya. Lagian lo ngapain makanin kuah sih? Baksonya dimakan juga, dong!"
"Gue makan baksonya kok, tapi kuahnya habis. Seret nih."
Anye melihat Dewi dengan tatapan kesal. “Harus banget lo punya keanehan sebanyak ini?” tanya Anye malas.
“Gue nggak aneh,” jawab Dewi.
Anye mendengus. “Mata lo buta?” salaknya. “Kalo nggak aneh, apa namanya ini?” tanya Aney. “Kenapa harus makan bakso dua biji doang harus pake kuah satu dandang?”
“Kan beda-beda tipe orang sih,” balas Dewi. “Ada yang makan ayam, tapi nggak suka dagingnya terus lebih milih makan tulang. Ada juga yang makan ayam, kulitnya doang. Ada yang makan mi kalo hujan doang. Ada yang suka es krim buat sarapan. Nah, kalo gue nggak bisa makan kalo nggak ada kuah. Seret.”
Anye mengangguk-angguk. “Oke, anggap aja lo bener.”
“Emang bener kok.”
“Nah, coba bilang ke gue,” ujar Anye dengan nada serius. “Kalo itu bukan keanehan, gimana dengan ini?” Anye menunjuk jaket jeans Dewi yang sudah berumbai-rumbai di lengan kiri dan kanannya.
Dewi melihat sekilas lengan bajunya, lalu menjawab santai. “Gue nggak suka baju gue sama-samaan sama orang.”
“Lo tahu kan, pabrik konveksi di atas dunia ini nggak akan buat satu model doang?”
“Hm.”
“Barang limited edition pun bakalan buat beberapa sampel. That’s why ada yang bilang, ‘Cuma ada dua di dunia,’ ‘Cuma ada empat di dunia,’” jelas Anye.
“Tapi gue nggak mau sengaja diikutin,” balas Dewi. “Gue nggak akan masalah kalo ketemu orang yang kebetulan make hal yang sama, sama apa yang gue pake. Tapi kalo dia,” ujar Dewi tanpa menyebutkan nama Ratu. “Malesin. Sengaja banget soalnya dia ngikut-ngikutin gue.”
Anye hanya menghela napasnya panjang, lalu memilih untuk kembali menyantap makan siangnya.
“Nyet, kuah.” Dewi mulai merengek.
Anye berdecak.
"Mintain kuah." Dewi kembali merengek.
"Minta sendiri sana, gue masih mau makan." Anye mengambil kembali mangkok baksonya yang diseret oleh Dewi ke hadapan perempuan itu.
Dewi melihat ke stand bakso yang ramai antrian mahasiswa. Kemudian dia melihat pias ke arah Anye, " Rame."
Anye melihat antrian mahasiswa yang menginginkan bakso untuk mengisi perut mereka, kemudian beralih menatap Dewi. "Ya udah nggak usah makanin kuah dulu lah."
Ingin rasanya Dewi menjambak rambut sahabatnya itu, tangannya sudah gatal dan menggantung di depan wajah Anye. Diantara ribuan umat manusia di atas bumi ini, kenapa semesta harus mengirimkan manusia tidak berperasaan seperti Anye ini yang jadi sahabatnya?
Menghela napasnya berkali-kali, Dewi bangkit berdiri dan berjalan sendiri mengambil tempat untuk mengantri di depan stand bakso di kantin kampusnya.
Saat giliran dirinya berada di antrian paling depan, Abang tukang baksonya langsung tertawa. Sudah hapal di luar kepala kesukaan Dewi.
“Kuah, Neng?”
Dewi mengangguk senang.
“Kok minta sendiri?”
“Anye nggak mau bantuin,” kata Dewi menjawab pertanyaan abang tukang bakso.
Lalu Abang tukang bakso itu menambahkan kuah ke dalam mangkok Dewi.
"Makasih bang." Ucapnya terlalu riang begitu selesai memenuhi mangkoknya yang menyisakan 2 butir bakso dengan kuah yang masih panas.
"Hati-hati, neng." Pesan abang tukang bakso mengingatkan Dewi. “Masih panas banget.”
"Siip bang." Dewi baru selesai mengucapkan itu ketika tubuhnya menabrak seseorang. Akibatnya kuah bakso panas itu tumpah ke badan orang tersebut.
"Kambing." Orang itu mengumpat.
Dewi terkejut sampai tidak bisa berucap. Sebenarnya ada alasan kenapa dia selalu mengandalkan Anye untuk hal seperti ini. Entah ceroboh atau memang ada sesuatu yang salah pada kakinya, kemampuan Dewi untuk mempertahankan keseimbangannya hampir menyentuh angka nol.
Ia bisa terjatuh meskipun hanya berjalan di jalan yang datar. Seringkali terjatuh tanpa penyebab yang jelas. Setelah beberapa orang melihat kakinya, mereka mengatakan sedikitnya cekungan pada telapak kaki Dewi adalah penyebabnya. Dewi memang memiliki telapak kaki yang nyaris datar, hanya menyisakan sedikit jarak antara kakinya dan lantai tempat ia menapak.
"Lo punya mata, kan?!" bentaknya seseorang dengan suara beratnya.
Dewi mendongak. Lalu matanya menangkap perawakan seorang cowok yang tinggi dan rambut yang acak-acakan. Tubuhnya dilapisi oleh pakaian serba hitam dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Melihat ukuran badannya, hanya keberuntungan yang membuat Dewi tidak sampai terpelanting dengan cara yang tidak elegan.
Dewi menahan panas di tangannya yang terciprat kuah bakso. Lalu mengangguk sebelum tersadar untuk minta maaf. “Sori.”
Dewa, cowok itu membuka jaket kulitnya. Beruntung benda itu berhasil menghalangi agar kuah panas tersebut tidak langsung mengenai kulitnya.
"Mata lo rabun apa buta?!" Dewa masih membentak.
"Mata gue masih normal,” jawab Dewi.
"Lo, ..." Kata-kata Dewa terhenti begitu seseorang menyodorkan tisu ke hadapannya.
“Sori, Wa,” ujar Anye sambil membalas tatapan bingung Dewa. “Kakinya sakit. Selain kaki, kepalanya juga sakit. Gue harap lo mau maafin temen gue.”
Dewa menatap tajam pada keduanya. Tidak tahu siapa yang memulai, suasana di dalam kantin itu juga sudah hening sejak tadi. Semua mata memperhatikan Dewa dan kedua gadis itu.
“Lain kali dia nggak akan muncul lagi di hadapan lo,” kata Anye sambil menyeret Dewi untuk pergi dari sana. Secepat mungkin melarikan diri sebelum Dewa menemukan kata-katanya untuk meminta mereka berhenti.
“Lo kenapa sih?” tanya Dewi. “Gue belum selesai makan.”
Anye menarik napasnya kasar. “Lain kali kalo jalan liat yang bener.”
“Udah,” jawab Dewi.
“Lo tahu nggak dia siapa?”
Dewi menggelengkan kepalanya.
Anye mendengus. “Udah gue duga.”
“Siapa emang?”
“Pintu neraka, Lo,” balas Anye.
Meski dahi Dewi berkerut dalam, Anye enggan menjelaskan lebih lanjut. Satu-satunya manusia yang tidak tahu Dewa mungkin adalah sahabatnya ini. Maka Anye akan mengatakannya nanti kepada Dewi, kalau dia tidak lupa bahwa Dewa adalah jenis makhluk kampus yang harus dihindari. Mencari masalah dengannya sama saja menyerahkan nyawa ditangannya. Tetapi Dewi adalah manusia yang tidak berpikir lurus, berurusan dengannya sama saja mendaftarkan diri ke rumah sakit jiwa.
Anye lebih baik menghalangi agar kedua orang sinting ini tidak memiliki urusan lebih lanjut, meskipun dalam hati ia menyangsikan hal tersebut.
*